Kamis, Juli 20, 2006

Spekulasi Kata-kata yang Membunuh

— Refleksi dari Kasus Zidane vs Materazzi

Battle of Heraclius and Chosroes (Francesca)
Battle of Heraclius and Chosroes
Piero della Francesca

"Ketika dokumentasi tidak ada, spekulasi adalah satu-satunya sumber yang dapat dijadikan acuan oleh para ahli", demikian pengakuan jujur M.C. Ricklefs, seorang sejarawan yang banyak melakukan penelitian dan penulisan literatur sejarah mengenai Indonesia dan Islam di Indonesia.

Menurut pendapat saya, pengakuan tersebut telah menjadi keniscayaan dalam khasanah keilmuan. Persoalannya adalah: spekulasi macam apa yang layak diajukan? Tentunya, saya yakin, bukan spekulasi tanpa preseden atau bahkan lepas dari logika dan keping-keping data —sesedikit apa pun itu— yang dapat disusun secara koheren guna membangun spekulasi tersebut.

Selain itu, sebagaimana kelaziman yang berlaku di dunia ilmu pengetahuan, setiap spekulasi —bahkan teori yang dipandang ajeg sekalipun— senantiasa bersifat terbuka untuk diperdebatkan (debatable). Intinya adalah perlunya penalaran (akal sehat) yang dibangun secara argumentatif dalam atmosfir logika yang diskursif.

Oleh sebab itulah saya merasa tergugah ketika seorang rekan di sebuah milis menghubung-hubungkan rasisme dengan kasus "penandukan" terhadap Marco Materazzi (bek tim nasional Italia) oleh Zinedine Zidane (kapten tim nasional Prancis) saat berlangsungnya partai final Piala Dunia 2006 di Berlin Jerman pada tanggal 10 Juli 2006. Sebab, hingga saat itu, saya sama sekali belum melihat hubungannya.

Sampai tanggal 13 Juli 2006, saat posting tersebut dirilis, belum ada bukti sahih apa pun yang dikeluarkan oleh pihak yang berwewenang. Satu-satunya bukti yang bisa dipegang adalah kenyataan bahwa Zidane telah menanduk dada Materazzi dengan kepalanya sebagaimana yang terekam dalam video. Sisanya adalah dugaan bahwa Materazzi telah melontarkan kata-kata provokatif yang memancing emosi Zidane.

Dugaan yang berkembang itu didasarkan pada pembacaan gerak bibir Materazzi dari rekaman video. Menurut pembacaan Marianne Frere yang dipublikasikan suratkabar The Sun dan dilansir Tribalfootball pada hari Selasa 11 Juli 2006, Materazzi mengucapkan kata-kata "Anak seorang pelacur teroris!". Karena tautan ke berita tersebut tidak bisa saya temukan lagi di kedua situs tersebut, saya ambil kutipan beritanya dari sebuah blog.

A lip-reader told The Sun that Marco Materazzi called Zidane "a son of a terrorist whore”.

Top lip-reader Marianne Frere revealed the Italian told Zidane — who understands the language after playing for Juventus — a high ball was “not for feccia like you”.

Feccia is an Italian insult meaning scum or s**t.

Zidane smiled at Materazzi as he walked away. But there was another exchange, Zidane turned and floored him with a butt to the chest. The lip-reader claimed the Italian had said: “We all know you are the son of a terrorist whore.”

He added: “Viffanculo”. (f*** off). A source close to the Italian squad claimed that after twisting Zidane’s nipple, Materazzi asked him: “What, don’t you like it?” The French captain replied: “A bit too hard to turn me on.”

But Materazzi shouted: “Well, I did it that way because I know that’s how your mother likes it.”

Materazzi’s agent denied any racist slur — and said the attack came when Zidane offered to swap shirts later and the Italian replied: “‘I’d rather take the shirt off your wife.”

globalcairene.blogspot.com

Wawancara dengan Zidane di Canal Plus pada hari Kamis 13 Juli 2006 pun tidak memberikan hasil yang lebih jelas, sebab Zidane tidak mengungkapkan apa tepatnya kata-kata Materazzi. Dia hanya mengatakan bahwa Materazzi telah menghina ibu dan saudara perempuannya. Namun, dalam kesempatan lain, Materazzi membantah hal itu, sebab ibu adalah sosok yang sakral baginya, yang tidak mungkin dinistanya. Maka, kasus ini pun masih diliputi misteri.

Sambil menunggu hasil penyelidikan FIFA yang menurut rencana akan diumumkan pada tanggal 20 Juli ini, muncul begitu banyak kecaman, tudingan, maupun analisis kejiwaan terhadap kedua belah pihak. Namun, banyak dari pendapat itu yang tetap saja tidak lebih dari spekulasi belaka.

Sayangnya, kaidah spekulasi yang diajukan Ricklefs sama sekali tidak bisa diterapkan di sini. Selain karena kasus ini masih dalam proses penyelidikan yang boleh dipastikan akan memberikan fakta akurat [yang pada akhirnya akan terdokumentasi], juga karena pihak-pihak yang terlibat masih bisa diusut, dimintai keterangan, dan dikonfrontasikan.

Maka, spekulasi rekan diskusi saya yang menghubung-hubungkan rasisme dengan kasus ini membuat kening saya mengernyit. Kalaupun pembacaan Frere benar, saya masih tetap gagal menangkap hubungan kata-kata tersebut dengan persoalan ras. Entah jika nanti FIFA membeberkan fakta yang membuktikan demikian. Hingga saat ini, saya bukanlah cenayang yang bisa meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan. Saya hanya berpijak pada data yang ada saat ini.

Terlepas dari tidak berhasilnya saya merelasikan soal rasisme dengan makian [yang diduga] dilontarkan oleh Materazzi, lanjutan tulisan rekan saya itu kian membuat saya merinding. Dikatakannya, kalau benar kejadiannya seperti itu dan dia adalah Zidane, maka malam itu pun Materazzi sudah dia jadikan jenasah.

Cukup lama saya tercenung membaca tulisannya. Walau sudah berusaha sekuat tenaga untuk berempati, tetap saja saya gagal untuk mengaminkan haknya mencabut nyawa orang lain. Dan, walau sudah pasti saya akan tersinggung dan marah pada orang yang menghina keluarga saya —apalagi ibu saya!—, tetap saja tidak terlintas dalam benak saya untuk menghabisi hidup orang itu.

Berhakkah seseorang membunuh orang lain atas dasar perasaan tersinggung? Pertanyaan ini jadi hantu yang membuntuti saya selama beberapa hari.

Saya ingat kata-kata yang kerap dilontarkan oleh Mahmud Ahmadinejad, presiden Iran, bahwa holocaust terhadap orang-orang Yahudi di jaman NAZI adalah dusta belaka. Juga pernyataannya bahwa negara Israel harus dihapuskan dari peta bumi. Tidakkah ini menyinggung perasaan warganegara Israel? Apakah hal ini lantas memberikan pembenaran untuk membunuh Ahmadinejad bahkan negara dan bangsa Iran (maupun negara dan bangsa lain) yang mendukungnya?

Saya ingat tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam polemik kebudayaan di tahun 70-an yang tajam menyakitkan perasaan pekerja seni yang berbeda posisi dengannya. Apakah hal ini menghalalkan tumpahnya darah Pramoedya?

Saya lihat banyak buku dan VCD yang dijual secara resmi di toko buku maupun kakilima yang merendahkan Yesus dan kekristenan dengan kata-kata yang tidak senonoh. Melalui pengeras suara mesjid, saya dengar kata-kata menusuk sang pengkotbah tentang kaum nonmuslim. Juga ceramah-ceramah terbatas (di ruang tertutup yang mengutip biaya) maupun terbuka (di lapangan atau jalanan) yang membuat luka perasaan saya sebagai seorang nonmuslim.

Apakah itu menjadi landasan sah untuk menghajar mereka hingga mati?

Mungkin demikian pandangan yang dianuti oleh sebagian orang, sehingga Theo van Gogh di Belanda pada tahun 2004 ditembak mati dan kemudian perutnya ditancap 2 pisau besar dan kertas bertuliskan "Allahu akbar". Pelakunya adalah seorang Maroko bernama Mohammad B. yang mengemukakan alasan bahwa film Submission yang dibuat van Gogh telah menghina Islam.

Sedangkan rekan van Gogh dalam pembuatan film itu, Ayaan Hirsi Ali (pelarian politik dari Somalia yang kini menjadi anggota Parlemen Belanda dari partai liberal VVD), pun telah mendapat ancaman akan dibunuh.

Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Iran mengeluarkan fatwa mati bagi Salman Rushdie di Inggris karena menulis novel fiksi Satanic Verses (1989). Penginjil Pat Robertson di Amerika Serikat (2005) menyerukan pembunuhan terhadap Presiden Hugo Chavez dari Venezuela yang menentang Amerika Serikat. Nicholas Almeida, seorang anggota Catholic Secular Forum (CSF) dari India, menjanjikan US $ 25.000 bagi orang yang dapat membunuh Dan Brown sang penulis buku Da Vinci Code yang menghebohkan itu.

Di sekitar kita, di Indonesia, pun banyak terjadi kasus serupa. Bukannya jarang media massa memberitakan kematian seseorang akibat ketersinggungan. Akibat saling pandang di jalanan saja, nyawa pun bisa melayang. Bahkan hal ini pun terjadi pada anak-anak. (Siapa mengajari mereka?)

Inikah hak yang diberikan dari perasaan tersinggung? Bagaimanakah mengukur kadar ketersinggungan yang pantas dibayar dengan nyawa? Siapakah yang berhak tersinggung dan berhak membunuh? Siapa yang mengatur kewenangan itu?

Di sisi lain, ada juga yang tampaknya menyalahi pakem tersebut. Tahun 2003, El Moumni, imam sebuah mesjid di Rotterdam diajukan ke pengadilan karena mengkotbahkan bahwa "orang nonmuslim adalah heidendom (kafir) yang derajatnya lebih rendah dari anjing dan babi". Namun dia dibebaskan sebab hakim menganggap bahwa kotbah itu hanyalah ungkapan kebebasan beragama dan pengejewantahan dari asas kebebasan mengemukakan pendapat.

Mungkin, bagi teman diskusi saya itu, hakim Belanda tersebut adalah orang yang tidak bermoral ataupun tidak punya nyali. Saya tidak tahu.

Entah bagaimana pula sikapnya —yang kebetulan beragama Islam— terhadap kisah yang kerap dengan bangga dikemukakan oleh rekan-rekan muslim di berbagai milis tentang kesabaran nabi Muhammad yang tidak membalas walau dihina, diludahi, dan dilempari batu oleh penduduk Mekkah yang membencinya. Juga kisah seorang pengemis buta Yahudi yang tidak tahu bahwa Muhammad yang dicacinya adalah orang yang menyuapinya tiap hari.

Padahal, telah menjadi semacam "kewajiban" bagi seorang muslim untuk meneladani perilaku Muhammad. Lalu, mengapa tidak konsekuen untuk menirunya pula dalam hal kesabaran terhadap kata-kata yang menyakitkan?

Boleh jadi saya bukan seorang pemberani yang sanggup menyaksikan banjir darah dan gelimpang bangkai manusia. Mungkin pula saya hanya seseorang yang mencoba ingkar pada konsensus primitif manusia —yang masih berlaku hingga beberapa abad lampau— bahwa perbedaan pendapat dan ketersinggungan membuat seseorang pantas membunuh pihak lain dalam rangka menegakkan harga diri.

Tanpa harus menjadi cenayang, bisa saya bayangkan betapa banyak darah tertumpah dan nyawa melayang jika pembunuhan masih dihalalkan sebagai balasan setimpal atas kata-kata yang [dianggap] menyakitkan, yang tentunya amat subjektif. Dalam tempo sangat singkat dunia ini akan kehilangan setengah penghuninya. Permukiman-permukiman segera bertransformasi menjadi pemakaman-pemakaman.

Dan pada akhirnya manusia akan kehilangan perangkat utama berwacana yang selama ini membuatnya berbeda dengan binatang maupun mahluk primitif: kata-kata. Kata-kata telah menjadi pembunuh, yang membuat tak seorang pun berani angkat bicara.

Ah, betapa sepinya dunia tanpa kata-kata.

— Beth: Kamis, 20 Juli 2006 12:53

Senin, Juli 10, 2006

Saya dan Buku #1

— Mengapa Saya ke Pesta Buku

Old Books
Old Books
usedbookseller

Pesta buku yang kerap juga disebut pameran buku (padahal sejatinya acara tersebut bukanlah sekedar ajang memamerkan buku) adalah salah satu peristiwa yang selalu saya tunggu-tunggu. Ada beberapa alasan mendasar mengapa saya kerap seperti orang nyidam menantikan pesta buku dan sekaligus seperti orang kalap saat berbelanja buku di sana.

PERTAMA, pesta buku tidak jarang menjadi media bagi penerbit atau penyalur (agency) untuk menggelontorkan buku-buku yang terpendam di gudang mereka akibat kurang berhasil secara komersial (sehingga tetap saja menyandang predikat sebagai "cetakan pertama", yang justru menjadi favorit saya) atau yang tidak terserap lagi oleh masyarakat akibat sudah berulangkali dicetak.

Sehingga, wajarlah jika harga buku-buku di sana lebih murah daripada harga di toko buku pada hari biasa yang tanpa program khusus potongan harga. Paling sedikit, kita mendapat rabat 10% untuk buku-buku yang masih tergolong baru. Sedangkan untuk buku-buku yang usianya sudah lewat dari setahun, bisa mendapat potongan hingga 50% lebih. Malah ada yang dilepas dengan harga 10.000 bahkan 5.000 Rupiah saja, padahal kondisinya masih sangat baik seperti baru keluar dari pemanggangan, fresh from the oven.

Bukannya saya enggan membalas jasa para penulis, penerjemah, penyunting, pencetak, penerbit, ataupun penyalur buku yang telah berlelah-lelah turut mencerdaskan anak bangsa. Namun harga buku di Indonesia yang cukup gila-gilaan akibat tingginya harga kertas, bea impor, ongkos cetak, biaya perijinan, peredaran, honor (royalty), dan biaya-biaya lainnya, membuat saya kerap harus mempertimbangkan secara serius pengeluaran saya. Maklumlah, pendapatan saya sebagai pekerja bebas tidak jarang menjadi gamang dalam menopang syahwat saya yang kerap overdosis sebagai "pengumpul" buku.

KEDUA, sebagaimana layaknya pesta buku, ada banyak penerbit dan penyalur pada saat yang bersamaan di satu area. Tentu saja hal ini amat meringankan langkah saya sehingga tidak perlu berkelana dari satu toko buku ke toko buku lain untuk memburu buku tertentu. Dengan demikian, paling sedikit, saya bisa menghemat waktu, biaya bahan bakar, dan ongkos parkir :-).

KETIGA, tidak semua penerbit memiliki pos penjualan (toko buku) sendiri, sehingga buku-buku mereka terpaksa "dititipkan" pada jaringan toko buku yang sudah mapan. Jangankan penerbit-penerbit "rumahan" (yang entah mengapa banyak berasal dari Yogyakarta) yang mungkin hanya berumur sekali terbitan, bahkan penerbit yang sudah tergolong besar pun belum tentu memilikinya.

Dengan adanya pesta buku, saya memiliki kesempatan mengunjungi kedai-kedai (kios, stand) penerbit dan penyalur "marjinal" yang buku-bukunya belum tentu tersalurkan melalui toko buku yang kerap saya kunjungi. Padahal, tidak jarang terbitan mereka adalah buku bagus (atau yang menurut saya layak dikoleksi).

KEEMPAT, di pesta buku kerap saya temukan buku-buku yang sudah cukup lama tercantum dalam daftar pencarian di PDA saya namun tidak pernah saya sua atau luput saya temukan. Cukup sering saya merasa sangat beruntung bisa menemukan buku-buku yang seakan sengaja menanti untuk saya miliki. Bagai bertemu jodoh yang sudah lama diimpikan. Malah, tidak jarang juga saya peroleh buku yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Ibarat jatuh cinta pada pandangan pertama dan langsung dinikahkan di hadapan penghulu.

Yang saya maksud bukanlah buku-buku yang masuk kategori langka seperti edisi terbatas atau buku-buku kuno, melainkan buku-buku biasa yang pernah dianggap sebagai adikarya (masterpiece) ataupun layak baca menurut resensi yang pernah saya simak. Hanya saja, belum tentu buku-buku tersebut berterima baik di masyarakat sehingga masa edarnya sangat singkat (telanjur ditarik dari toko buku sebelum sempat saya temukan) ataupun tidak berjangkauan luas (tidak dijajakan di toko buku langganan saya).

* * *

Terlepas dari pertimbangan ekonomis, politis, bahkan filantropis (sic!), atau apapun, tentu saja "kemurahan hati" para penerbit maupun penyalur buku dalam soal banting harga serta efisiensi melalui pesta buku semacam ini sangatlah menggiurkan dan membahagiakan para "pengumpul" buku seperti saya.

Sengaja saya katakan "pengumpul" bukannya "pecinta", sebab agak ragu saya masukkan diri saya dalam kategori pecinta buku. Selain karena saat ini saya sedang malas membahas makna "cinta" itu sendiri, kerap kali dorongan membeli buku bukanlah datang dari dahaga saya untuk segera melahap isinya, melainkan karena naluri saya yang membisikkan perlunya mengoleksi buku tersebut dengan asumsi satu saat saya akan membutuhkannya. Dan nyatanya kerap kali saya tertolong saat memerlukan rujukan kredibel dalam berdiskusi ataupun menulis.

Demikianlah sebagian pertimbangan saya sehingga selama beberapa hari berturut-turut saya meluangkan waktu beberapa jam di Pesta Buku IKAPI Jakarta 2006 yang diselenggarakan sejak tanggal 1 sampai 9 Juli 2006 yang baru lalu di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.

Dan di sanalah saya temukan 2 "injil" yang akan akan saya tuturkan dalam tulisan selanjutnya.

— Beth: Senin, 10 Juli 2006 04:47