Selasa, Oktober 14, 2008

Merambah Jalan Sepi

— A Tribute to Padré Daniel Taruli Asi Harahap

Lucky Luke
Lucky Luke
sesseler.de

Sekian tahun sebelum diserbu komik berseri manga dari Jepang, Indonesia sempat disodok oleh komik berwarna dalam format besar seukuran majalah yang berasal dari Amerika dan Eropa. Epideminya di Indonesia —jika saya tidak keliru— dirintis oleh sosok wartawan dengan rambut jambul bernama Tintin (1929, Prancis-Belgia) dalam kisah-kisah petualangan a-la spion internasional. Sempat juga saya menikmati lika-liku dunia penerbangan militer melalui kisah dua pilot pesawat jet Mirage dari Prancis, Tanguy dan Laverdure (1959, Prancis-Belgia). Ada juga kisah manusia prasejarah bernama Toenga (1963, Belanda) yang kalah pamor dibanding Conan The Barbarian (1932, Amerika). Juga kisah jenaka dua karib pahlawan Galia, Asterix dan Obelix (1959, Prancis-Belgia), yang mengambil setting masa ekspansi Pax Romana kekaisaran Romawi. Tentu saja tidak ketinggalan komik pahlawan super Amerika seperti Superman (1933), Batman (1939), dan Spiderman (1962).

Dari sekian banyak pilihan (yang sudah pasti tidak seberlimpah sekarang), tentu saja tidak bisa dilupakan komik berlatarbelakang situasi klasik khas Amerika pada masa wild west yang menampilkan tokoh koboi Lucky Luke (1946, Prancis-Belgia). Mungkin masih banyak lagi komik dengan berbagai macam genre yang sudah saya lupa atau tidak sempat saya baca.

Kepopuleran Lucky Luke [dan kisah koboi pada umumnya] merupakan fenomena yang cukup menarik. Ada cukup banyak orang yang menggemarinya walau keseluruhan kisahnya boleh dikatakan tidak kena-mengena dengan kultur Indonesia maupun negara lain di luar Amerika. Uniknya, komik ini pun bukan karya orang Amerika melainkan seniman Prancis dan Belgia. Sangat boleh jadi kasusnya mirip dengan kebangkitan film koboi di tangan para sineas Eropa (khususnya Itali, sehingga film-film tersebut dijuluki spaghetti western. Salah satunya adalah Django (1966) yang demikian populer sehingga banyak orang masa lalu yang menyebut koboi dengan jenggo. Ciri khas Django yang membawa-bawa peti mati itu kemudian ditiru oleh Hans Jaladara untuk komik silat Panji Tengkorak yang muncul pada tahun 1968).

Yang tidak kalah menakjubkan, hampir semua anak Indonesia (tentunya yang tidak luput dari imbas informasi dan hiburan produk Barat) pernah bermain koboi-koboian lengkap dengan topi laken, pistol Colt, dan orang Indian, bahkan pedang dan kuda pasukan kavaleri. Dugaan saya, anak-anak di belahan dunia lain pun mengalami hal yang sama.

Apa menariknya dunia koboi sehingga Lucky Luke berterima pada banyak orang? Apa yang menjadi sebab hingga berjilid-jilid buku kisah Winnetou dan Old Shatterhand karangan Karl May menjadi klasik? Apa yang menjadi daya tarik dan daya jual sehingga hampir semua aktor besar Hollywood pernah memainkan peran koboi? Apa keistimewaan orang-orang lusuh jarang mandi yang bertugas mengawal rombongan ternak sapi yang akibat pekerjaannya itu kemudian disebut cowboy?

Tentunya bukan gaya urakan dan bohemian dunia peternakan sapi dan padang rumput yang kurang akrab bagi kebanyakan orang Indonesia apalagi yang hidup di perkotaan. Tentunya juga bukan karena keasikan menggunakan pistol maupun senapan yang terlarang bagi masyarakat sipil Indonesia.

Lantas apa?

Jika kita perhatikan berbagai macam komik yang sebagian di antaranya sudah saya sebut di atas, ternyata ada keserupaan yang cukup kentara antara satu dengan yang lain, yakni kepahlawanan dan keberpihakan nyata dalam menegakkan hukum yang melindungi hak-hak manusia biasa/awam walau merisikokan keselamatan diri sendiri. Dalam hal ini, sosok Lucky Luke lebih dekat pada kenyataan tinimbang Superman yang berasal dari planet Krypton, atau Batman yang memiliki teknologi eksklusif hasil dukungan finansial korporasi Wayne, bahkan Asterix yang dibekali ramuan ajaib superkuat, yang kesemuanya secara gamblang langsung dimengerti hanya mampu hadir dalam dunia cerita. Lucky Luke adalah seorang manusia biasa yang memiliki ketrampilan menunggang kuda dan akurat dalam menembakkan peluru pistol, halmana bukanlah suatu keajaiban atau mukjijat, karena kemumpunian tersebut bisa dicapai oleh banyak manusia biasa lainnya berkat ketekunan berlatih.

Hanya saja, sebagaimana galibnya komik kartun, tentu saja hiperbolisme komis perlu diimbuhkan sebagai petanda bahwa dunia komik tetaplah suatu dunia yang lain. Maka, diciptakanlah sosok Lucky Luke yang populer ke seluruh penjuru dunia sebagai orang yang bisa menembak lebih cepat daripada bayangannya sendiri. Sesuatu yang mustahil menurut kaidah hukum-hukum optik di dunia nyata. Namun, alih-alih mempersoalkan keilmiahan komik, saya malah hendak "membesar-besarkan" kemustahilan tersebut :-).

Tidak sedikit komik kartun yang ternyata bukan sekedar bacaan ringan yang kosong makna. Sebaliknya, kita bisa memetik berbagai pelajaran kehidupan dari komik. Saya cukup meyakini hal itu sebab saya memiliki pandangan subjektif yang cukup stereotip bahwa kebanyakan penulis di belahan Barat sana seakan memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan nilai-nilai kebajikan tertentu walau tidak ditampilkan secara telanjang melalui tulisan atau ucapan. Komik menjadi karikatur dari dunia nyata.

Lucky Luke adalah sosok koboi lugu yang tidak dihantui berbagai pikiran canggih. Logikanya lurus-lurus dan sederhana saja. Kalaupun ada pertimbangan yang menjadi dasar tindakannya, barangkali tidak jauh dari persoalan penegakan hukum (tentunya yang berlaku saat itu di dunia wild west) dan ... belas kasih yang juga diberlakukannya pada para pelanggar hukum (yang merupakan anomali di alam liar yang menuntut hukum besi). Dua hal inilah yang —menurut pendapat saya— membuat Lucky Luke jadi menarik sebab merupakan antitesis bagi arketip koboi jagoan berdarah dingin seperti yang disodorkan banyak film.

Salah satu ciri lain yang seakan menjadi pola tipikal para pahlawan komik adalah ketiadaan pamrih. Tiada balas jasa yang mereka dambakan setelah menunaikan kewajiban mereka selaku hero. Secara komis, hal ini ditunjukkan oleh Lucky Luke yang segera mencongklang kuda setianya, Jolly Jumper, berlalu dari lokasi aksi kepahlawanannya menuju matahari terbenam sambil melantunkan senandung sepi "I'm a poor lonesome cowboy, and a long way from home..."

Demikianlah dunia komik. Sebuah karikatur terbalik yang menyodok dunia nyata.

Tapi, apakah dunia komik benar-benar bertolakbelakang dengan kenyataan kita di sini dan kini serta sekedar utopi khayali? Tidak juga.

Meski tidak populer dalam aksi spektakuler, apalagi yang berkelas dunia, sesungguhnya kita bisa menyua sosok-sosok seperti Lucky Luke dalam keseharian. Mereka adalah manusia-manusia biasa yang memiliki kemampuan tertentu yang melampaui kebanyakan orang karena ketekunannya. Mereka juga bisa sakit dan terluka [lahir dan batin] seperti kita. Yang membuat perbedaan adalah keberanian mereka menanggung risiko untuk sendirian saat mengambil posisi sebagai perambah jalan yang enggan diambil oleh kebanyakan orang. Mereka berani tampil beda bukan karena sekedar ingin berbeda, melainkan karena determinasi yang kuat untuk berdiri di atas pemahaman yang dinilainya benar walau dia tahu bahwa hal itu akan membenturkannya dengan keumuman. Mereka memang bukan manusia medioker (rata-rata, kebanyakan).

Biasanya, orang-orang seperti ini pada awalnya akan menghadapi hambatan ataupun penolakan dari khalayak di sekelilingnya. Umumnya, hal ini disebabkan oleh keengganan orang di sekitarnya untuk berubah. Jangankan untuk berubah, bahkan untuk memikirkan dan mengkajinya pun sudah malas. Padahal, belum tentu perubahan yang dimaksud adalah memulai sesuatu yang sama sekali baru, melainkan "sekedar" kembali ke jalur yang selayaknya diambil. Namun lingkungan kerapkali amat lamban dan lembam untuk bergerak dari status kemapanan yang dipandang sudah memadai dan baik.

Di sinilah metafora komis Lucky Luke yang "menembak lebih cepat dari bayangannya sendiri" terejawantahkan. Dan di sini pula berlaku kaidah alamiah bahwa mereka yang akhirnya terbawa arus perubahan sebagai penikmat perubahan itu sendiri pada akhirnya hanya akan tinggal sebagai bayang-bayang dari sang perambah jalan sampai satu saat muncul seorang perambah baru ketika perubahan tersebut kembali menjadi stagnan.

Amani K-N-W
DTA, Amani K-N-W
rumametmet.com

Barangkali saya termasuk kurang gaul sehingga tidak mengenal cukup banyak Lucky Luke di dunia nyata. Tetapi, dari sedikit yang saya tahu itu, saya menampak siluet yang kian nyata pada diri seorang Daniel Taruli Asi Harahap yang lebih akrab disapa DTA. Sejak mengenalnya melalui tulisan-tulisannya di mailing list (milis) hkbp, saya sudah merasakan aura keberaniannya dalam merambah jalan sepi, yang bahkan penuh onak dan belukar. Tidak sedikit orang yang menghadang pandangan-pandangannya dengan berbagai argumen, yang pada umumnya dilambari sikap curiga "ngapain repot-repot?".

Tidak banyak —saya pikir— orang yang mau repot secara solo memikirkan dan menyusun berbagai macam rumusan perbaikan bagi sebuah lembaga sebesar HKBP. Apalagi dengan posisi yang disebutnya sendiri sebagai "pendeta kecil" yang jauh dari pusat dan pucuk kekuasaan serta tidak dititipi kuasa apa-apa. Jangankan menjadi tokoh sentral, bahkan status kependetaannya pun sempat mengambang tanpa kepastian selama setahun lebih. Sehingga, ketika beliau menyampaikan rancangan sistematis [dan teologis] perbaikan manajemen organisasi HKBP menjelang Sinode Godang yang baru lalu, ada saja orang yang menganggapnya berambisi menjadi petinggi HKBP. Seruannya agar anggota jemaat mengirimkan SMS untuk menguatkan semangat para pendeta dan perwakilan jemaat yang hadir ke Sinode pun ditanggapi sebagian orang dengan sinis.

DTA tetap bergeming. Dari rumah dinasnya di salah satu pojok Serpong, kembali beliau melontarkan himbauan yang sebenarnya sudah menjadi masalah klasik di berbagai gereja, yakni soal perayaan Natal yang dilangsungkan sebelum tanggal 25 Desember ketika masa Adven masih berjalan. Terang-jelas bahwa DTA punya hasrat menata kembali sikap lahir dan batin para anggota jemaat dalam ibadah (kerja bersama komunitas beriman) dan penghayatan ziarah iman sebagaimana sudah disusun secara cermat dan penuh pertimbangan dalam kalender gerejani/liturgi.

Bagi mereka yang sudi menelisik keindahan dan makna liturgi, tentu saja anjuran itu sangat menggairahkan sekaligus melegakan. Namun bagi mereka yang tidak mau repot mengoreksi kebiasaan salah-kaprah, tentu saja hal ini jadi menyebalkan. Berkuranglah kesempatan menghadiri banyak pesta yang diberi jubah Perayaan Natal. "Mana sempat lagi bernatalan di sana di sini jika waktunya sempit karena sudah dihadang pesta Tahun Baru?" [yang biasanya lebih meriah di kalangan orang Batak dibanding Natal apalagi Paska]. "Biarlah semua berjalan sebagaimana adanya sekarang". "Sudah tradisi". Demikian sebagian tanggapan kontra yang muncul.

Mengapa kita seakan abai pada hakikat minggu-minggu Adven sebagaimana dimaknai dan dihayati oleh orang-orang beriman sepanjang segala abad? Padahal kita menyatakan solidaritas kita dengan mereka sebagaimana disampaikan pada ajakan meneguhkan pengakuan iman setiap hari Minggu. Tidakkah kita sedia berbelarasa dengan orang-orang yang sebagian besar hidupnya berkutat dalam suasana "adven", menantikan — mengharapkan — merindukan jawaban atas doa-doa sederhana bagi hidup sederhana mereka? Tidakkah terbersit sesal mendalam yang serasa tak berampun sehingga kita memerlukan pertobatan paling memedihkan dalam khusuk pengharapan agar layak untuk sekedar menyentuh jubah-Nya? Tidakkah kita cukup sabar merasai kerinduan yang amat-sangat sehingga terpanggil untuk tekun berbenah diri menyiapkan palungan hati bagi Firman yang hidup? Ataukah kita demikian jumawa menilai kepantasan diri sehingga akhirnya memutuskan untuk mempersingkat masa olah rohani ini? Tidakkah kita ...

Ah, memang tidak mudah memaparkan persoalan ini dengan gamblang :-(. Kendati demikian, saya amat yakin bahwa hal ini bukanlah suatu kemustahilan.

Nyatanya, tidak kurang juga orang yang mendukung saran DTA sebagaimana terbaca dalam komentar-komentar di situsnya. Sebab, sesungguhnya, yang diajukan DTA bukanlah gagasan yang sama sekali baru sehingga layak dikuliti habis-habisan. Pergumulan mengenai hal ini sudah cukup lama berlangsung di banyak tempat (sehingga saya katakan sebagai persoalan klasik) dan beberapa gereja sudah berhasil menerapkannya walau harus menyediakan cukup waktu dan kesabaran. Misalnya Padré Jan Calvin Pindo yang selama tujuh tahun tidak lelah-lelah "menyadarkan" anggota jemaat GKI Pamulang tentang kedudukan masa Adven dan perayaan Natal dalam kerangka siklus ziarah iman. Begitu pula halnya upaya penyadaran yang dilakukan Padré Joas Adiprasetya melalui tulisan-tulisannya yang bernas.

Melelahkan? Mungkin. Menjengkelkan? Boleh jadi. Tetapi, manalah pula ada karya besar yang tidak menuntut ikhtiar dan pengorbanan besar? Sebab kita bukan Tuhan yang cukup berkata "Jadilah!" ataupun "Kun faya kun!".

Sebagaimana Lucky Luke yang tidak jemu-jemu "menggulung" komplotan Dalton bersaudara tanpa harus mengirimkan peluru mematikan ke tubuh mereka, demikian pula saya pikir yang dilakukan oleh DTA maupun beberapa rekan pendeta di HKBP maupun gereja lain dalam mengajar dan menggembalakan anggota jemaat agar memahami, mencintai, dan menghayati liturgi yang tidak lain adalah cerminan ziarah iman/spiritual yang hendaknya terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun yang mereka lakukan masih "lebih cepat daripada bayangannya sendiri", semoga kian banyak orang yang berani memutuskan untuk mengambil jalan yang enggan dilalui oleh orang kebanyakan itu, sehingga satu saat nanti jalan setapak berbatu itu pun menjadi rata dan lapang sehingga tidak melukai lutut lembut kanak-kanak.

Ketika jalan itu mulai dilirik dan disusuri oleh kian banyak orang, bukannya tidak mungkin nama mereka tidak pernah dicatat dalam buku maupun ingatan, konon pula dielu-elukan. Sekian tahun ke muka, boleh jadi aksi mengembalikan gerbong ke relnya tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi. Kalaupun demikian yang harus terjadi, patutlah kesahajaan Lucky Luke menjadi cermin. Segera congklang kuda menuju mentari senja sambil menyenandungkan lagu-lagu yang tidak mengeringkan tulang.

Tidak berkurang kemuliaan-Nya karena kekurangmampuan kita menyukseskan perkara, tidak bertambah pula kemuliaan-Nya akibat keberhasilan kita. Sebab pertanyaannya bukanlah "to be or not to be" melainkan "adilkah kita dalam memegang hukum dan berbelaskasihkah kita saat menegakkannya?". Di rentang ketegangan antara keduanyalah ujian sejati menyapa integritas kita agar kelak dapat kita ajukan jawaban takzim saat ditanyai, "Apakah engkau mengasihi-Ku?".

Selamat berjuang, Lucky Luke, eh Padré Daniel. Janganlah jemu berikhtiar dan berupaya. Hanya para pemberani sejatilah yang sanggup melangkah di jalan setapak nan sepi. Dan bersukacitalah jika kelak berlaksa bayang orang berseru "Hei, kita berada di jalan yang tepat!" tanpa menyebut-nyebut nama anda.

— PinAng: Selasa, 14 Oktober 2008 03:38