Kamis, Juli 20, 2006

Spekulasi Kata-kata yang Membunuh

— Refleksi dari Kasus Zidane vs Materazzi

Battle of Heraclius and Chosroes (Francesca)
Battle of Heraclius and Chosroes
Piero della Francesca

"Ketika dokumentasi tidak ada, spekulasi adalah satu-satunya sumber yang dapat dijadikan acuan oleh para ahli", demikian pengakuan jujur M.C. Ricklefs, seorang sejarawan yang banyak melakukan penelitian dan penulisan literatur sejarah mengenai Indonesia dan Islam di Indonesia.

Menurut pendapat saya, pengakuan tersebut telah menjadi keniscayaan dalam khasanah keilmuan. Persoalannya adalah: spekulasi macam apa yang layak diajukan? Tentunya, saya yakin, bukan spekulasi tanpa preseden atau bahkan lepas dari logika dan keping-keping data —sesedikit apa pun itu— yang dapat disusun secara koheren guna membangun spekulasi tersebut.

Selain itu, sebagaimana kelaziman yang berlaku di dunia ilmu pengetahuan, setiap spekulasi —bahkan teori yang dipandang ajeg sekalipun— senantiasa bersifat terbuka untuk diperdebatkan (debatable). Intinya adalah perlunya penalaran (akal sehat) yang dibangun secara argumentatif dalam atmosfir logika yang diskursif.

Oleh sebab itulah saya merasa tergugah ketika seorang rekan di sebuah milis menghubung-hubungkan rasisme dengan kasus "penandukan" terhadap Marco Materazzi (bek tim nasional Italia) oleh Zinedine Zidane (kapten tim nasional Prancis) saat berlangsungnya partai final Piala Dunia 2006 di Berlin Jerman pada tanggal 10 Juli 2006. Sebab, hingga saat itu, saya sama sekali belum melihat hubungannya.

Sampai tanggal 13 Juli 2006, saat posting tersebut dirilis, belum ada bukti sahih apa pun yang dikeluarkan oleh pihak yang berwewenang. Satu-satunya bukti yang bisa dipegang adalah kenyataan bahwa Zidane telah menanduk dada Materazzi dengan kepalanya sebagaimana yang terekam dalam video. Sisanya adalah dugaan bahwa Materazzi telah melontarkan kata-kata provokatif yang memancing emosi Zidane.

Dugaan yang berkembang itu didasarkan pada pembacaan gerak bibir Materazzi dari rekaman video. Menurut pembacaan Marianne Frere yang dipublikasikan suratkabar The Sun dan dilansir Tribalfootball pada hari Selasa 11 Juli 2006, Materazzi mengucapkan kata-kata "Anak seorang pelacur teroris!". Karena tautan ke berita tersebut tidak bisa saya temukan lagi di kedua situs tersebut, saya ambil kutipan beritanya dari sebuah blog.

A lip-reader told The Sun that Marco Materazzi called Zidane "a son of a terrorist whore”.

Top lip-reader Marianne Frere revealed the Italian told Zidane — who understands the language after playing for Juventus — a high ball was “not for feccia like you”.

Feccia is an Italian insult meaning scum or s**t.

Zidane smiled at Materazzi as he walked away. But there was another exchange, Zidane turned and floored him with a butt to the chest. The lip-reader claimed the Italian had said: “We all know you are the son of a terrorist whore.”

He added: “Viffanculo”. (f*** off). A source close to the Italian squad claimed that after twisting Zidane’s nipple, Materazzi asked him: “What, don’t you like it?” The French captain replied: “A bit too hard to turn me on.”

But Materazzi shouted: “Well, I did it that way because I know that’s how your mother likes it.”

Materazzi’s agent denied any racist slur — and said the attack came when Zidane offered to swap shirts later and the Italian replied: “‘I’d rather take the shirt off your wife.”

globalcairene.blogspot.com

Wawancara dengan Zidane di Canal Plus pada hari Kamis 13 Juli 2006 pun tidak memberikan hasil yang lebih jelas, sebab Zidane tidak mengungkapkan apa tepatnya kata-kata Materazzi. Dia hanya mengatakan bahwa Materazzi telah menghina ibu dan saudara perempuannya. Namun, dalam kesempatan lain, Materazzi membantah hal itu, sebab ibu adalah sosok yang sakral baginya, yang tidak mungkin dinistanya. Maka, kasus ini pun masih diliputi misteri.

Sambil menunggu hasil penyelidikan FIFA yang menurut rencana akan diumumkan pada tanggal 20 Juli ini, muncul begitu banyak kecaman, tudingan, maupun analisis kejiwaan terhadap kedua belah pihak. Namun, banyak dari pendapat itu yang tetap saja tidak lebih dari spekulasi belaka.

Sayangnya, kaidah spekulasi yang diajukan Ricklefs sama sekali tidak bisa diterapkan di sini. Selain karena kasus ini masih dalam proses penyelidikan yang boleh dipastikan akan memberikan fakta akurat [yang pada akhirnya akan terdokumentasi], juga karena pihak-pihak yang terlibat masih bisa diusut, dimintai keterangan, dan dikonfrontasikan.

Maka, spekulasi rekan diskusi saya yang menghubung-hubungkan rasisme dengan kasus ini membuat kening saya mengernyit. Kalaupun pembacaan Frere benar, saya masih tetap gagal menangkap hubungan kata-kata tersebut dengan persoalan ras. Entah jika nanti FIFA membeberkan fakta yang membuktikan demikian. Hingga saat ini, saya bukanlah cenayang yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Saya hanya berpijak pada data yang ada saat ini.

Terlepas dari tidak berhasilnya saya merelasikan soal rasisme dengan makian [yang diduga] dilontarkan oleh Materazzi, lanjutan tulisan rekan saya itu kian membuat saya merinding. Dikatakannya, kalau benar kejadiannya seperti itu dan dia adalah Zidane, maka malam itu pun Materazzi sudah dia jadikan jenasah.

Cukup lama saya tercenung membaca tulisannya. Walau sudah berusaha sekuat tenaga untuk berempati, tetap saja saya gagal untuk mengaminkan haknya mencabut nyawa orang lain. Dan, walau sudah pasti saya akan tersinggung dan marah pada orang yang menghina keluarga saya —apalagi ibu saya!—, tetap saja tidak terlintas dalam benak saya untuk menghabisi hidup orang itu.

Berhakkah seseorang membunuh orang lain atas dasar perasaan tersinggung? Pertanyaan ini jadi hantu yang membuntuti saya selama beberapa hari.

Saya ingat kata-kata yang kerap dilontarkan oleh Mahmud Ahmadinejad, presiden Iran, bahwa holocaust terhadap orang-orang Yahudi di jaman NAZI adalah dusta belaka. Juga pernyataannya bahwa negara Israel harus dihapuskan dari peta bumi. Tidakkah ini menyinggung perasaan warganegara Israel? Apakah hal ini lantas memberikan pembenaran untuk membunuh Ahmadinejad bahkan negara dan bangsa Iran (maupun negara dan bangsa lain) yang mendukungnya?

Saya ingat tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam polemik kebudayaan di tahun 70-an yang tajam menyakitkan perasaan pekerja seni yang berbeda posisi dengannya. Apakah hal ini menghalalkan tumpahnya darah Pramoedya?

Saya lihat banyak buku dan VCD yang dijual secara resmi di toko buku maupun kakilima yang merendahkan Yesus dan kekristenan dengan kata-kata yang tidak senonoh. Melalui pengeras suara mesjid, saya dengar kata-kata menusuk sang pengkotbah tentang kaum nonmuslim. Juga ceramah-ceramah terbatas (di ruang tertutup yang mengutip biaya) maupun terbuka (di lapangan atau jalanan) yang membuat luka perasaan saya sebagai seorang nonmuslim.

Apakah itu menjadi landasan sah untuk menghajar mereka hingga mati?

Mungkin demikian pandangan yang dianuti oleh sebagian orang, sehingga Theo van Gogh di Belanda pada tahun 2004 ditembak mati dan kemudian perutnya ditancap 2 pisau besar dan kertas bertuliskan "Allahu akbar". Pelakunya adalah seorang Maroko bernama Mohammad B. yang mengemukakan alasan bahwa film Submission yang dibuat van Gogh telah menghina Islam.

Sedangkan rekan van Gogh dalam pembuatan film itu, Ayaan Hirsi Ali (pelarian politik dari Somalia yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda dari partai liberal VVD), pun telah mendapat ancaman akan dibunuh.

Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Iran mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rushdie di Inggris karena menulis novel fiksi Satanic Verses (1989). Penginjil Pat Robertson di Amerika Serikat (2005) menyerukan pembunuhan terhadap Presiden Hugo Chavez dari Venezuela yang menentang Amerika Serikat. Nicholas Almeida, seorang anggota Catholic Secular Forum (CSF) dari India, menjanjikan US $ 25.000 bagi orang yang dapat membunuh Dan Brown sang penulis buku Da Vinci Code yang menghebohkan itu.

Di sekitar kita, di Indonesia, pun banyak terjadi kasus serupa. Bukannya jarang media massa memberitakan kematian seseorang akibat ketersinggungan. Akibat saling pandang di jalanan saja, nyawa pun bisa melayang. Bahkan hal ini pun terjadi pada anak-anak. (Siapa mengajari mereka?)

Inikah hak yang diberikan dari perasaan tersinggung? Bagaimanakah mengukur kadar ketersinggungan yang pantas dibayar dengan nyawa? Siapakah yang berhak tersinggung dan berhak membunuh? Siapa yang mengatur kewenangan itu?

Di sisi lain, ada juga yang tampaknya menyalahi pakem tersebut. Tahun 2003, El Moumni, imam sebuah mesjid di Rotterdam diajukan ke pengadilan karena mengkotbahkan bahwa "orang nonmuslim adalah heidendom (kafir) yang derajatnya lebih rendah dari anjing dan babi". Namun dia dibebaskan sebab hakim menganggap bahwa kotbah itu hanyalah ungkapan kebebasan beragama dan pengejewantahan dari asas kebebasan mengemukakan pendapat.

Mungkin, bagi teman diskusi saya itu, hakim Belanda tersebut adalah orang yang tidak bermoral ataupun tidak punya nyali. Saya tidak tahu.

Entah bagaimana pula sikapnya —yang kebetulan beragama Islam— terhadap kisah yang kerap dengan bangga dikemukakan oleh rekan-rekan muslim di berbagai milis tentang kesabaran nabi Muhammad yang tidak membalas walau dihina, diludahi, dan dilempari batu oleh penduduk Mekkah yang membencinya. Juga kisah seorang pengemis buta Yahudi yang tidak tahu bahwa Muhammad yang dicacinya adalah orang yang menyuapinya tiap hari.

Padahal, telah menjadi semacam "kewajiban" bagi seorang muslim untuk meneladani perilaku Muhammad. Lalu, mengapa tidak konsekuen untuk menirunya pula dalam hal kesabaran terhadap kata-kata yang menyakitkan?

Boleh jadi saya bukan seorang pemberani yang sanggup menyaksikan banjir darah dan gelimpang bangkai manusia. Mungkin pula saya hanya seseorang yang mencoba ingkar pada konsensus primitif manusia —yang masih berlaku hingga beberapa abad lampau— bahwa perbedaan pendapat dan ketersinggungan membuat seseorang pantas membunuh pihak lain dalam rangka menegakkan harga diri.

Tanpa harus menjadi cenayang, bisa saya bayangkan betapa banyak darah tertumpah dan nyawa melayang jika pembunuhan masih dihalalkan sebagai balasan setimpal atas kata-kata yang [dianggap] menyakitkan, yang tentunya amat subjektif. Dalam tempo sangat singkat dunia ini akan kehilangan setengah penghuninya. Permukiman-permukiman segera bertransformasi menjadi pemakaman-pemakaman.

Dan pada akhirnya manusia akan kehilangan perangkat utama berwacana yang selama ini membuatnya berbeda dengan binatang maupun mahluk primitif: kata-kata. Kata-kata telah menjadi pembunuh, yang membuat tak seorang pun berani angkat bicara.

Ah, betapa sepinya dunia tanpa kata-kata.

— Beth: Kamis, 20 Juli 2006 12:53

Senin, Juli 10, 2006

Saya dan Buku #1

— Mengapa Saya ke Pesta Buku

Old Books
Old Books
usedbookseller

Pesta buku yang kerap juga disebut pameran buku (padahal sejatinya acara tersebut bukanlah sekedar ajang memamerkan buku) adalah salah satu peristiwa yang selalu saya tunggu-tunggu. Ada beberapa alasan mendasar mengapa saya kerap seperti orang nyidam menantikan pesta buku dan sekaligus seperti orang kalap saat berbelanja buku di sana.

PERTAMA, pesta buku tidak jarang menjadi media bagi penerbit atau penyalur (agency) untuk menggelontorkan buku-buku yang terpendam di gudang mereka akibat kurang berhasil secara komersial (sehingga tetap saja menyandang predikat sebagai "cetakan pertama", yang justru menjadi favorit saya) atau yang tidak terserap lagi oleh masyarakat akibat sudah berulangkali dicetak.

Sehingga, wajarlah jika harga buku-buku di sana lebih murah daripada harga di toko buku pada hari biasa yang tanpa program khusus potongan harga. Paling sedikit, kita mendapat rabat 10% untuk buku-buku yang masih tergolong baru. Sedangkan untuk buku-buku yang usianya sudah lewat dari setahun, bisa mendapat potongan hingga 50% lebih. Malah ada yang dilepas dengan harga 10.000 bahkan 5.000 Rupiah saja, padahal kondisinya masih sangat baik seperti baru keluar dari pemanggangan, fresh from the oven.

Bukannya saya enggan membalas jasa para penulis, penerjemah, penyunting, pencetak, penerbit, ataupun penyalur buku yang telah berlelah-lelah turut mencerdaskan anak bangsa. Namun harga buku di Indonesia yang cukup gila-gilaan akibat tingginya harga kertas, bea impor, ongkos cetak, biaya perijinan, peredaran, honor (royalty), dan biaya-biaya lainnya, membuat saya kerap harus mempertimbangkan secara serius pengeluaran saya. Maklumlah, pendapatan saya sebagai pekerja bebas tidak jarang menjadi gamang dalam menopang syahwat saya yang kerap overdosis sebagai "pengumpul" buku.

KEDUA, sebagaimana layaknya pesta buku, ada banyak penerbit dan penyalur pada saat yang bersamaan di satu area. Tentu saja hal ini amat meringankan langkah saya sehingga tidak perlu berkelana dari satu toko buku ke toko buku lain untuk memburu buku tertentu. Dengan demikian, paling sedikit, saya bisa menghemat waktu, biaya bahan bakar, dan ongkos parkir :-).

KETIGA, tidak semua penerbit memiliki pos penjualan (toko buku) sendiri, sehingga buku-buku mereka terpaksa "dititipkan" pada jaringan toko buku yang sudah mapan. Jangankan penerbit-penerbit "rumahan" (yang entah mengapa banyak berasal dari Yogyakarta) yang mungkin hanya berumur sekali terbitan, bahkan penerbit yang sudah tergolong besar pun belum tentu memilikinya.

Dengan adanya pesta buku, saya memiliki kesempatan mengunjungi kedai-kedai (kios, stand) penerbit dan penyalur "marjinal" yang buku-bukunya belum tentu tersalurkan melalui toko buku yang kerap saya kunjungi. Padahal, tidak jarang terbitan mereka adalah buku bagus (atau yang menurut saya layak dikoleksi).

KEEMPAT, di pesta buku kerap saya temukan buku-buku yang sudah cukup lama tercantum dalam daftar pencarian di PDA saya namun tidak pernah saya sua atau luput saya temukan. Cukup sering saya merasa sangat beruntung bisa menemukan buku-buku yang seakan sengaja menanti untuk saya miliki. Bagai bertemu jodoh yang sudah lama diimpikan. Malah, tidak jarang juga saya peroleh buku yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Ibarat jatuh cinta pada pandangan pertama dan langsung dinikahkan di hadapan penghulu.

Yang saya maksud bukanlah buku-buku yang masuk kategori langka seperti edisi terbatas atau buku-buku kuno, melainkan buku-buku biasa yang pernah dianggap sebagai adikarya (masterpiece) ataupun layak baca menurut resensi yang pernah saya simak. Hanya saja, belum tentu buku-buku tersebut berterima baik di masyarakat sehingga masa edarnya sangat singkat (telanjur ditarik dari toko buku sebelum sempat saya temukan) ataupun tidak berjangkauan luas (tidak dijajakan di toko buku langganan saya).

* * *

Terlepas dari pertimbangan ekonomis, politis, bahkan filantropis (sic!), atau apapun, tentu saja "kemurahan hati" para penerbit maupun penyalur buku dalam soal banting harga serta efisiensi melalui pesta buku semacam ini sangatlah menggiurkan dan membahagiakan para "pengumpul" buku seperti saya.

Sengaja saya katakan "pengumpul" bukannya "pecinta", sebab agak ragu saya masukkan diri saya dalam kategori pecinta buku. Selain karena saat ini saya sedang malas membahas makna "cinta" itu sendiri, kerap kali dorongan membeli buku bukanlah datang dari dahaga saya untuk segera melahap isinya, melainkan karena naluri saya yang membisikkan perlunya mengoleksi buku tersebut dengan asumsi satu saat saya akan membutuhkannya. Dan nyatanya kerap kali saya tertolong saat memerlukan rujukan kredibel dalam berdiskusi ataupun menulis.

Demikianlah sebagian pertimbangan saya sehingga selama beberapa hari berturut-turut saya meluangkan waktu beberapa jam di Pesta Buku IKAPI Jakarta 2006 yang diselenggarakan sejak tanggal 1 sampai 9 Juli 2006 yang baru lalu di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.

Dan di sanalah saya temukan 2 "injil" yang akan akan saya tuturkan dalam tulisan selanjutnya.

— Beth: Senin, 10 Juli 2006 04:47

Jumat, Januari 06, 2006

Sekelumit Catatan Kopdar #3

— Korporasi Gereja

The Corporation
The Corporation
thecorporation.com

Bukan satu kejanggalan ketika lembaga usaha (bisnis) yang disebut korporasi dibandingkan dengan manusia sebagaimana yang disodorkan film dokumenter The Corporation besutan Mark Achbar dan Jennifer Abbot. Saya rasa, sah-sah saja jika seseorang menganalogikan sesuatu dengan sesuatu yang lain guna memperoleh pemerian yang lebih mudah berterima.

Kejutan terjadi saat analisis mereka yang mengacu pada buku pintar perihal gangguan mental Diagnostic and Statistical of Mental Disorders/DSM-IV terbitan American Psychiatric Association itu memberikan kesimpulan bahwa sifat-sifat dasar korporasi menunjukkan perilaku manusia psikopat, yakni "kepribadian" antisosial yang ditandai dengan perilaku egoistis, pengecut, amoral, tidak pernah merasa bersalah terhadap pihak lain, berbahaya bagi manusia yang menjadi pekerjanya, dan menghalalkan segala cara —termasuk menabrak norma-norma sosial dan aturan hukum— untuk mencapai tujuannya.

"Meski korporasi kadang-kadang suka menampakkan niat dan itikad baik kepada orang lain dalam bentuk yang mereka namakan corporate social responsibility, jangan pernah percaya! Karena korporasi hanya memiliki satu niat dan tujuan: keuntungan materi," tukas Achbar sebagaimana yang tertulis dalam artikel di harian Kompas pada tanggal 20 Desember 2005. (Berhubung tautan tersebut tampaknya sudah "mati", sila baca salinan berita tersebut di sini.)

Terlepas dari apakah kita setuju atau tidak setuju terhadap penyimpulan tersebut, analogi Achbar ini mirip dengan yang dilakukan oleh Rasul Paulus perihal gereja/jemaat yang dianggapnya sebagai satu tubuh. Intinya, baik korporasi maupun gereja dipandang sebagai organisme alias mahluk hidup. Bedanya, korporasi a-la Achbar adalah manusia psikopat, sedangkan jemaat a-la Paulus adalah tubuh yang dikepalai oleh Kristus sendiri dengan banyak anggota yang masing-masing memiliki karunia serta fungsi khusus untuk saling melengkapi (bdk. Roma 12:4-6, 1Korintus 10:17, 12:12-27, Efesus 5:23, Kolose 1:18).

Introduksi dan ilustrasi di atas memang tidak tercetus dalam kopdar yang baru lalu. Namun demikian, gagasan tulisan ini mengacu pada perbincangan kemarin. Adapun pemikiran yang ingin saya sampaikan pada kesempatan ini mengacu pada sebuah pertanyaan: "Organisme macam apakah gereja yang kini kita kenal dalam kenyataan keseharian?"

Mungkin akan terdengar sarkastis jika saya katakan bahwa model jemaat/gereja di Indonesia yang paling dominan saat ini adalah yang bernapaskan status-quo alias terjerat kemapanan. Dengan sedikit pengecualian, misalnya seperti yang dikisahkan oleh Pendeta Valen dari Bogor mengenai Gereja Dibela oleh Tukang Ojek dan Becak, tidak sedikit gereja yang nyaris sudah kehilangan elan vitalnya sebagai garam dan terang dunia yang memberikan manfaat bagi lingkungannya.

Seorang kawan, secara provokatif pernah mengatakan bahwa gereja semacam itu memang sepantasnya disegel atau dirobohkan. Seperti garam yang tidak lagi bisa mengasinkan, tiada gunanya selain dibuang ke jalan dan diinjak-injak. Demikianlah kesimpulannya atas kejadian-kejadian yang belakangan ini kerap terjadi dan menjadi trend di berbagai wilayah. Memang terdengar amat sinis, namun —jika kita mau berpikir sedikit tenang— juga mengandung kritik yang kontemplatis.

Jika Rasul Paulus menggambarkan jemaat sebagai kesatuan berbagai anggota tubuh —yang dicontohkannya dengan kaki, tangan, telinga, mata, dan hidung—, maka seorang kawan lain mengatakan kepada saya bahwa gereja masa kini banyak yang anggota tubuhnya sudah teramputasi atau termultilasi. Yang tersisa hanyalah mulut. Dan itu pun bukan mulut yang baik.

Ada "mulut" yang demikian perkasa menelan limpahan persembahan anggota jemaatnya. Persembahan —yang konon dipandang sebagai ungkapan syukur pada Allah— dikonversikan ke bentuk-bentuk fisik tempat ibadah yang megah. Keindahan dan keagungan bela rasa (kasih) yang selalu menjadi slogan orang Kristen bermetamorfosis menjadi keperkasaan dingin marmer dan ornamen mahal sehingga mengundang decak kekaguman (sekaligus kecemburuan).

Yang cukup ironis adalah jika jemaat beribadah secara nomaden dari hotel ke hotel atau mal ke mal atau ruko ke ruko yang tanpa kemegahan dan kemewahan fisis, namun anggota jemaatnya dengan penuh sukacita mendekor tubuh sang gembala dengan cincin berlian, jam dan kalung emas, mobil jaguar, rumah mewah, kondominium di Australia atau Amerika Serikat, tabungan pribadi yang cukup untuk 7 turunan, maupun berbagai fasilitas lain yang setara pesohor kelas dunia. Bagai menghias pohon Natal dan memberi sesajen pada berhala.

Ada juga "mulut" yang sibuk menegaskan berbagai keharusan dan larangan untuk dipatuhi anggota jemaatnya. Ucapan sang gembala atau senior dipandang sebagai doktrin yang adalah pernyataan dari Allah sendiri, sehingga tidak seorang pun yang boleh mempertanyakan apalagi membantah. Bahkan, jika perlu, mereka rela mengorbankan segalanya, baik materi hingga hidup mereka sendiri, demi menjunjung kebenaran yang diwahyukan Allah melalui sang gembala.

Para anggota jemaat tidak memiliki kesempatan untuk merenungkan dan mengkaji hidupnya sendiri. Sejak urusan hari kiamat sampai perjodohan mereka pun ada dalam kewenangan pimpinan jemaat. Hitam-putihnya dunia ditentukan oleh pimpinan yang dipandang sebagai nabi.

Ada juga "mulut" lain yang tidak kalah aktifnya, namun dalam hal mencerca. Tiada hari tanpa kecaman pada dunia, seakan-akan tiada satu pun kebaikan yang mungkin hadir dalam kehidupan di luar pandangan mereka. Mulai dari mencerca ajaran lain —termasuk yang sama-sama Kristen— hingga mencerca ilmu pengetahuan yang dianggapnya bertentangan dengan "sains" Alkitab.

Dan masih ada berbagai jenis "mulut" lain yang pada intinya memandang dirinya sebagai mahkota kesucian, kebenaran, dan kebaikan ilahi, sedangkan semua yang ada di luar dirinya tidak lebih dari penyesatan dan kesesatan yang mematikan.

Dalam hati saya timbul pertanyaan, "Apakah gereja masa kini adalah representasi korporasi yang dianalogikan oleh Achbar, yakni sebagai organisme psikopat yang melulu terdiri dari mulut rakus menelan sekaligus boros memuntahkan kata-kata negatif?"

Ya, keroyalan menelan dan muntah. Betapa menjijikkannya ...

Namun demikian, perlu juga saya nyatakan di sini, saya tidak sangsi masih ada juga "mulut" yang setia pada suara kenabian. Dan saya pun masih percaya ada gereja yang aktivitas mulutnya lebih sedikit tinimbang kerja kepala, kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya, sehingga masih berani mengartikulasikan kebeningan nurani dan pemahamannya tentang wahyu ilahi ke dalam tindakan nyata di dunia nyata pada saat yang nyata pula.

Saya tidak tahu (baca: tidak mau menilai) dalam model yang manakah gereja kita berada. Sebab, saya percaya bahwa gereja bukanlah menara atau dinding atau bangunannya, melainkan orang-orangnya. Namun seringkali kita lupa bahwa kitalah yang seharusnya menjadi kepala, mulut, mata, telinga, hidung, kaki, tangan, dan lain-lain dari gereja.

— Beth: Jum'at, 06 Januari 2006 23:12
[paragraf penutup: Selasa, 14 Pebruari 2006 12:18]

Rabu, Januari 04, 2006

Sekelumit Catatan Kopdar #2

Terra Incognito

GKPS
gkps.or.id

Berkumpul-kumpul dalam acara semacam kopdar forum diskusi maya di internet (milis) sesungguhnya tidak termasuk kegiatan yang saya kategorikan penting bagi saya. Selain karena saya bukan termasuk orang yang pandai bicara (sehingga kerap perbincangan pun mati akibat saya tidak tahu topik pembicaraan yang menarik bagi kawan bicara yang baru saya kenal), juga karena kopdar biasanya diikuti oleh berbagai orang dengan berbagai interes sehingga pertemuan lebih cenderung menjadi obrolan ngalor-ngidul tanpa arah atau malah membentuk kelompok-kelompok bicara sendiri-sendiri.

Saya hitung-hitung, baru tiga kali saya mengikuti pertemuan semacam itu. (Tidak termasuk kopdar pribadi, tentunya :-).) Yang pertama adalah beberapa tahun yang lalu, ketika rekan-rekan dari milis gerejakatolik berjumpa di Chase Plaza untuk "menikmati" misa Jum'at Pertama yang dilayankan oleh Romo Yohanes Gani CM. Yang kedua adalah ketika memenuhi nazar pribadi untuk berjumpa dengan Pendeta Daniel Harahap dari milis hkbp di Lapo Ni Tondongta Jalan Sabang pada tanggal 10 September 2005.

Yang terakhir adalah yang dilangsungkan beberapa hari menjelang pergantian tahun, bersama rekan-rekan dari milis barita-simalungun (sebagai tempat "pengungsian" sekian warga milis gkps yang sekonyong-konyong kehilangan naungan akibat milisnya lenyap ditelan server yahoo tanpa kejelasan).

Seperti yang semula dirasakan dan dibayangkan oleh Pendeta Martin Lukito Sinaga (sebagaimana diakuinya dalam posting terakhir), saya pun tidak punya harapan khusus dari kopdar terakhir ini. Datar-datar saja. Walau sebelumnya sudah pernah saya sampaikan melalui milis agar kopdar tidak hanya menjadi forum kenal-mengenal dan ngobrol, saya sadar betul bahwa minat saya belum tentu sama dengan minat sekian kepala lainnya. Masing-masing punya agenda sendiri.

Nyaris saja saya berhasil menyelamatkan diri dari situasi sulit seperti ini. Apalagi saya punya alasan bahwa pada hari itu saya masih harus berurusan dengan klien dalam temu konsultansi yang berlangsung dari pagi sampai sore. Tetapi ultimatum Caroline melalui interlokal dari Pematang Siantar sehari sebelumnya serta SMS gencar dari Eben membuat saya tidak berkutik. Alhasil, hadirlah saya di Lapo Ni Tondongta pada tanggal 30 Desember 2005 itu sekitar jam 6 petang, terlambat satu jam dari jadwal yang ditetapkan.

Okelah. Setidak-tidaknya, inilah kesempatan untuk bertemu muka dengan Pendeta Martin yang beberapa tahun lalu —secara tidak sengaja— sempat satu kali saya berbincang-bincang dengannya. Juga bisa berjumpa dengan Ebenezer Siadari yang tulisan-tulisannya tentang pengalaman masa lalunya demikian enak dibaca (setara dengan kenikmatan saat membaca tulisan Mula Harahap tentang masa kecil maupun kesehariannya. Namun sayang sekali, orang yang terakhir ini masih belum berhasil saya jumpai secara langsung.) Saya rasa saya tidak akan terlalu merugi sepulang dari kopdar kali ini, hibur saya dalam hati :-).

Setelah berbasa-basi beberapa jenak, tibalah acara pembukaan yang memeteraikan pertemuan. Makan! Dan tentunya kita sudah tahu apa menu utama di lapo. Apa lagi selain saksang dan panggang B2? Dan tentunya tidak lupa memanjatkan doa sebelum makan :-).

Setelah urusan perut terpenuhi, masuklah kami ke dalam agenda perbincangan. Dengan demikian, kami sudah memenuhi diktum klasik primum esse, tum philosophary, manusia hanya bisa berfilosofi jika perutnya kenyang :-).

Pendeta Martin, yang sebelumnya didaulat untuk memimpin doa makan, langsung terkena fait accompli untuk menjadi moderator perbincangan. Siasat yang dilancarkan Eben (dan sebelumnya saya dukung penuh dari balik layar SMS :-) ) itu tidak dapat ditolak. Saya rasa memang tepat jika Martin yang menjadi moderator bagi sekian banyak orang yang belum mengenal dengan baik satu sama lain. Apalagi beliau sudah terbiasa menjadi anchorman bincang-bincang di radio dan forum-forum diskusi antariman yang pasti jauh lebih sulit :-).

Acara yang diawali dengan proses memperkenalkan diri ternyata bukan sekedar menyampaikan kedirian seseorang. Dengan amat trengginas, Caroline langsung mengemukakan pengalaman, perasaan, harapan, maupun keputusasaannya sehubungan dengan kondisi gereja dan masyarakat. (Dalam konteks kopdar ini, tentunya berkenaan dengan gereja GKPS dan masyarakat Simalungun.)

Semangat seorang penggiat kemasyarakatan yang menggebu-gebu dan tidak pernah surut itu —yang sudah saya lihat sejak beberapa tahun lalu saat pertamakali mengenalnya secara pribadi— ternyata langsung menulari rekan-rekan lain, sehingga semua terjangkiti kegairahan yang sama. (Ataukah semuanya memang pada dasarnya memiliki kegairahan semacam itu, saya tidak tahu.)

Begitu juga halnya dengan Lestari. Perempuan muda ini tidak kalah semangatnya saat mengemukakan pelajaran yang dapat ditariknya dari pengalaman bersama dengan gereja dan generasi muda di tempat perantauan. Studi banding semacam itu tentulah sangat bermanfaat untuk dikaji dan dipertimbangkan sebagai masukan untuk merumuskan langkah ke depan.

Singkat kata, meletup-letup adalah kata yang cocok untuk menggambarkan suasana yang terbangun saat itu. Apalagi kedua perempuan yang hadir di situ bukan sekedar menjadi "penghias" maupun "nyonya rumah" belaka, melainkan penuh dengan magma pemikiran yang siap meledak setiap saat. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Rasul Paulus saat menulis suratnya bagi jemaat di Korintus :-).

Hampir semua orang terlibat dalam diskusi. Walaupun agak simpang-siur dan kadang melebar ke sana ke mari dengan beberapa bumbu selingan, namun tetap memiliki benang merah yang jelas yakni tentang bagaimana membumikan berbagai pokok pikiran dan persoalan yang pernah [dan masih terus berulang] didiskusikan dalam forum maya milis ke dalam rencana yang realistis dan kemudian memuarakannya dalam tindakan konkret.

Gagasan dan jaringan (networking) adalah 2 hal utama yang dapat saya tengarai dari pertemuan itu, yang kesemuanya bersumber pada kepedulian masing-masing orang pada institusi gereja dan masyarakat yang mereka cintai, terlepas dari seberapa potensial kedua faktor itu untuk digalang (bisa dipindai pada kesempatan berikutnya). Sedangkan soal dana —yang tidak bisa dipungkiri telah menjadi kebutuhan penting hampir dalam setiap kegiatan— saya rasa bisa dibicarakan pada tahap selanjutnya.

Persoalan kunci yang belum sempat diselesaikan saat itu —karena jam telah menunjukkan pukul 10 malam dan para petugas lapo tampaknya sudah tidak sabar menantikan bubarnya kami— adalah memetakan semua itu ke dalam langkah-langkah taktis dan strategis yang terukur. Tapi, setidak-tidaknya, masing-masing orang sudah mengenali —walau masih belum sangat jelas— posisi berdiri setiap pihak dalam konteks utama perbincangan itu. Dan dari penuturan masing-masing orang tentang apa yang pernah dan masih dilakukannya dalam konteks tersebut, saya rasa semua pihak bisa saling melengkapi.

Saya pikir, satu pertemuan memang amat belum cukup. Namun, pertemuan kali ini rasanya sudah melampaui apa yang dapat saya perkirakan. Tinggal menantikan konsistensi masing-masing untuk menindaklanjutinya sehingga kemeriahan letupan-letupan malam itu tidak hanya tinggal sebagai angan maupun kenangan.

Bagi saya, mengikuti kopdar dengan orang-orang yang belum dikenal adalah seperti memasuki terra incognito, daerah tak dikenal yang tak terramalkan, karena saya tidak pernah tahu siapa yang akan saya temui maupun bahan perbincangan yang menarik untuk diangkat serta bagaimana kelanjutannya.

Namun demikian, —mungkin seperti yang dirasakan para awak wahana ruang angkasa USS Enterprise dalam kisah fiksi-ilmiah Star Trek— walau kita tidak pernah tahu apa yang ada di seberang sana, senantiasa ada harapan dan kegairahan yang muncul di balik kegentaran mengarungi the next frontier.

Penyeberangan dari tahun 2005 ke 2006 yang baru lalu ini adalah perbatasan pertama yang hendak dilalui. Layar sudah dikembangkan, sauh sudah ditarik, biduk pun harus dilautkan. Let's make this the point of no return.

On your mark!
Get set!
Go!

Bagian serius dari kopdar kali ini akan saya tuliskan pada kesempatan selanjutnya. Sebagaimana biasa ... kalau sempat dan tidak malas menulis :-(

— Beth: Rabu, 04 Januari 2006 23:12

Selasa, Januari 03, 2006

Sekelumit Catatan Kopdar #1

— Dari Angkasa ke Bumi

Satellite-Radio
Satellite Radio
boeing.com

Sore tanggal 30 Desember 2005 itu saya datang ke Lapo Ni Tondongta di Jalan Sabang, Jakarta, untuk menghadiri pertemuan anggota mailing list (milis) gkps. Persis di ruang yang sama dengan yang pernah digunakan oleh anggota milis HKBP bertemu muka pada tanggal 10 September 2005 lalu.

Baru beberapa menit menghempaskan bokong saya ke kursi, Martin (Pdt. Martin Lukito Sinaga) mengajukan pertanyaan, "Dari mana istilah kopdar?"

Sudah cukup lama istilah kopdar menjadi idiom yang lazim digunakan untuk menamai perjumpaan muka temu muka para anggota forum diskusi di internet. Namun, istilah yang sudah memasyarakat itu kerap tidak lagi diketahui asal-muasalnya. Entah siapa pula yang pertama kali menggunakan istilah itu bagi ajang silaturahmi fisikal para internauts (salah satu istilah favorit saya sebagai sinonim netters, karena mengingatkan pada pengembara ruang angkasa astronaut dan cosmonaut).

Kopdar yang merupakan akronim dari kopi darat amat populer sekitar tahun 70-an ketika radio amatir [yang tanpa lisensi alias radio gelap] marak di kalangan kawula muda, bahkan di kota kecil tempat kelahiran saya. Pada masa itu, menjadi penggiat bincang-bincang di udara melalui gelombang radio frekuensi 100 meter merupakan semacam salah satu ciri generasi gaul.

Memiliki pemancar sendiri tidaklah mudah. Selain sudah pasti akan repot merangkai perangkat pemancar-penerima (transmitter-receiver/transceiver) dan mendirikan antena yang menjulang sekian puluh meter, tentunya juga diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran pelajar di masa itu.

Belum lagi jika terkena risiko sweeping (penertiban frekuensi) yang dilakukan oleh aparat pemerintah. Namanya saja radio gelap, tentunya harus kucing-kucingan dengan aparat institusi yang merasa berhak menjadi penguasa udara. Oleh sebab itu, sekedar menumpang cuap-cuap di depan mikropon pemancar kawan pun rasanya sudah cukup bergaya.

Banyak hal bisa terjadi melalui komunikasi radio semacam itu. Mulai dari diskusi serius yang berat, sekedar ngobrol, mendapat kawan baru, konsultasi segala macam, mencari jodoh, bahkan berkelahi dengan penuh caci-maki, ataupun omongan yang berbau-bau seks.

Melalui perbincangan verbal melalui gelombang radio tersebut, lalu muncullah bermacam kelompok/komunitas yang didasarkan pada kesamaan tertentu. Entah itu minat/hobby, latar belakang sekolah atau daerah asal, maupun alasan lain yang kadang-kadang tanpa alasan jelas :-). Pokoknya asal bisa berkomunikasi.

Masing-masing kelompok biasanya memiliki nama tertentu. Demikian juga dengan para anggotanya, biasanya memiliki nama alias (callsign) yang unik. Bisa keren, bisa lucu, bisa juga norak.

Situasi yang terbangun persis seperti yang terjadi di dunia maya internet. Perbincangannya kadang simpang-siur, kadang demikian serius, kadang sambil lalu, kadang gaduh, kadang sepi bak kuburan, kadang menyenangkan, kadang menyebalkan, kadang mengharukan. Campur-baur dan merdeka.

Pengalaman yang tidak menyenangkan adalah ketika Ketua RT menggedor pintu karena terjadi kebocoran (splatter) pada gelombang radio sehingga suara kami muncul di TV tetangga. Jelas kesallah mereka karena gerakan bibir aktor di TV berbeda dengan dubbing suara kami. Lebih kacau lagi kalau gambar di TV menampilkan acara keagamaan tetapi suara yang muncul dari speaker TV agak seronok topiknya. (Untung dulu belum musimnya tudingan penodaan agama :-).)

Salah satu istilah komunikasi yang kerap digunakan adalah copy. Misalnya, "Apakah bisa di-copy?" Tentunya yang dimaksud bukanlah disalin atau difotokopi, melainkan diterima/didengar. Maklumlah, kadang-kadang suara kresek-kresek mengganggu komunikasi antar pemancar yang berjauhan akibat daya pemancar yang memang tidak besar. Atau juga akibat suara yang kurang jelas, hilang-timbul seperti yang kerap terjadi pada telpon selular saat sinyal lemah.

Selain itu, istilah tersebut juga dimaksudkan untuk melakukan konfirmasi apakah ucapan kita bisa dipahami pihak lain. Persis seperti yang ditampilkan para operator radio dalam film-film.

Istilah lain yang sejenis untuk maksud serupa adalah roger (diucapkan: rojer), sehingga kerap juga dilontarkan ucapan seperti "Bisa di-roger?" dan "Oke. Roger".

copy — indication of how well communications are received. "I have a good copy on you" also used as a question, as in "did you copy" - understand all"
roger — I understand

http://ac6v.com/jargon.htm

Dari situlah kemudian lahir istilah kopi darat yang kurang-lebih bermakna mendaratkan/membumikan perjumpaan dari hanya tukar suara melalui gelombang radio di udara ke perjumpaan secara fisikal di bumi. Hal itu bisa dilakukan oleh satu pribadi dengan pribadi lain ataupun sekelompok orang sekaligus.

Hasilnya pun sangat beragam. Ada yang memang hanya sekadar melampiaskan rasa penasaran melihat wajah orang yang selama ini hanya dikenali melalui suara dan callsign saja, ada yang sekedar bersilaturahmi ataupun hura-hura, ada juga yang sifatnya serius sehingga komunitas tersebut terus bergulir menjadi komunitas sosial yang cukup solid dan langgeng dengan berbagai program kegiatannya, ada juga yang akhirnya bertransformasi menjadi pemancar radio komersial seperti Prambors. Dan tentu saja tidak ketinggalan pula mereka yang akhirnya menemukan pasangan hidupnya.

Sangat boleh jadi kemiripan komunitas maya di internet seperti mailing list itulah yang menyebabkan istilah kopdar mudah diterima dengan pengertian yang sama dengan yang berlaku di kalangan penggemar radio amatir. Diterima tanpa reserve, taken for granted.

Sudah amat lama saya tidak menggauli dunia radio amatir. Barangkali saat ini tidak terlalu banyak lagi komunitas radio bawah tanah yang berlandaskan hobby seperti masa lalu. Apalagi setelah berdiri organisasi yang [konon bermaksud] memayungi mereka seperti ORARI, RAPI, KRAP, dan entah apa lagi.

Yang jelas, era pemancar rakitan dengan tabung-tabung dioda dan antena menjulang sudah digeser oleh perangkat semacam CB (citizen's band) yang jauh lebih ringkas dan canggih. Dan nama-nama seru seperti Breaker Edan, Capung Ngapung, Mawar Biru, Biang Virus, dan sebagainya pun sudah berganti dengan callsign resmi internasional yang mirip nomor narapidana yang terdiri dari huruf dan angka semacam YBØXYZ. Serasa ada kehangatan yang sedikit pupus.

Break! Break!
Calling CQ! Calling CQ!
Hotel Oscar Romeo Alpha Sierra.
10-24.

— Beth: Selasa, 03 Januari 2006 04:36