Minggu, Desember 07, 2008

Satu Minggu di Bulan Desember #1

— Masih di Jakarta

Sleeper's Dilemma
Sleeper's Dilemma
stevonlucero.com

Jumat, 5 Desember 2008

Adik saya, Michael, menelpon sekitar jam 21 bahwa dia sedang menuju rumah tempat tinggal saya. Katanya, supaya sopirnya —yang esok hari akan menjemput dan mengantar saya ke bandara— tahu jalan. Saya, Mami, Yosephine (kakak saya), dan Clarissa (anak bungsu Kak Yose) akan ke Malang esok hari guna menghadiri pembaptisan Quinn (anak Tidy, adik saya) pada hari Minggu yang akan datang.

Semula saya pikir Michael datang dari rumahnya di Cibubur sehingga saya memberikan ancar-ancar lokasi berdasarkan perkiraan tersebut dengan menggunakan kampus UKI di Cawang dan Jalan Casablanca sebagai patokan.

Ternyata dia datang dari bandara langsung setelah mendarat dari perjalanan dinasnya. Akibatnya, dia dan sopirnya pun salah mengambil belokan di Casablanca dan terpaksa berputar-putar sejenak di kawasan by-pass Jatinegara. Walau sudah dipandu melalui telepon seluler, tetap saja diperlukan waktu hampir 2 jam untuk tiba di tempat tinggal saya sejak saat pertamakali Michael menelpon saya.

Asumsi dan penyimpulan adalah 2 hal yang perlu dilakukan secara cermat. Kelengkapan dan ketepatan informasi merupakan modal yang sangat penting dalam menghubungkan kedua titik tersebut. Melalaikan peran dan porsi masing-masing akan menyebabkan pemborosan bahkan kegagalan.

Di sisi lain, kemauan untuk melakukan uji coba merupakan langkah yang sangat diperlukan tatkala sesuatu diperkirakan memiliki risiko. Daripada tersesat keesokan harinya, yang dapat mengakibatkan kerugian lebih besar akibat terlambat tiba di bandara, lebih baik menyediakan upaya ekstra untuk menjamin tingkat keberhasilan pada saat pelaksanaan.

Latihan adalah kata lainnya. Practice makes perfect, kata orang Inggris. Atau dalam peribahasa kita, alah bisa karena biasa.


Sabtu, 6 Desember 2008

Saya sudah bersiap-siap sejak pukul 8 pagi. Menurut rencana, sopir adik saya berangkat dari Cibubur sekitar jam 8.30 dengan membawa Mami, Kak Yose, dan Clarissa yang sudah tiba di rumah Michael sejak kemarin sore. Berdasarkan perkiraan dari pengalaman sehari-hari, perjalanan dari Cibubur ke tempat saya memakan waktu sekitar 1 jam sampai 1,5 jam. Sedangkan ke bandara, biasanya dicadangkan waktu 2 jam.

Ternyata, jalanan amat lengang (tentu ada hubungannya dengan libur Idul Adha yang jatuh pada hari Senin). Jarum jam belum menunjukkan pukul 9 ketika mereka tiba. Terlalu dini untuk berangkat ke bandara sebab pesawat baru akan berangkat pukul 13.30. Maka, waktu sekitar 1 jam pun dimanfaatkan untuk ngobrol-ngobrol di rumah bersama dengan Riris, Roberto (adik bungsu Riris), dan ibunda Riris (artinya, ya mertua saya :-) ).

Kadang-kadang kemudahan dan kelancaran yang kita terima malah melahirkan kebingungan. Kita tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika sesuatu berlebih. Orang lebih bersiap menghadapi kekurangan tinimbang kelebihan.

Kelebihan waktu bisa membuat kesal karena sama artinya dengan menunggu, sedangkan waktu tersebut tidak bisa kita sedekahkan atau tukar dengan barang lain. Membunuh waktu kerapkali menuntut kreativitas yang tidak sederhana, apalagi jika dilakukan bersama-sama dengan orang lain yang berbeda minat. Beruntung manusia memiliki kemampuan untuk berbincang-bincang dengan sesamanya.

Kebetulan, sehari sebelumnya, Clarissa tepat berusia 4 tahun. Riris —yang memang jauh lebih perhatian pada keponakan-keponakan saya dibanding saya sendiri— menghadiahi Clarissa baju hangat dan baju terusan. Sebagaimana lazimnya perilaku anak kecil terhadap barang baru, baju hangat itu pun langsung dipakainya.

Meskipun kakak Clarissa tidak berulangtahun (dan saat itu pun tidak ikut karena sedang mengikuti ulangan umum kelas 4 SD), dia pun mendapat hadiah. Ulangtahun seorang anak ternyata bukan hanya sekali dalam setahun. Dia pun wajib mendapat hadiah jika saudaranya mendapat hadiah. Bagi anak seusia itu, keistimewaan ulangtahun belum merupakan suatu hal yang bisa dimengerti.

Keadilan adalah sebuah konsep yang penerapannya sangat kontekstual, tidak bisa digebyah-uyah (jeneralisasi). Pengertian/pemahaman mengenai keadilan adalah hal pokok yang perlu dimiliki oleh semua pihak yang terlibat.

Perbedaan pengertian/pemahaman mengenai keadilan maupun pengejawantahannya merupakan sebuah keniscayaan yang sangat manusiawi. Dalam hal ini, toleransi merupakan jawabannya. Namun, banyak yang lupa bahwa toleransi merupakan kewajiban pihak yang lebih kuat (kuasa, jumlah), bukan kewajiban pihak yang lebih lemah. Toleransi bukanlah sebuah belaskasihan, melainkan kelapangan hati manusia yang memiliki kedewasaan dan kearifan.

Hal lain yang membuat kami "harus" melakukan hal itu adalah karena rasa setiakawan kedua kakak-beradik keponakan saya. Jika yang satu diberi sesuatu, maka dia akan bertanya apakah saudaranya juga akan memperolehnya. Hampir selalu mereka akan menolak pemberian tersebut jika tahu bahwa saudaranya tidak mendapatkan. Entah dari mana mereka mempelajari dan menghayati solidaritas sekental itu.

Wajarkah jika seseorang atau sekelompok orang berkorban menolak "rejeki" ketika dia/mereka tahu bahwa sesamanya tidak mendapatkan bagian?

Memikirkan kepentingan dan kesejahteraan pihak lain bukanlah sebuah karakter yang mudah dibentuk. Apalagi jika terdapat perbedaan kepentingan yang bisa berujung pada perselisihan. Bukannya jarang, kebutuhan (ataukah keinginan?) menyebabkan seseorang tidak peduli pada orang lain, meski orang lain itu jauh lebih membutuhkan. Bahkan, tidak mustahil pula seseorang tega merebut milik orang lain. Jika perlu, secara paksa.

Ah, betapa benar ucapan seorang bijak yang mengatakan bahwa kanak-kanak adalah yang empunya Kerajaan Allah. Mereka jauh lebih toleran dan solider dibanding kebanyakan orang dewasa, tanpa harus berkoar-koar tentang keadilan.


Sebenarnya siang hari ini ada acara kopdar (kopi darat) para anggota milis (mailing list) hkbp di Yakoma PGI. Ingin rasanya saya bergabung dengan rekan-rekan milis, apalagi kopdar kali ini dihadiri oleh Padre Joas Adiprasetya yang baru saja menuntaskan proses belajarnya dan meraih gelar Doktor Teologi dari Boston University. Namun saya tidak bisa mengarang alasan untuk tidak berangkat hari ini ke Malang. Pembaptisan keponakan saya esok hari lebih membutuhkan kehadiran saya selaku Tulangnya (dan juga kepala keluarga setelah kematian Bapak) tinimbang kopdar milis yang bertaburan banyak bintang. Saya pikir saya lebih diharapkan berada di Malang daripada di Cempaka Putih.

Rupanya memilih antara 2 pilihan yang enak sama tidak menyenangkannya dengan memilih antara 2 pilihan yang tidak enak. Tetapi pilihan harus dibuat. Keuntungan (kenikmatan, kegembiraan) kadangkala harus dilupakan tatkala tanggung jawab masuk dalam variabel pertimbangan.

Di bandara, saya sempatkan membuka email dari milis hkbp. Ada kabar bahwa beberapa rekan lain ternyata tidak bisa hadir sesuai rencana. Efron "Mbah Dukun Sesat" Dwi Poyo yang sejak semula ngotot agar acara kopdar tersebut tetap dilangsungkan pada tanggal 6 Desember ternyata harus berangkat ke Tabang (entah di mana pula lokasinya di Kalimantan Timur). Begitu pula Erwinthon "The Architect" Napitupulu, sang pemilik milis, batal datang dari rancanya di Lembang karena mobilnya bermasalah. Juga Muna "The Blade" Panggabean yang sejak beberapa hari sebelumnya sudah woro-woro tidak bisa hadir demi mengurus rencana pembuatan film yang didasarkan pada 4 cerita pendek hasil lomba di milis hkbp dan cyber-gki.

Dasar sirik, diam-diam saya berharap Padre Joas dan Padre Calvin van Pamulang juga berhalangan hadir. Ternyata, dari kabar yang saya baca kemudian, mereka berdua malah datang bersama-sama. Sebaliknya, malah Padre Daniel Taruli Asi Harahap yang tidak muncul tanpa kabar berita. Wah, kopdar milis hkbp malah dihadiri oleh 2 pendeta GKI tanpa seorang pun pendeta HKBP :-).

Saya jadi teringat pada gugatan MDS tentang bersyukur yang tidak jarang merupakan manipulasi dan kamuflase seseorang yang bergembira [dan memuji Tuhan] tatkala kemalangan tidak menimpa dirinya melainkan orang lain. Atau kemalangan yang dialaminya tidak seberat orang lain. Syukur menjadi sebuah perbandingan perolehan.

Ternyata moral saya masih payah, sebab tidak rela orang bergembira, malah berharap mereka tidak beruntung :-(.

Semula saya berencana menelpon seseorang yang hadir di Yakoma PGI sekitar jam 13 untuk menyampaikan salam bagi semua rekan yang hadir. Gara-gara asik membuka Facebook (yang entah mengapa, tampaknya banyak orang yang sedang dilanda kemurungan), lupalah saya pada niat tersebut. Ah, walau terlambat, kiranya masih bolehlah jika saat ini saya sampaikan secara nonfisikal, "selamat bergembira, wahai kawan-kawan".


Jam 14. Pesawat yang akan membawa kami ke Malang sudah siap di landasan. Kami pun bergegas masuk pesawat, lalu tinggal landas menyeruak langit Jakarta menuju Malang.

— Malang: Minggu, 7 Desember 2008 01:59