Sabtu, Agustus 23, 2008

Menyongsong Petang di Teras Starbuck

— Perjumpaan dengan Padré Joas Adiprasetya

Joas
the clown

Bukanlah satu kebiasaan maupun kebisaan saya untuk bertemu secara nyata dengan orang-orang yang mulanya saya jumpai di dunia maya internet seperti mailing list (milis) melalui acara yang lazim disebut kopi darat (kopdar). Jangankan yang bersifat pribadi satu lawan satu, bahkan yang dilakukan secara beramai-ramai dengan anggota lain milis pun sebenarnya tidak sangat menarik minat saya.

Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan jumlah kopdar yang pernah saya ikuti. Satu kali kopdar tidak resmi dengan beberapa anggota milis APIKatolik plus gerejakatolik setelah misa Jumat pertama yang dilayankan oleh Romo Gani di Chase Plaza, satu kali dengan milis [yang waktu itu bernama] gkps di Laponi Tondongta Jalan Sabang, dua kali dengan milis hkbp yang masing-masing berlangsung di Laponi Tondongta Jalan Sabang dan lapo Taman Mini. Hanya itu. Sedangkan yang sifatnya pribadi pun hanya segelintir. Yang saya ingat adalah dengan Dea, Debora, Telly, Caroline, Romo Gani, dan Mbah Dukun Sesat alias Efron.

Sebenarnya kekurangminatan saya itu lebih disebabkan oleh kekhawatiran menjadi canggung saat bersosialisasi dengan orang-orang yang belum saya kenal. Acapkali saya mengalami kesulitan mencari topik perbincangan awal yang menarik bagi keduabelah pihak (terlebih-lebih jika lawan bicara saya adalah kaum lelaki, males banget dah! :-) ).

Hal ini amat berbeda dengan dunia pekerjaan, dimana saya tidak menemui kesulitan saat berjumpa dengan siapa pun dari tingkatan apa pun kendati belum pernah berkenalan. Dengan mereka, tentu saja topik yang akan dibicarakan sudah dipahami [dan disepakati] oleh keduabelah pihak, sehingga tidak diperlukan basa-basi dalam rangka menebak-nebak jenis perbincangan. Semuanya bisa dilakukan to the point dalam semesta yang tidak terlalu melebar.

Sedangkan kopdar biasanya tidak memiliki agenda pembicaraan khusus. Semuanya amat cair dan mengalir sehingga bisa melantur ke mana-mana. Di situlah letak kesulitan saya; menebak-nebak bahan perbincangan yang diminati oleh lawan bicara. Apalagi jika kopdar tersebut bersifat pribadi tanpa kehadiran orang ketiga yang bisa menolong mengisi pembicaraan guna mencegah kebekuan. Dan, celakanya pula, saya termasuk orang yang paling enggan merepotkan diri menebak-nebak pikiran orang lain.

Sindrom itu pulalah yang menghantui saya tatkala mengarahkan mobil menuju Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta di Jalan Proklamasi pada tanggal 20 Agustus yang lalu. Sehari sebelumnya, sebuah SMS masuk ke ponsel saya menanyakan apakah saya ada waktu keesokan harinya sekitar jam 14 untuk bertemu. Kalau saja pengirimnya bukan orang bernama Joas Adiprasetya, barangkali saya tidak terlalu grogi :-).

Kini nasi sudah menjadi bubur, dan janji tak mungkin lagi ditarik. Sejak sekian bulan, bahkan tahun, yang lalu, ketika beliau masih "nyantrik" di Boston University, saya sudah memaksanya mencantumkan nama saya dalam daftar orang yang ingin "beraudiensi", minimal minum kopi dan merokok bareng. Dan beliau sudah menyatakan kesediaannya.

Janji itu ditepatinya begitu kembali ke Indonesia. Malah, saya sudah disediakan waktu bertemu seusai kebaktian pagi di GKI Pondok Indah pada tanggal 20 Juli 2008, tepat 2 hari setelah tibanya di Jakarta. Sayangnya, pada tanggal yang dinanti-nantikan tersebut saya batal datang karena Riris (istri saya) kurang sehat. Walhasil, terjadilah penundaan hingga batas waktu yang belum dapat ditentukan. Apalagi, jadwal beliau tampaknya cukup padat.

Sebenarnya, hari Minggu itu saya nyaris menjadi orang yang sangat beruntung. Sampai-sampai Padre Calvin van Pamulang sempat-sempatnya mengemukakan "kecemburuan" atas keberuntungan saya itu sementara beliau harus berkutat dengan urusan Sinode di Bandung. Dengan masygul saya balas SMS beliau mengabarkan batalnya perjumpaan dengan Joas.

Bukanlah sebuah omong-kosong jika saya katakan bahwa Joas adalah salah satu orang yang membuat saya merasa terhormat jika bisa berjumpa. (Dengan presiden saja rasanya tidak begini-begini amat karena memang tidak minat :-).) Barangkali akan terdengar jumawa jika saya katakan tidak banyak orang yang saya segani dari dunia maya milis. Tapi, memang demikianlah kenyataannya. Dan Joas adalah salah satu dari sedikit orang tersebut (tidak perlulah saya jelaskan panjang-lebar alasannya). Meskipun saya tahu bahwa usianya lebih muda dibanding saya, hal itu sama sekali tidak mengubah pandangan saya terhadapnya sebagai seorang locianpwee dunia kangouw yang kepadanya patut saya haturkan soja.

Maka, bercampurbaurlah perasaan yang bergejolak di dalam hati saat memasuki areal parkir depan STT Jakarta tepat satu bulan setelah janji yang tertunda. Saking tidak ingin kehilangan waktu, saya sudah tiba di sana sekitar pukul 12.30. Sampai lupa bahwa saya belum makan siang. Akhirnya, saya makan dulu di salah satu rumah makan di Megaria yang [konon] pernah menjadi daerah "jajahan" Joas saat masih menjadi mahasiswa STT. Setelah itu, saya menghabiskan sisa waktu dengan menjalani lorong-lorong kampus STT dan membaca-baca pengumuman yang terpampang di sana. Sialnya, entah sejak kapan, kampus itu mendeklarasikan diri sebagai kampus bebas asap rokok :-((.

Tepat 5 menit menjelang pukul 14, saya berkirim SMS, "Mas Joas, saya sudah tiba di STT." Hanya dalam hitungan kejapan mata, saya melihat seseorang berperawakan agak gemuk berjalan sambil "celingak-celinguk" di areal parkir dalam kampus. Aha, itu Joas! Untunglah saya sudah pernah melihat fotonya, sehingga dengan yakin saya melambaikan tangan. Sedangkan beliau rupanya ragu bahwa saya adalah orang yang sudah berjanji bertemu dengannya siang itu. Tentu saja orang yang dicarinya sangat berbeda dengan yang dipikirkannya, karena saya tidak lagi berambut panjang dan berkuncir. Apalagi saat itu saya berpenampilan cukup rapi dengan hem dan pantalon dan sepatu kulit layaknya orang kantoran, tidak lusuh seperti yang dibayangkannya sebagaimana terlihat dalam foto kopdar milis hkbp di lapo Taman Mini beberapa waktu yang lalu :-).

"Ke mana kita? Saya tidak tahu tempat ngopi di sekitar sini," kata saya setelah kami saling menyampaikan salam. Saya benar-benar lupa untuk terlebih dahulu mencari informasi dari adik ipar saya yang berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tentang tempat nongkrong yang nyaman di kawasan tersebut. Kabarnya, Café Loro Jonggrang di seputaran Cikini menyuguhkan kopi yang enak (tapi belum pernah saya jajal).

Rupanya Joas pun tidak begitu tahu perkembangan wilayah itu setelah 5 tahun penuh meninggalkan Indonesia. Akibatnya, mobil pun merambah jalan tanpa kepastian tujuan. Sambil jalan, kami berbincang-bincang menanyakan kabar dan keluarga masing-masing sebagaimana lazimnya orang baru berkenalan.

Setelah sampai di Kuningan, barulah saya ingat Starbuck di Tebet. Dan ke sanalah kami menuju. Padahal, di Setiabudi Building pun ada Starbuck. Inilah susahnya jika kekikukan masih membayangi. Pikiran jadi butek.

Beruntung Joas bukan orang kikuk seperti saya, malah cukup santai. Sehingga, tanpa banyak memakan waktu, kami sudah bisa berbincang tanpa jeda yang cukup berarti. Tapi, tentu saja perbincangannya masih belum beranjak terlalu jauh dari urusan milis :-).

Setelah beberapa tegukan kopi racikan Starbuck membasahi tenggorokan diiringi belaian lembut kabut nikotin (A Mild untuk saya, Marlboro merah untuk Joas), perbincangan pun semakin hangat. Mulai dari soal STT, PGI, GKI, gereja pada umumnya, pendampingan jemaat, think tank gereja, keluarga, puisi saya, eksklusivisme-pluralisme-inklusivisme-singularisme agama, tesis doktoral yang diambilnya, hingga akhirnya sampai ke topik yang saya nanti-nantikan yaitu tentang apa yang akan dilakukannya di dan bagi Indonesia setelah menuntaskan penuntutan ilmu di Boston. Hati kecil saya sangat berharap beliau akan meluangkan waktu dan kemampuannya yang menurut saya extra-ordinary itu untuk menulis. Tentu saja yang saya maksudkan adalah menulis artikel dan buku yang dipublikasikan secara resmi dan luas, bukan sekedar melalui milis.

Joas tertawa ketika harapan saya itu mengingatkannya pada rencana menulis buku Amor Mundi yang sangat saya nanti-nantikan sejak bertahun silam. Namun, saya sangat bisa memaklumi ketika beliau mengakui mengalami kesulitan mewujudkannya. Terlalu banyak gagasan yang berseliweran di kepala sehingga malah bingung memilih dan memilahnya. Konon, itulah kutukan yang melekat pada orang yang punya banyak pengetahuan :-). Belum lagi soal disiplin meluangkan waktu duduk di hadapan komputer untuk menulis.

Alih-alih memberikan perkiraan penyelesaian buku Amor Mundi, Joas malah membuat saya sangat terperanjat ketika mengajukan pertanyaan, "Buku apa yang sebaiknya saya tulis?"

Waduh! Jelas ini bukan pertanyaan sambil lalu. Malah, terasa menjadi tohokan jitu terhadap alasan saya yang paling hakiki mengapa ingin berjumpa dengannya. Terang saja saya jadi gelagapan. Apa pula kompetensi saya sehingga pantas memberikan opsi untuk bidang yang tidak saya kuasai secara mumpuni?

Namun, di sisi lain pertanyaan itu membuat saya sadar tentang posisi saya selaku jemaat awam yang tentunya memiliki kebutuhan dan gairah menemukan pencerahan atas berbagai hal yang selama ini berlaku secara taken for granted bahkan cenderung menjadi ultimatum take it or leave it. Juga tentang banyak hal kontekstual dalam dinamika nyata kehidupan sehari-hari yang nyaris tidak/belum disentuh oleh gereja. Dalam hal ini, belum tersedia cukup literatur bagi kaum awam yang tidak akrab dengan bermacam jargon teologi-akademis.

Belum sempat saya mengurai, menautkan, dan merumuskan kecamuk pemikiran, kembali Joas mengejutkan saya dengan gagasan tentang "tarian" Trinitarian yang menjadi dasar dari seluruh "tarian" kehidupan kini dan di sini. Entah bagaimana, beliau seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikiran saya sekaligus menjawabnya dengan jitu tanpa perlu saya katakan. (Itu sebabnya saya pernah katakan pada Efron bahwa Joas adalah anomali sekaligus jenius :-).)

Menurutnya, hal itu sebenarnya sudah sangat akrab bagi kalangan Kristen di masa lampau, khususnya di Gereja Timur. Jelas, gagasan itu sangat menarik bagi saya karena pernah membaca buku yang membahas metafora "tarian" Allah Trinitarian. Hanya saja saya masih belum mampu mencerna maknanya dengan baik, sehingga masih amat jauhlah dari pemikiran saya tentang cara membahasakannya kepada masyarakat Kristen Indonesia yang lebih didominasi pemahaman teologi Barat.

Kendati demikian, samar-samar saya bisa membayangkan sebuah filosofi yang bisa menjadi dasar teologis bagi penerimaan, penghormatan, dan perayaan terhadap keragaman sekaligus landasan membangun kemitraan dengan semua pihak dalam kerangka pemuliaan manusia. Dalam hal ini, Joas mengatakan bahwa dengan itu kita bisa bicara banyak hal; ekologi, feminisme, keadilan, kesejahteraan, harmoni, dan sebagainya. Hanya saja, belum bisa saya bayangkan bagaimana sesungguhnya uraian tentang tarian Sang Allah Trinitarian tersebut dan bagaimana pula kisi-kisi pola yang bisa ditawarkan pada khalayak perihal penerapan praktisnya. Entah bagaimana pula relasinya dengan global ethics yang dulu pernah menarik minat Joas [dan masih tetap menarik bagi saya].

Ah, biarlah itu menjadi urusan sang resi.

Tiga jam berbincang dengan Joas ternyata amat jauh dari menjemukan, malah sangat menggairahkan (walau saya yakin bahwa semua yang kami bicarakan barulah tepi-tepi dan kembang-kembangnya saja, belum masuk ke inti yang tentunya tidak sederhana). Sensasinya seperti berjumpa kembali dengan seorang kawan lama walau baru pertamakali bertemu. Maka, agak berat juga rasanya ketika saya mengantar beliau kembali ke Jalan Proklamasi. Tugas kampus sudah menantinya.

"Datanglah ke rumah kalau buku-buku saya sudah sampai dari Amerika," katanya ketika saya mengarahkan mobil meninggalkan pelataran parkir STT. Saya mengiyakan sembari membayangkan 3000-an buku yang akan datang menyerbu rumahnya.

Jarum jam menunjukkan pukul 17 lewat sedikit ketika saya pulang dengan perasaan lebih penuh, laksana cangkir dituangi kopi wangi yang baru saja kami nikmati di teras Starbuck.

— PinAng: Sabtu, 23 Agustus 2008 01:48

Senin, Agustus 11, 2008

Nuansa Spiritual dan Fasisme Beragama

— Refleksi dari Diskusi di Beberapa Milis "Agama"

Broken Glass
Broken Glass
octagonbolton.co.uk

Walau tidak boleh dijadikan ukuran sahih bagi kenyataan sesungguhnya, peran mailing list (milis) dalam kehidupan masa kini dapat dianggap sebagai miniatur dan replika dinamika suatu komunitas. Bahkan, tidak jarang milis menjadi muara penyampaian berbagai suara yang tak tersuarakan di dunia nyata. Oleh sebab itu, ijinkan saya menggunakan beberapa fakta yang berlangsung di milis sebagai dasar pijakan tulisan ini.

Belum lama berselang, saya melihat adanya kemiripan tema diskusi di beberapa milis yang dari namanya sedikit-banyak bersentuhan dengan gatra-gatra keagamaan. Fenomena ini jadi menarik karena masing-masing milis tersebut tidak memiliki hubungan satu sama lain.

Di milis islamliberal diskursus perihal aliran Ahmadiyah masih terasa hangatnya bahkan setelah pemerintah Republik Indonesia "menyatakan sikap" melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri yang melarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyebarluaskan ajarannya [1]. Diskusi kian hangat setelah terjadi tragedi 1 Juni 2008 di lapangan Monumen Nasional (Monas) ketika rencana unjukrasa massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) —yang salah satu agendanya mengecam SKB tentang Ahmadiyah— bubar berantakan akibat serbuan kelompok yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI).

Suara yang berkembang di kalangan umat Islam di dunia nyata maupun maya cukup beragam. Salah satu yang gaungnya cukup populer adalah seruan [termasuk dari kalangan cendekiawan dan politisi] agar Ahmadiyah berhenti mendaku sebagai umat Islam dengan cara membuat agama sendiri. Dan di jalan-jalan, banyak terbentang spanduk yang menyerukan pembubaran Ahmadiyah. Pada intinya, Ahmadiyah hendak didorong keluar dari bangunan bernama Islam.

Di milis diskusi gerejakatolik berlangsung diskusi [klasik] yang tidak kalah serunya berkenaan dengan maraknya gerakan karismatik dalam tubuh Gereja Katolik Roma (GKR). Topik ini saya anggap klasik karena berlangsung hampir setiap tahun, bahkan bukan hanya di satu milis Katolik saja. Nyaris hanya merupakan pengulangan yang hampir selalu berakhir buntu.

Meskipun gerakan karismatik sudah cukup lama dinyatakan sebagai bagian sah dari GKR sehingga diakomodasikan dalam wadah Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK), sebagian umat yang merasa nyaman dengan gaya ibadah hening-khidmat yang telah menjadi tradisi ratusan tahun merasa terusik oleh kehadiran ibadah ekspresif [yang kadang disertai bahasa roh dan misa penyembuhan] yang dilakoni kalangan karismatik.

Dilema, bahkan inkonsistensi, pun membayangi para peserta diskusi, terlebih-lebih mereka yang acap berusaha tampil sebagai pembela gigih ajaran dan lembaga GKR. Ada yang berpendapat bahwa gerakan karismatik adalah bentukan kalangan Protestan yang disusupkan ke tubuh GKR agar terjadi pembusukan dari dalam. Di sisi lain, tidaklah kalah kuat pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya gerakan karismatik memiliki akar historis, bahkan lahir, dari rahim GKR perdana namun meredup dan kemudian "dilahirkan kembali" oleh kalangan Protestan.

Diskusi kian memanas sampai-sampai ada peserta diskusi yang mengultimatum agar gerakan karismatik membentuk gereja sendiri yang terpisah dari GKR. Gerakan karismatik hendak didorong keluar dari bangunan bernama Katolik.

Sementara itu, di milis hkbp terjadi diskusi yang tidak terlalu hangat tentang "kebaktian alternatif" yang merupakan istilah lain bagi ibadah a-la karismatik yang belakangan ini banyak diminati kalangan muda. Walau diskusi hanya berlangsung sebentar, sempat tercetus pendapat bahwa gereja tidak berkewajiban memuaskan selera anggota jemaat yang menganggap kebaktian klasik kurang berterima di kalangan anak muda. Walau berbeda dalam notasi, iramanya senada dengan yang muncul di kedua milis sebelumnya, yakni menyapih kelompok [minoritas] yang tampil berbeda tersebut dari tubuh induknya.

Tragisnya, situasi di dunia nyata HKBP lebih memilukan. Pada beberapa gereja terjadi polarisasi frontal di kalangan anggota jemaat. Friksi yang merupakan warisan pertikaian kelas tinggi di lembaga HKBP belasan tahun silam telanjur meresap hingga ke sebagian akar rumput. Jemaat/gereja yang semula satu lantas terpecah menjadi [minimal] dua kubu. Masing-masing mendaku sebagai pemilik sah gereja (terutama bangunan dan aset-asetnya).

Akibat kontestasi beraroma "menang-kalah" yang tidak jarang dilakukan secara fisik itu, salah satu kelompok dipastikan akan tersingkir sebagai pecundang. Mereka yang kalah otomatis kehilangan hak menggunakan gereja sebagai tempat beribadah. Misalnya, yang kalah dalam perseteruan di HKBP Pondok Bambu baru dapat melaksanakan ibadah setelah pihak Gereja Bethany mengijinkan gedung gerejanya digunakan. Sedangkan yang kalah dalam perseteruan HKBP di Jalan R.E. Martadinata Bandung terpaksa melangsungkan ibadahnya di pinggir jalan raya.

* * *

Baik di kalangan Islam, Katolik, maupun Protestan (dan tidak tertutup kemungkinan pada agama-agama lain) terjadi proses serupa, yakni kristalisasi pemahaman yang bermuara pada pendakuan sebagai pewaris sah dan murni ajaran agama. Semua yang dipandang berbeda dengan pakem tradisi akan dianggap melenceng sehingga tidak berhak turut ambil bagian dalam komunitas. Mereka tidak pantas hadir dalam istana agama.

Panji-panji agama dipandang masif berwarna merah seluruhnya, atau hijau seluruhnya, atau putih seluruhnya. Tidak satu warna lain pun boleh hadir dalam semestanya. Nuansa, gradasi, apalagi noktah kontras, amat diharamkan karena akan menodai kesucian warna tunggal.

Menyaksikan ketegaran hati manusia yang [mungkin sukar dihindarkan] berujung pada kekerasan, timbul pertanyaan, "Apakah memang begini seharusnya wajah agama yang konon hadir dalam sejarah untuk memperbaiki ahlak dan kehidupan manusia? Inikah wajah sejati dari konsep karunia bagi semesta alam dan cinta kasih yang kerap didengung-dengungkan itu?"

Fenomena Apolos

Dari pembacaan terhadap "sejarah" ketuhanan dan keagamaan dalam khasanah Kristen, patut diakui bahwa diskursus dan benturan wacana teologis bukanlah sesuatu yang baru ataupun asing. Perjanjian Baru memberikan gambaran bahwa berbagai aliran dalam kekristenan telah hadir sejak masa gereja perdana. Misalnya, dalam "Surat kepada Jemaat di Korintus" Paulus mencatat adanya golongan Paulus, golongan Apolos, golongan Kefas, dan golongan Kristus [2]. Bisa jadi yang disebutkan oleh Paulus hanyalah kelompok besar dan cukup menonjol. Itu pun yang terdapat di Korintus saja. Bagaimana dengan kota-kota lain maupun kelompok-kelompok lebih kecil yang kurang populer? Bukannya tidak mungkin terdapat sangat banyak aliran dan kelompok yang sama-sama mengaku sebagai pengikut Kristus.

Amatlah menarik melihat nama-nama yang disebutkan dalam surat itu. Apolos yang tidak begitu terkenal disandingkan dengan nama besar Paulus dan Kefas (Petrus) yang bergelar Rasul dan dianggap sebagai sokoguru kekristenan. Lebih hebat lagi, ketiganya disejajarkan dengan Kristus sendiri.

Tidak dapat dinafikan bahwa penamaan kelompok-kelompok tersebut merupakan indikasi adanya perbedaan yang cukup mendasar satu sama lain. Dalam konteks agama, hal itu nyaris selalu dibarengi dengan perbandingan tingkat rohani. Adanya kelompok yang menamakan dirinya "golongan Kristus" mencerminkan hasrat pendakuan sebagai satu-satunya penerus sejati ajaran Kristus, sehingga semua golongan lain dianggap bukan pengikut Kristus alias bukan orang Kristen.

Paulus menegaskan bahwa perbedaan pandangan (hikmat) tidak menjadikan Kristus terbagi-bagi. Semua umat beriman sesungguhnya tidak memiliki apa pun yang dapat disombongkan sebagai kelebihannya dibanding orang lain, sehingga tak seorang manusia pun yang pantas memegahkan diri di hadapan Allah.

Teguran Paulus ini terasa masih sangat relevan bagi masa kini, sebab [hampir] semua perbedaan dan benturan yang terjadi dalam tubuh agama dibarengi dengan pendakuan kelebihbenaran dan kelebihsucian, bahkan paling benar dan paling suci, dan akhirnya satu-satunya yang benar dan suci. Padahal, ketidakterkenalan Apolos dibandingkan Paulus dan Petrus dapat dibaca sebagai isyarat bahwa di hadapan Tuhan semua kelompok memiliki kesamaan dalam harkat dan peluang.

Fenomena "Jalan Tuhan"

Adanya pengelompokan yang didasari oleh perbedaan pandangan pada masa kerasulan Paulus itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Saya menduga bahwa kemunculan berbagai aliran dalam agama Kristen bahkan sudah berlangsung lebih awal.

Alkitab mencatat bahwa sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus adalah seorang "pejuang" Farisi yang giat membela kemurnian agama Yahudi dengan cara memburu pengikut "Jalan Tuhan" hingga ke Damsyik/Damaskus di Suriah [3]. Mengapa Paulus —yang saat itu masih bernama Saul— tidak mengejar kelompok Petrus, Yohanes, dan Yakobus di Yerusalem yang nota bene adalah pusat agama Yahudi sendiri? Mengapa harus jauh-jauh hingga ke Damsyik?

Amat menarik melihat penggunaan huruf kapital pada kata-kata "Jalan Tuhan" yang dalam versi lain disebut "Way of the Lord" (Today’s English Version, 1992) atau "Lord's Way" (Contemporary English Version, 1995). Cara penulisan seperti itu menimbulkan kesan bahwa yang menjadi sasaran Saul bukanlah semua penganut ajaran Kristus (orang Kristen) melainkan sekelompok orang yang cukup menonjol (mungkin karena militansi ataupun determinasinya) sehingga dipandang sebagai representasi ajaran Kristen.

Sikap Saul yang "membesarkan" reputasi kelompok "Jalan Tuhan" merupakan cerminan sifat manusia yang memerlukan sosok utama sebagai fokus dan prioritas (dalam konteks positif maupun negatif). Tidak terhitung berapa banyak aliran dan kelompok dalam agama Kristen pada saat ini, namun tidak banyak yang mampu menjulangkan namanya sehingga bisa dianggap sebagai suara dan cerminan umat Kristen. Pada komunitas itulah ujian terbesar akan dikenakan.

Barangkali di sinilah posisi HKBP selaku komunitas Kristen terbesar di Indonesia. Guncangan yang terjadi pada dirinya menjadi tolok ukur kekuatan mengguncang komunitas-komunitas Kristen lain yang lebih kecil. Waktulah yang akan menjawab apakah HKBP mampu bertahan dan keluar sebagai pemenang dari kemelut berkarat belasan tahun ataukah sirna seperti kelompok "Jalan Tuhan" yang diburu dengan penuh semangat oleh pasukan Saul.

Fenomena Israel dan Yehuda

Sejak kapankah pengelompokan dan perbedaan dalam tubuh agama bermula? Sejak masa Perjanjian Baru ataukah lebih tua lagi?

Menarik surut ke masa lampau, ternyata Perjanjian Lama yang merupakan kronikel pra-Kristen pun tidak kurang-kurang mencatat perseteruan keras akibat perbedaan pemahaman dalam agama [Yahudi]. Misalnya, kisah pecahnya keduabelas suku Yahudi menjadi dua kerajaan (Israel di Utara, Yehuda di Selatan) berdampak (atau malah bersebab?) pada keragaman pandang dalam agama itu sendiri, bukan semata-mata politis.

Hal ini dapat dilihat dari pemilihan Shiloh sebagai episentrum suci negara Israel dan Yerusalem bagi negara Yehuda. Lahirnya dua pusat kesucian agama dan bangsa Yahudi merupakan tanda adanya perbedaan penyikapan ritual yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perbedaan teologi. Padahal, kedua-duanya menyebut dirinya sebagai penganut agama yang ajaran dan aturannya disampaikan oleh Musa. Jika benar demikian, seyogianya mereka memiliki pemahaman yang sama perihal kekudusan maupun hal-hal keagamaan lainnya. Tetapi, kenyataan berbicara lain.

Dari kenyataan itulah kita bisa melihat indikasi bahwa kesucian yang konon dianggap mutlak itu ternyata bersifat nisbi dan portabel. Atau dengan kata lain, kesucian itu bisa didefinisikan sesuai dengan kebutuhan ataupun perkembangan penafsiran terhadap kesucian itu sendiri.

Fenomena Kain

Rasanya akan tanggung jika amatan mengenai hal ini kita cukupkan sampai sejarah Israel dan Yehuda saja. Kerasnya gesekan antar kelompok dalam suatu agama tidaklah mungkin terjadi dalam sekejap. Diperlukan tenggang waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tahap itu. Maka, amatlah wajar jika saya menduga bahwa ihwal sejarahnya jauh lebih tua.

Ternyata, jika kita beranjak lebih jauh ke masa silam, bahkan hingga ke lembaran-lembaran pertama Alkitab, akan kita temukan bahwa pertikaian dalam aroma agama dapat dilacak hingga ke masa perdana manusia alkitabiah! (baca: sejarah manusia menurut Alkitab). Dan itu bermula pada generasi kedua manusia: Kain dan Habel.

Kitab Kejadian 4 mencantumkan 7 ayat sebagai berikut:

[2] Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.

[3] Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; [4] Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, [5] tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.

[6] Firman TUHAN kepada Kain: "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? [7] Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya."

[8] Kata Kain kepada Habel, adiknya: "Marilah kita pergi ke padang." Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.

Meskipun tidak tertutur gamblang, ayat-ayat di atas merupakan narasi tindak kekerasan dan pembunuhan pertama antarmanusia yang berakar pada perbedaan penghayatan spiritual. Ritual yang merupakan simbolisasi penghayatan spiritual dipandang sebagai indikator nyata kehadiran dan perhatian Tuhan, yang wajib diperoleh secara mutlak tanpa berbagi dengan pihak lain.

Cermatan pada ayat-ayat di atas menyodorkan keunikan yang sangat mengejutkan. Justru kepada Kainlah Tuhan berkenan bercakap-cakap. Tidak sekali pun Tuhan menyapa Habel. Di sini terlihat betapa piawainya penulis kitab Kejadian menggambarkan akar persoalan pertikaian dalam tubuh agama yang berlangsung sejak jaman baheula hingga masa kini, yakni kecemburuan dan kedengkian yang lahir dari perasaan lebih menghaki Tuhan dibanding manusia lain.

* * *

Perasaan dekat dengan Tuhan tidak jarang bermetamorfosis menjadi keangkuhan menganggap dirinya memiliki derajat lebih tinggi secara rohani dibanding orang lain, yang kerap diistilahkan dengan "kesombongan rohani". Penafsirannya atas wahyu serta pelaksanaannya dalam ritual dijadikan standar menakar kesucian. Segala sesuatu yang berada di luar pakem kesucian yang diterapkannya akan dianggap sesat.

Tudingan kesesatan itu dengan segera dapat berubah menjadi panggilan suci (crusade, jihad) melakukan pembersihan apabila pihak yang mendaku lebih/paling/satu-satunya suci itu memiliki kuasa untuk melakukannya. Jika perlu, dengan cara kekerasan, tanpa mempedulikan bahwa pihak lain yang dianggapnya sesat itu tidak melakukan tindakan yang merongrong kewibawaan dan kesucian yang dipraktikkannya.

Kecuali aliran gnostik masa lalu yang memuja Kain, hampir tidak ada orang yang tidak menganggap Kain bersalah. Walau tidak ada perbuatan Habel yang menyebabkan ternodanya ritual Kain, kecemburuan Kain pada Habel membuatnya marah dan menganggap perlu melenyapkan Habel. Kain ingin memiliki Tuhan sepenuhnya bagi dirinya sendiri sehingga tidak rela jika Tuhan berkenan pada Habel. Padahal Kain tahu bahwa Tuhan tidak pernah berpaling meninggalkannya, bahkan memilih bercakap-cakap dengannya tinimbang Habel.

Jika kita renungkan lebih dalam, sesungguhnya bukan perbedaan itu sendiri yang menjadi faktor utama perpecahan yang bermuara pada penindasan dan tindak kekerasan, melainkan ketamakan rohani. Kesombongan rohani mungkin akan melahirkan sikap melecehkan pihak lain yang membuahkan perasaan tidak senang dan terhina. Namun ketamakan rohani akan menyeret ke tindakan perampasan hak orang lain (termasuk nyawa) yang menciptakan penindasan, ketakutan, dan kebencian. Pada saat itulah agama kehilangan daya hidup dan menghidupkannya, digantikan oleh teror dan kematian.

Oleh sebab itu, baiklah kita ajukan pertanyaan: Peran siapakah yang dimainkan oleh kelompok dominan/mayoritas yang mendesak kelompok lain ke bibir jurang atas nama agama? Kain ataukah Habel?

Keengganan menjawab pertanyaan itu akan terus merongrong dunia agama dan terus membayangi wajahnya, bahkan hingga saat ini, dengan terus bermunculannya para "Kain baru" dan "Saul baru" yang merasa memiliki hak pendakuan atas kesucian serta kekuasaan untuk melancarkan perang suci.

— PinAng: Senin, 11 Agustus 2008 23:26

[1] Sikap pemerintah Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan haram sehingga menyarankan pemerintah membubarkan aliran tersebut. Juga tidak bisa dipisahkan dari saran Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) agar pemerintah menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang di Indonesia. Juga, desakan berbagai elemen masyarakat yang mengatasnamakan komunitas Islam.

[2] I Korintus 1:10-13
Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloë tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?

[3] Kisah Para Rasul 9:1-2
Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar, dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.

Minggu, Agustus 10, 2008

Moksa* (english)

Wheels of Light
Wheels of Light
Francene Hart

The clock hand is exactly at 5 in the afternoon when the short message from Bonang, my little brother, vibrates my mobile phone. The message is indeed short. "Pak Tua1 died at 16.51. The family expects your presence."

Family matter concerning death certainly cannot be delayed. Especially when my presence is needed so much. After father died, it has been my responsibility as the oldest son to represent our family. It is even more so, if there is a need to make a final decision as the family collective stance.

With the passing away of Pak Tua, the responsibility as the head of two families, which used to be Pak Tua's, shifts to me. And I have to start playing the role by myself this time.

Memories of Pak Tua start intrude me. He was father's elder brother and only sibling. He had been sick for several years and gone in and out the hospital. His condition was poor; he practically lied down in his bed all the time.

His easy-going character, which was opposite to father's silent one, made me feel closer to Pak Tua. I preferred talking about many things with Pak Tua to doing it with father. Including about my relationship with Maharani back then, because of the different religions we held.

"Your father's effort to send you to advanced education will just go up in smoke if you cannot fix your problem," teased Pak Tua.

"What do you mean, Pak Tua? What does my certificate have to do with love matter?" I grumble. Pak Tua's spontaneity in speaking made me feel free to talk frankly.

"Not the certificate. It's the common sense."

I fell silent.

"You are worried that people's respect for your father will incline if you marry a girl holding another religion?" Pak Tua asked.

I admitted gloomily. Father was a man of few words, but the church community was always awaiting his consideration. He was considered as a sage and idol. Even though our family was quite moderate concerning religion, my unwillingness to spoil father's image really banged me to the wall.

On the other hand, Rani's status as the daughter of an Islamic leader has led us to the cliff. Let alone accepting the change of religion in the family member, even welcoming the presence of a non-Moslem into the family had been a fantasy. It was Rani herself who stated it.

Rani and I had tried hard to get the two families to accept our situation. But our efforts were always in vain. Rani's family does not welcome my presence enough. Haekal, Rani's littlest brother, was the only one who did not mind; he was quite friendly.

"Your father is not indifferent, but he finds it difficult to talk this out with you. You know how reticent your father is. But I'm the one who knows him most. He is not an egoist who puts his reputation on top of his son's happiness. He will back up your decision, as long as you are willing to face the risks," Pak Tua continued at that time.

"Father never does demand that we do what is beneficial to him, he only reminds us to guard a reputation," I added, supporting his statement.

"Is your relationship with Rani good for you as well as your reputation?" I know Pak Tua was asking for confirmation for he knows Rani quite well.

I confidently nodded. Rani was definitely neither the most beautiful nor cleverest girl I had dated. Neither ugly, nor stupid. But she was the only wise girl who knew when to be quiet and when to make me shut up when dealing with my inability to control myself.

With Rani I felt safe and sound. And I believed that Rani felt the same as I did. At least, our five years of intense relationship can be made as reference.

"I bet you would like it better if it is Rani who should change her religion," Pak Tua guessed, bothering me.

"You bet, Pak Tua."

"You do, huh? You are lazy even to go to church, how could you make her interested?" he mocked while cackling.

"It's not the going to church which is important, Pak Tua; it's the implementation of the teaching," I defended myself, half embarrassed.

"Goodness! What are you going to implement if you never learn it, Gus? Worshipping is just like going to school. We need to understand the theory and logic of something. Studying or worshipping must be very boring if your hope is just that skin-deep, Young Man!"

"Then, let me follow her faith," I exclaimed.

"Good thought. I see that she conducts her faith obediently. I will be very happy if you can afford to do that with all your heart," challenged Pak Tua.

I was helpless. Praying five times a day? Bah, even for praying twice a day with discipline is already a problem with me.

"How about you yourself, Pak Tua?" I asked, trying to find the secret of his relationship with Mak Tua2 who still held onto her belief.

"Come on ... Don't justify yourself."

"I'm not justifying; I'm learning. There must be something that we can add to our consideration as the enlightenment for the future," I said, returning his own words.

Pak Tua laughed. "It was not actually planned that way. You can even call it the youth's greenness. We were too keen to get married, how could we have thought of those kinds of things?"

Pak Tua then told me that her marriage to Mak Tua was carried out with two religion processes, Catholic and Islam, under the pressure from both families. People may say that this was a common practice in the past. For the marriage to be legitimate in the Islam way, Pak Tua, who had been very young at that time, did not think of the consequence of citing the two-sentence confession, that he confessed to become a moslem.

"But your relation with Mak Tua seems to be okay. Even very sweet, encompassing many other marriages without different religion problems," I probed.

"That has nothing to do with identical or different religion matter, Gus, but it's about your intention and consistence in carrying out the intention. If both parties have good intention, they can discuss and find a way out for just anything. Without it, even a good plan will die down and shatter."

"Is not troublesome living your life with two different faiths, Pak Tua?"

"Of course it is. But then, what is not troublesome in this life? This is where the art lies. You know, Gus, it's much easier changing religion to match the other one compared to accepting the difference wholly without regarding one as higher or lower than the other. There are more than a few people who change religions just to be doing the same ritual, not the spiritual harmony. You know, in that harmony, nothing needs to be sought or challenged," Pak Tua philosophized.

As usual, I bent my mouth while nodding if Pak Tua started to launch a series of his philosophies. But I never got fed up. Since I had been at High School, he always treated me as an equal discussion partner that he was open for questions or even challenges. I may have been benefited by his condition of not having a son.

Lengthy discussion with Pak Tua on religion difference within a family fortified a consideration Rani and I had been thinking: leave a marriage life without leaving our own religions. We both had agreed not to make the other one change religion, we even wanted to encourage that the other faith should be kept alive within our unity.

Pak Tua was glad to hear our decision. He promised to convey it to father and mother, while convincing them that the decision was the best for all of us. A few days later, father and mother called us for a discussion. They wanted to hear everything directly from us. Without much resistance, they accepted our explanation.

"So, when are you going to get married?" asked father later.

"Not before six months from now," I answered, turning to Rani. Rani nodded. We indeed had talked this out quite for long and often so that we are aware of the many possibilities. Although I had only been working for one year, I guessed my opportunity to move ahead was quite open. Moreover, in another three months, Rani will graduate as a dentist. We were sure that the future will not be that scary, although we would have to start it with humbleness.

Father nodded as a sign of his understanding. Mother happily hugged Rani and called her "my daughter". But I was totally unsure that the same thing would turn out at Rani's family. Rani supported my concern.

"It is my responsibility as well as honor for me as the head of the family to convey your intention and decision to Rani's parents and family. Next Saturday afternoon we will go together to see Rani's parents," said father, short.

I did not expect the process to be that quickly. In three days?

"When are you going to communicate this plan to your parents?" I asked Rani while taking her home.

"Tonight. I don't know how they would react," Rani sighed.

"The most important is that they are willing to welcome my parents this Saturday. Let's just see whatever the result will be. We have made our guesses, haven't we?"

We even had calculated the worst scenario that Rani's family would not approve of it. Parents' blessing is important, said Pak Tua, but what is much more basic for the long-lasting happiness for a couple is their commitment to their unity in various matters. In this case, honesty is the main asset. Rani and I were sure that up to that time, we had been standing upon honesty.

The disaster did happen. Rani's family did not want to welcome our proposal. Rani's father politely presented various hindrances, be it concerning the religion's rules or their reputation responsibility socially.

"We can neither give you permission, nor stand in her way to reach his chosen future," Rani's father underlined their family's standpoint. "The worst thing is the termination of family relation."

This possibility had been counted in our scenarios; still, Rani was struck. Her mother could only cry silently.

Six months later, we got married without the presence of and blessings from both her parents. Only Haekal came, conveying Rani's mother's regards.

Now Bonang's SMS crashes the memory of Pak Tua. The next SMS is a little longer, "When do you arrive? Mak Tua's family wants the burial to be held with an Islamic process tomorrow morning. While the church and we have scheduled it for 2 o'clock in the afternoon tomorrow."

It is almost 20.00 in the evening. Still 3 hours to get to the village. Although he had never been an icon in the church community as father is, Pak Tua had often gone to church before his condition dropped drastically devoured by liver cancer. As long as my memory serves, Pak Tua never prayed in Islamic way. Yet he never forgot to accompany Mak Tua to fast for a month each year.

I —who was still a little children at that time— never bothered it as long as I could go to his house each Eid to have some ketupat3 and opor ayam4 and some other food. Also I never needed to question the absence of Mak Tua at church as long as I still got a present laid under the Christmas tree in their house.

I also never knew what Pak Tua was doing when one day he went with Mak Tua who left for pilgrimage. Even if I asked, Pak Tua only laughed without answering. This remains a mystery to us. And many people got a wrong perception. That is why although for the rest of his life I had never seen Pak Tua worshipping in Islamic way, I can understand if the family from Mak Tua's side still reckons him as a moslem that they want to burry the body in an Islamic way. On the other side, our family naturally wants the burial to be done in the Catholic way.

I entirely understand the two parties' good intention to give the last ritual service for the dead. What I don't understand is this: what victory does a party get from fighting over a corpse? Will the good memories of the person decline if he is buried with religion A process? Or will his glory fortify before God if he is buried under religion B procedure?

It is true that I am not a religious person who studies various religious processes in depth. But I am quite sure that the true spirituality of a person and God's creature as well will not change simply because of the different prayer chants and process.

I may be considered permissive or even indifferent if I approve of the good intention from Mak Tua's family side. On the contrary, I may possibly be thought of as a totalitarian or even radical if I choose the decision for our family's favor. This really gives me headache. How difficult it is to satisfy all parties whose desires cannot be compromised.

The driver wakes me up. It seems that I have fallen asleep for the rest of the journey. It is almost midnight when we arrive at Pak Tua's house.

How shocked I am to see the chaos there. People go to and from around the house while pointing the flashlight. Some of them even go around the backyard carrying torches. No one has the time to give attention or welcome me.

While stepping over the door to the family room, Bonang sees me. He quickly gets up and approaches me, leaving a group of people who seem to be discussing while standing in a circle. He greets me, "Welcome, Bro."

The people in the circle now are circling me. They shake my hand without uttering a word. Their faces reflect strangeness as well as tension.

"What's up, Bonang?" I asked.

"Pak Tua dissapears," answers Bonang, short.

"Dissapears? What do you mean?" I asked, not understanding it.

Bonang takes me into the room. The people encircling me follow from behind. It turns out to be the room where they put Pak Tua's body. Bonang pulls me nearing the coffin. Empty! At the bottom of the case is an embroidered gauze.

"An hour ago Pak Tua's corpse was still there, Bro. I saw it myself when I changed the candle," said Bonang pointing to a candle shining on a small table at the head side of the coffin.

I look around the room carefully. The only door, the one I just passed, connects the room with the family room where everybody gathers. The window facing sideways is fenced with solid brass. Nothing is bent. All the screws are in good condition, piercing fast and deep into the window's frame which is made of teakwood. All the glass frames on the windows are still neatly placed. Let alone a hole, even a crack is nowhere in sight at the room's ceiling.

There is just not any possibility of smuggling the corpse from the room in any ways. Where has Pak Tua's corpse gone then? Who took it? When? And how did it go out without being seen by anybody?

Confusion prevails. My body seems floating in the air. I hear the commotion of people shouting noisily. Vaguely Pak Tua's voice echoes through the darkness which suddenly grabs me, "You know, in that harmony, nothing needs to be sought or challenged."

— Bandung-Jakarta: Sunday, 10 August 2008 22:30
[translated by Untung P. Siahaan — 16 March 2009]

[*] moksa = sirnanya fisik dari pandang kasat mata.
1) Pak Tua = short form of Bapak Tua, father's elder brother.
2) Mak Tua = short form of Mamak Tua, father's elder brother.
3) ketupat = rice put wrapped in woven coconut leaves, usually served during Eid.
4) opor ayam = chicken cooked with Indonesian curry ingredients.

Moksa*

Tulisan ketiga yang menjadi peserta perlombaan yang dibatalkan itu :-((

Wheels of Light
Wheels of Light
Francene Hart

Jarum jam nyaris menunjuk angka 5 sore ketika SMS Bonang, adikku, menggetarkan ponselku. Isinya yang amat singkat membuat sakit kepalaku kian bertambah. "Pak Tua meninggal jam 16.51. Keluarga menantikan kedatangan Abang."

Bagaimana kepalaku tidak tambah sakit? Urusan kantor sedang gawat-gawatnya dikejar tenggat waktu penyelesaian tahap ketiga projek di salah satu instansi pemerintah. Di tengah membaranya semangat tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengejar berbagai hal yang ditengarai mengandung unsur tindak pidana korupsi, tentu saja kami tidak bisa berleha-leha.

Celakanya, semua orang berpaling sekaligus melemparkan tanggung jawab kepadaku yang mengemban jabatan sebagai pimpinan projek. Sakit kepalaku memikirkan cara membukukan berbagai transaksi keuangan tak tercatat yang berlangsung antara kantor kami dengan para pejabat instansi tersebut. Tim konsultan keuangan yang kami sewa untuk bekerja secara maraton pun masih belum berhasil menutup tuntas celah yang pasti akan sangat menarik perhatian para petugas KPK.

Tapi urusan keluarga, apalagi yang berkenaan dengan kematian, tentu saja tidak bisa ditunda. Kehadiranku sangat diperlukan. Setelah bapak meninggal, menjadi kewajibanku selaku anak lelaki tertua untuk mewakili keluarga dalam berbagai acara yang memerlukan kehadiran kepala keluarga. Terlebih-lebih yang memerlukan keputusan final sebagai sikap bersama seluruh anggota keluarga. Dengan meninggalnya Pak Tua, tanggung jawab sebagai kepala dari dua keluarga, yang sebelumnya diemban oleh Pak Tua, otomatis beralih padaku. Dan aku harus mengawali peran tersebut sepenuhnya saat ini.

Kuputuskan pulang ke kampung guna menuntaskan musyawarah keluarga sesegera mungkin agar bisa segera kembali membereskan urusan kantor yang sudah sangat mendesak. Menurut sumber yang dapat dipercaya, KPK sudah memasukkan projek kami ke dalam daftar pemeriksaannya.

Kupanggil sekretarisku. "Della, saya harus ke luar kota. Paling lama 3 hari. Pak Surya akan menggantikan saya memimpin projek. Tolong kamu atur supaya semuanya lancar. Saya kontak beliau nanti dari jalan. Beritahu Darmo agar menyiapkan mobil. Saya berangkat 15 menit lagi."

Setelah Della keluar, bergegas kumasukkan laptop dan berkas-berkas projek ke dalam tas. Siapa tahu beberapa jam perjalanan pulang ke kampung bisa kumanfaatkan untuk mencicil pekerjaan.

Ternyata, pikiranku tidak bisa kukonsentrasikan ke pekerjaan. Kenangan tentang Pak Tua terus mengusik. Beliau adalah abang dan satu-satunya saudara bapak. Sudah beberapa tahun beliau sakit dan bolak-balik masuk rumahsakit. Kondisinya amat memprihatinkan. Hanya tergolek lemah di tempat tidur.

Keluwesan Pak Tua yang bertolakbelakang dengan sifat pendiam bapak membuatku dekat dengannya. Banyak hal yang lebih suka kubicarakan dengan Pak Tua tinimbang pada bapak, termasuk kegalauanku sekian tahun silam perihal kelanjutan hubunganku dengan Maharani akibat perbedaan agama. Malah Pak Tualah yang mengambil inisiatif diskusi.

"Percuma saja bapakmu menyekolahkanmu tinggi-tinggi kalau kamu tidak bisa membereskan persoalanmu sendiri," ledek Pak Tua.

"Bagaimana sih Pak Tua ini? Apa hubungan ijasah teknik dengan urusan percintaan?" aku mengomel. Kebiasaan ceplas-ceplos Pak Tua justru membuatku bebas berterus-terang.

"Bukan ijasahnya yang penting, tapi akal sehatnya."

Aku hanya bisa membuang napas.

"Kamu khawatir penghormatan orang pada bapakmu akan surut jika kamu menikah dengan perempuan beragama lain?" tanya Pak Tua.

Aku mengiyakan dengan muram. Bapak memang jarang bicara, tetapi pertimbangan-pertimbangan beliau selalu dinantikan di lingkungan gereja. Beliau dipandang sebagai sesepuh dan panutan. Walau keluarga kami termasuk moderat dalam soal agama, keenggananku mengusik citra bapak yang telanjur dibangun oleh orang lain itu membenturkanku ke tembok.

Di sisi lain, status Rani selaku anak seorang pemuka agama Islam menggiring kami ke tepi jurang tak terseberangi. Jangankan bersedia memaklumi pergantian agama anggota keluarga, bahkan untuk menerima kehadiran seorang non-Islam ke dalam keluarga mereka pun hanyalah sebuah angan-angan mustahil. Rani sendiri yang mengatakannya.

Aku dan Rani sudah berkali-kali memikirkan dan mengupayakan berbagai cara agar kedua keluarga bisa menerima kenyataan kebersamaan kami. Namun semua selalu berakhir mentah. Keluarga Rani kurang berkenan atas kehadiranku sebagai calon anggota keluarga mereka. Hanya Haekal, adik bungsu Rani, yang tampaknya tidak berkeberatan malah cukup akrab denganku.

Pak Tua memotong lamunanku, "Bapakmu bukannya tidak tahu ataupun tidak peduli, tapi dia mengalami kesulitan menemukan jalan masuk untuk membicarakannya denganmu. Kamu tahu sendiri bagaimana pendiamnya bapakmu. Tapi Pak Tua yang paling kenal sifatnya. Dia bukan orang egois yang lebih mementingkan reputasinya dibanding kebahagiaan anak-anaknya. Dia akan mendukung apa pun keputusanmu asalkan kamu sanggup menghadapi semua risikonya. Reputasi pribadinya adalah urusannya sendiri, bukan beban bagi anak-anaknya."

"Bapak memang tidak pernah menuntut kami melakukan apa yang baik baginya, hanya mengingatkan kami menjaga nama baik kami sendiri," sahutku membenarkan.

"Apakah hubunganmu dengan Rani baik untukmu maupun nama baikmu?", kutahu Pak Tua meminta konfirmasi sebab beliau sudah cukup mengenal Rani.

Tegas kuanggukkan kepala tanpa ragu. Rani memang bukan perempuan tercantik dan bukan pula yang terpandai dari semua perempuan yang pernah menjalin hubungan denganku. Tidak jelek, tidak pula bodoh. Tapi dialah satu-satunya perempuan yang arif memahami kapan harus diam serta kapan harus membuatku diam saat menyikapi ketidakmampuanku mengendalikan diri. Bersamanya aku merasa aman dan nyaman. Dan aku percaya bahwa Rani pun merasakan hal yang sama denganku. Setidaknya, hubungan kami yang cukup intens selama lima tahun bisa dijadikan tolok ukur.

"Kamu pasti lebih suka jika Rani yang pindah agama," tebak Pak Tua mengusik gundahku.

"Maunya sih begitu, Pak Tua."

"Huh, enak saja! Ke gereja saja kamu malas, bagaimana bisa membuatnya tertarik?" ejeknya sambil terkekeh-kekeh.

"Bukan ke gerejanya yang penting, Pak Tua, tapi implementasi ajarannya," aku membela diri setengah malu.

"Walah! Apa yang mau diimplementasikan kalau tidak pernah dipelajari, Gus? Beribadah itu ibarat pergi sekolah. Bukan sekedar untuk temukan jawaban praktis atas persoalan yang sedang dihadapi, tapi latihan membuka diri pada pencerahan dan segala kemungkinan agar bisa merenungkan peluang ke masa depan. Segala sesuatu perlu dipahami teori dan logikanya sesuai kaidahnya masing-masing. Belajar maupun ibadah pasti sangat membosankan kalau harapanmu hanya sedangkal itu, Anak Muda!"

"Kalau begitu, biar aku saja yang ikut agama Rani," cetusku seenaknya.

"Pikiran bagus itu. Pak Tua lihat dia taat menjalankan ibadahnya. Pak Tua senang sekali kalau kamu sanggup melakukannya sepenuh hati dengan sukacita," tantang Pak Tua.

Aku mati kutu. Jangankan sembahyang lima kali sehari, berdoa dua kali sehari pun aku masih belum bisa berdisiplin.

"Bagaimana dengan Pak Tua sendiri?" tanyaku mencoba menemukan rahasia hubungannya dengan Mak Tua yang tetap mempertahankan keyakinannya.

"Ah, kamu ini ... Jangan mencari-cari pembenaran."

"Bukan pembenaran, tapi pelajaran. Pasti ada yang bisa kami jadikan pertimbangan sebagai pencerahan ke masa depan," godaku membalikkan kata-katanya sendiri.

Pak Tua tertawa. "Sebenarnya bukan begitu rencana kami semula. Malahan bisa dibilang akibat kenaifan masa muda. Namanya saja kebelet kawin, mana sempat terpikir hal-hal semacam itu?"

Pak Tua lalu bercerita bahwa perkawinannya dahulu dengan Mak Tua dilakukan menurut 2 tatacara agama, Katolik dan Islam, akibat desakan dari keluarga masing-masing. Boleh dikatakan, hal semacam itu sangat lumrah terjadi pada masa lalu. Demi sahnya perkawinan secara Islam, Pak Tua yang saat itu masih sangat muda tidak memikirkan konsekuensi pengucapan 2 kalimat syahadat, yakni ikrar masuk ke agama Islam.

"Tapi hubungan Pak Tua dengan Mak Tua kelihatannya baik-baik saja. Malah sangat harmonis, melebihi banyak keluarga lain yang tidak punya masalah perbedaan agama," pancingku.

"Itu sih bukan soal sama atau beda agama, Gus, tapi niat dan konsistensi melakoni niat. Kalau sama-sama berniat baik, apa pun bisa dirundingkan dan dicarikan jalan keluarnya. Tanpa niat baik, apa pun akan mandek dan berantakan."

"Apa tidak repot menjalani kehidupan dengan dua keyakinan berbeda, Pak Tua?"

"Jelas repot. Tapi apa sih yang tidak merepotkan dalam perjalanan hidup? Di situlah letak seni berkehidupan. Kamu tahu, Gus, jauh lebih mudah menyamakan agama dibanding menerima perbedaan apa adanya secara utuh tanpa memperlakukan lebih tinggi ataupun lebih rendah satu sama lain. Tidak sedikit orang bertukar agama hanya demi kesamaan ritual, bukan keselarasan spiritual. Padahal, dalam keselarasan itu, tak sesuatu pun perlu dicari dan digugat lagi," sahut Pak Tua berfilsafat.

Sebagaimana biasa, aku memonyongkan mulut sambil manggut-manggut jika Pak Tua sudah mulai melontarkan serentetan filosofinya. Namun tak pernah aku sebal. Semenjak aku duduk di bangku SMA, beliau selalu memperlakukanku sebagai lawan bicara yang setara sehingga terbuka untuk dipertanyakan bahkan ditentang. Barangkali aku diuntungkan oleh keadaannya yang tidak dikaruniai anak lelaki.

Perbincangan panjang-lebar dengan Pak Tua perihal perbedaan agama dalam sebuah keluarga menguatkan pertimbangan yang sudah pernah terpikirkan olehku dan Rani, yakni menjalani kebersamaan perkawinan tanpa meninggalkan agama masing-masing. Kami berdua bersepakat tidak akan memaksa satu sama lain berpindah agama, malah mengupayakan agar keyakinan pihak lain tetap hidup dalam kebersamaan tersebut.

Pak Tua senang mendengar keputusan kami. Dia berjanji akan menyampaikannya pada bapak dan ibu, serta meyakinkan mereka bahwa itulah yang terbaik bagi semua. Dan, beberapa hari kemudian, bapak dan ibu mengajak kami berdua bicara. Mereka ingin mendengar langsung semuanya dari kami sendiri. Tanpa banyak kesulitan, mereka menerima penjelasan kami.

"Kapan rencananya kalian menikah?" tanya bapak kemudian.

"Paling cepat enam bulan lagi," jawabku sambil menoleh pada Rani. Rani mengangguk. Kami memang sudah cukup lama dan sering membicarakannya guna menghitung berbagai kemungkinan. Meski baru satu tahun bekerja, kurasa peluangku untuk maju cukup terbuka. Tiga bulan lagi pun Rani akan diwisuda sebagai dokter gigi. Kami yakin masa depan kami tidak terlalu mencemaskan walau harus mengawali semua dengan kesahajaan.

Bapak menganggukkan kepala tanda mengerti tanpa harus banyak bicara. Ibu langsung memeluk Rani dengan gembira dan memanggilnya "putriku". Tetapi aku sama sekali tidak yakin hal yang sama akan mudah berterima pada keluarga Rani. Rani pun membenarkan kekhawatiranku.

"Menjadi tanggung jawab sekaligus kehormatan bagi Bapak sebagai kepala keluarga untuk menyampaikan niat dan keputusan kalian pada orangtua dan keluarga Rani. Sabtu sore yang akan datang kita berangkat bersama menemui orangtua Rani," putus bapak singkat.

Tak kuduga akan secepat itu prosesnya. Tiga hari lagi.

"Kapan kamu akan menyampaikan rencana ini pada orangtuamu?" tanyaku pada Rani ketika mengantarkannya pulang.

"Malam ini juga. Entah bagaimana reaksi mereka nanti," desah Rani.

"Yang penting mereka bersedia bertemu orangtuaku Sabtu nanti. Apa pun hasilnya, bagaimana nanti sajalah. Kita kan sudah pernah mengira-ngira."

Kami bahkan sudah sampai ke kemungkinan terburuk bahwa keluarga Rani tidak setuju. Restu orangtua memang penting, kata Pak Tua, namun yang lebih mendasar bagi kelanggengan kebahagiaan sepasang manusia adalah komitmen kebersatuan mereka sendiri dalam berbagai hal. Dalam hal ini, kejujuran adalah modal utamanya. Aku dan Rani yakin bahwa hingga saat itu kami masih berdiri di atas kejujuran.

Ternyata petaka sungguh terjadi. Keluarga Rani tidak berkenan menerima lamaran kami. Dengan santun ayah Rani mengemukakan berbagai hal yang menjadi penghalang, baik yang berkenaan dengan aturan agama maupun yang menyangkut tanggung jawab reputasi mereka di lingkup sosial.

"Kami tidak bisa memberikan ijin, tapi juga tidak bisa menghalangi langkah Rani ke masa depan yang dipilihnya," ayah Rani menggarisbawahi sikap keluarganya. "Yang terburuk adalah putusnya hubungan keluarga."

Walau kemungkinan tersebut sudah pernah kami skenariokan, tetap saja Rani amat terpukul. Ibunya hanya bisa menangis tanpa bersuara.

Enam bulan kemudian kami menikah tanpa kehadiran dan restu kedua orangtuanya. Hanya Haekal yang datang menyampaikan salam dari ibu Rani.

* * *

SMS Bonang membuyarkan semua bayang kenangan masa lalu. Isinya lebih panjang sedikit, "Kapan sampai? Keluarga Mak Tua ingin penguburan dilakukan secara Islam besok pagi. Sedangkan kami dan gereja sudah menjadwalkan penguburan pukul 2 siang besok."

Kepalaku berdenyut tambah sakit. Hampir jam 8 malam. Masih 3 jam perjalanan untuk mencapai kampung.

Meski tidak pernah menjadi tokoh di lingkungan gereja seperti bapak, Pak Tua masih sering ke gereja sebelum kondisi fisiknya merosot drastis digerogoti kanker hati. Seingatku, Pak Tua tak pernah shalat. Tapi beliau tidak pernah alpa mengawani Mak Tua berpuasa sebulan penuh tiap tahun. Aku yang saat itu masih kanak-kanak tidak pernah mempedulikannya selama bisa datang ke rumahnya setiap Lebaran untuk menyantap ketupat dan opor ayam serta berbagai penganan lain. Juga tidak pernah merasa perlu mempertanyakan ketidakhadiran Mak Tua di gereja selama masih mendapat bingkisan yang diletakkan di bawah pohon Natal di rumah mereka.

Aku pun tak pernah tahu apa yang dilakukan Pak Tua ketika satu saat dia pergi bersama Mak Tua yang berangkat menunaikan ibadah haji. Kalaupun kutanyakan, Pak Tua hanya tertawa tanpa menjawab. Soal itu tetap menjadi misteri bagi kami. Dan banyak pula orang yang salah sangka. Oleh sebab itu, meski selama sisa hidupnya tak pernah kulihat Pak Tua melakoni ibadah secara Islam, bisa kumengerti jika pihak keluarga Mak Tua masih menganggapnya beragama Islam sehingga berniat melakukan penguburan secara Islam. Di pihak lain, keluarga kami tentunya ingin penguburan Pak Tua dilayankan secara Katolik.

Aku bisa mengerti niat baik keduabelah pihak memberikan pelayanan terakhir keagamaan bagi seorang manusia yang sudah meninggal. Hanya saja aku tidak mengerti, apa yang akan dimenangkan dari pertarungan memperebutkan seonggok bangkai? Akan berkurangkah kenangan baik mengenai orang itu jika dikuburkan secara agama A? Atau akan berlipatkah kemuliaannya di hadapan Tuhan seandainya dikuburkan menurut tatacara agama B?

Aku memang bukan seorang religius yang mendalami makna berbagai upacara agama. Tapi aku cukup yakin bahwa kesejatian spiritualitas seseorang selaku manusia sekaligus mahluk ciptaan Tuhan tidak akan berubah akibat perbedaan cara pengucapan doa dan upacara.

Boleh jadi aku akan dianggap permisif bahkan indiferentis jika kusetujui niat baik pihak keluarga Mak Tua. Sebaliknya, sangat mungkin aku dicap totaliter bahkan radikal jika kuambil putusan yang berpihak pada keinginan keluarga kami. Sakit kepalaku dibuatnya. Betapa susahnya menyenangkan semua pihak yang keinginannya tidak bisa dipertemukan.

* * *

Darmo membangunkanku. Rupanya aku jatuh tertidur selama sisa perjalanan. Sudah hampir tengah malam. Betapa terperanjatnya aku menyaksikan kegaduhan di rumah. Orang-orang hilir-mudik di sekitar rumah sambil menyorotkan senter. Malahan ada yang kesana-kemari di ladang belakang rumah dengan membawa obor. Tak seorang pun sempat memperhatikan dan menyambut kedatanganku.

Saat melangkahi ambang pintu memasuki ruang tengah, Bonang melihatku. Serta-merta dia beranjak menghampiriku meninggalkan kumpulan orang yang tampaknya sedang berunding sambil berdiri dalam posisi melingkar. Dia mencium tanganku sambil mengucapkan salam, "Selamat datang, Bang."

Orang-orang yang tadi melingkar pun kini mengerumuniku. Mereka menyalamiku tanpa mengucapkan satu kata pun. Wajah mereka memancarkan keanehan sekaligus ketegangan.

"Ada apa, Nang?" tanyaku.

"Pak Tua menghilang", jawab Bonang pendek.

"Menghilang? Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.

Bonang menuntunku masuk ke kamar bekas ruang kerja bapak. Orang-orang yang tadi mengerumuniku berbondong-bondong mengekor di belakang. Rupanya di kamar itulah jenasah Pak Tua disemayamkan. Bonang menarikku mendekati peti mati. Kosong! Di dasar peti tergeletak kain kasa bersulam.

"Satu jam yang lalu jenasah Pak Tua masih ada, Bang. Aku sendiri melihatnya waktu mengganti lilin," kata Bonang sambil menunjuk sebatang lilin menyala di meja kecil di bagian kepala peti.

Kucermati seantero kamar itu. Satu-satunya pintu, yang baru saja kulewati, menghubungkan kamar dengan ruang tengah tempat berkumpulnya semua orang. Jendela yang menghadap ke samping rumah dipagari terali kuningan tebal. Tidak ada yang bengkok. Seluruh sekrupnya dalam kondisi baik, menancap kokoh dan dalam ke kusen jendela yang terbuat dari jati. Semua kaca nako masih terpasang rapi. Jangankan lubang, retakan pun tidak ada pada eternit langit-langit kamar. Sama sekali tak ada kemungkinan meloloskan jenasah dari ruangan itu lewat jalan mana pun. Lalu, ke mana perginya jenasah Pak Tua? Siapa yang mengambilnya? Kapan? Bagaimana cara melewati semua orang tanpa terlihat?

Kebingungan melandaku.

"Apa yang harus kukatakan pada semua orang mengenai hilangmu saat kujalani peranku kini sebagai kepala keluarga, Pak Tua?!" teriakku dalam hati. Denyut di kepalaku kian menyakitkan. Betapa kurindu belaian lembut Rani yang menenangkan.

Kurasakan tubuhku melayang. Orang-orang gaduh berteriak. Lamat-lamat mengiang suara Pak Tua menembus gelap yang sekonyong-konyong menyergapku, "... dalam keselarasan itu, tak sesuatu pun perlu dicari dan digugat lagi."

— Bandung-Jakarta: Minggu, 10 Agustus 2008 22:30

[*] moksa = sirnanya fisik dari pandang kasat mata.

Les Misérables #2

— Hati Berlimpah Rela dan Cinta

Coming from The Heart
Coming from The Heart
universalchurchofmetaphysics

Kehidupan sebagai pelatih bersama komunitas Bangau Putih di Bogor tentu saja tidak memberikan janji masa depan mapan sebagaimana yang mungkin diraih oleh kebanyakan sarjana yang beroleh kesempatan memiliki pekerjaan tetap. Walau orang yang dilatihnya banyak yang tergolong berkecukupan serta juga pesohor, berapalah honor yang diperoleh Lis sebagai pelatih? Boleh dikatakan bahwa yang dilakukannya cenderung merupakan pengabdian tinimbang pekerjaan. Walau begitu, tidak pernah dia mengeluhkan keterbatasan pilihan yang tersedia baginya.

"Dijalani saja, Bang," katanya tanpa kehilangan senyum dan tawa yang jauh dari kesan terpaksa.

Betapa lapang hati seorang manusia yang harus menjalani keterbatasan yang tidak dapat ditolaknya. Entah dari mana datangnya kerelaan sebesar itu.

Ketabahan Lis menjalani hidup kerap membuat saya iri dan sekaligus tidak mampu menahan torehan perih yang membuncah di dalam hati ketika suatu siang saya mengunjunginya.

"Bagaimana makanmu, Lis?" tanya saya dengan perasaan sangat berdosa lantaran kentara berbasa-basi. Jelas saya bisa melihat kardus mie instan setengah kosong di pojok kamarnya.

"Begitulah, Bang, sama-sama dengan teman-teman yang tinggal di sini," sahutnya tanpa memberikan rincian penjelasan. Walau tidak pernah mengalami, saya cukup mengerti bagaimana cara makan beramai-ramai a-la asrama.

Kemudian saya mengajaknya makan siang keluar. Saya tidak tahu sudah berapa lama dia tidak merasakan gurih dan renyahnya ikan gurame goreng olahan rumah makan Sunda. Makanan yang biasanya saya santap dengan nikmat itu jadi amat sulit melewati tenggorokan.

Dalam perjalanan pulang, tidak bisa saya tahan keluarnya airmata. Bukan hanya karena haru, tetapi juga malu. Kondisi keuangan saya yang nyaris selalu pas-pasan akibat prinsip angkuh tidak sudi mengejar materi dan diperbudak uang membuat saya tidak bisa menggenggamkan uang lebih dari 500.000 rupiah ke dalam tangannya ketika berpamitan. Saya memang tidak memerlukan banyak uang untuk keperluan pribadi saya, tetapi saya kerap lupa ada orang lain yang membutuhkannya, yang seharusnya saya bisa menjadi sarana penyalurannya. Lis adalah salah satunya.

Apabila keadaan keuangan saya agak longgar, saya mengirimkan sebagian kepadanya melalui ATM. Situasi istimewa yang tidak sering terjadi ini biasanya berlangsung sekitar hari raya. Dengan bergurau saya katakan bahwa itu adalah THR (Tunjangan Hari Raya) baginya sekedar untuk membeli kue Nastar. Adakalanya pula saya mengarang alasan ingin dikirimi kue Nastar. Dan jika Lis mengatakan bahwa uang yang saya kirim terlalu banyak untuk satu stoples Nastar yang saya pesan, dengan menahan getir saya berkata, "Sisanya untuk menambah uang jajan kamu, supaya tidak makan mie instan terus."

Menurut penuturan Bapak dan Mami, Lis pernah menjalankan usaha kecil-kecilan menjual perangkat bekal makan serta perlengkapan belajar anak sekolah. Dia juga pernah menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta maupun menjadi guru les privat untuk beberapa anak sekolah dasar. Tetapi semua itu tidak berlangsung cukup lama, konon pula langgeng sebagai sumber mata pencaharian ataupun sekedar sampingan. Kondisi matanya mengakibatkan gerak dan kemampuannya sangat terbatas. Membaca buku saja sudah semakin sulit. Walhasil, terhentilah satu demi satu usaha yang dia coba lakoni itu, hingga akhirnya hanya kehidupan bersama komunitas Bangau Putih yang tersisa baginya.

Kendati demikian, Lis tidak ingin dikasihani, malah berusaha berusaha memberikan kinerja terbaik yang tidak kalah dibandingkan rekan lain di komunitasnya yang tidak memiliki keterbatasan. Keteguhan hati dan kegigihan upayanya melahirkan kekaguman rekan-rekan maupun peserta-latihnya (saya mendengar pengakuan ini secara langsung dari seorang Afro-American yang sengaja pensiun dari pekerjaannya sebagai profesor di Taiwan guna menimba ilmu di Bogor selama beberapa waktu).

Lis pun bersikeras tampil sebagaimana layaknya anak normal yang bertekad menunjukkan bakti dan terimakasih kepada orangtua serta cinta kepada seluruh anggota keluarga dengan seluruh kemampuannya.

Jika ada kegiatan ekstra yang mengganjarnya dengan tambahan uang, maka Lis akan membawakan oleh-oleh bagi kedua anak kakak tertua kami saat dia pulang ke Sukabumi untuk menengok Bapak dan Mami. Ada saja yang dibawanya. Entah baju, tas, pita, buku, ataupun pernak-pernik lain. Meski bukan barang mahal, amat terasa betapa mewah dan berlimpahnya rasa cinta yang terkandung di dalamnya.

Bapak dan Mami pun beberapa kali mendapat kejutan darinya. Pernah Lis membawakan DVD player, juicer, ataupun beberapa peralatan lain yang menurutnya baik jika ada di rumah Sukabumi. Tentu saja hal ini membuat Bapak dan Mami jadi rikuh sekaligus trenyuh sehingga menyarankan Lis menyimpan uangnya untuk kebutuhannya. Tetapi Lis punya pendapat sendiri.

Suatu hari Lis berkunjung ke Sukabumi. Kebetulan hari itu adalah hari pernikahan Bapak dan Mami. Tidak ada kejutan khusus yang dibawanya selain ciuman bagi kedua orangtua kami. Semuanya berlangsung biasa-biasa. Setelah meninggalkan rumah untuk kembali ke Bogor, Lis menelpon dari jalan, "Bapak, Mami, coba deh periksa di bawah bantal. Ada sesuatu," katanya agak misterius.

Bapak dan Mami menemukan amplop kecil di bawah bantal masing-masing. Di dalamnya ada uang sebesar 200.000 rupiah. Betapa tidak teriris hati mereka dan menangis. Padahal Bapak dan Mami tidaklah hidup dalam keadaan berkekurangan. Uang pensiun mereka berdua setiap bulannya saja lebih dari cukup, sehingga dapat dikatakan tidak ada kebutuhan mereka yang memerlukan sokongan berkala dari kami. Tetapi begitulah cara Lis mengungkapkan perhatian dan kasih sayangnya.

Satu kali saya mengiriminya uang lewat ATM, lalu mengabarinya lewat SMS. Tidak lama kemudian dia membalas dengan SMS yang membuat saya terpaku cukup lama (saya kutip seutuhnya termasuk kesalahan ketik yang sering terjadi akibat keterbatasan penglihatannya),

Halo, Bang, aku udah trm smsnya. Tks byk, ya. Biar Tuhan yg berkati dan memberi yg lbh kpd Abang n Gawei. Aku seneng krn Abang inget aku, tp jg sedih, krn Abang selalu inget, walau mgkn Abbng cuma dpt sdkt, tp diksh ke aku. Tks byk ya, Bang. Oya, inget ga wkt Abang ksh aku uang dr jual mbl? Kan bbrp hr sblmnya, aku lht photo kt wkt kcl yg berlima. Photonya aku simpen di HP. Disitu kt duduk, trus aku digendong Abang. Trus aku kok pgn ada yg ksh duit, ga tau knp, pdhl sih ga utk apa2, cm pgn aja. Trus aku mkr, ah, ga mgkn Abang ngasih, krn thn lalu Abang kan ksh aku wkt mau Lebaran, smtr wkt itu msh jauh dr Lebaran. Udah tuh sampe situ ga mkrin lg. Eh, ga taunya Abang ksh aku uang bbrp hr kmdn. Aku sng, tp jg sdh, krn Abang srgnya sk mikirin dan merhatiin org lain, tp kdg Abang aja ga punya. Tp kiranya itu dpt menjadi berkat melimpah dlm stp kerjaan dan jg harapan2 Abang, ya, kiranya dpt terwujud. Amin.

Sent 13:28:51 15/11/2006

Dari cerita Mami kemudian, barulah saya ketahui bahwa uang yang saya kirim untuknya pun tidak jarang dia sisihkan sebagian untuk dibagi dengan anggota keluarga yang lain. Sekecil apa pun rejeki yang diperolehnya, Lis mengupayakan untuk berbagi dengan orang-orang yang dicintai dan mencintainya. Apalagi pada momen-momen spesial seperti ulang tahun kelahiran maupun pernikahan anggota keluarga kami yang tidak pernah luput dari catatannya (bahkan dialah yang selalu rajin berkirim pesan mengingatkan kami semua agar tidak lupa memberikan selamat).

Bagaimana saya tidak menyesali kebebalan yang membuat saya enggan melempar jauh-jauh prinsip omong-kosong yang selama ini saya anut tentang mengejar materi?!

Dengan kenormalan, kemampuan, dan kesempatan yang saya miliki, bukankah saya seharusnya bisa berbuat dan berbagi kasih lebih dari yang saya lakukan saat ini? Bukankah sesuatu yang kecil dan kurang berarti bagi saya sangat boleh jadi memiliki arti yang sangat besar buat orang lain?

Apakah sebenarnya saya tidak rela meneteskan keringat yang bukan demi diri sendiri? Ataukah saya terlalu malas berbelarasa dan enggan mengemban kehormatan sebagai penyalur berkat bagi sesama? Atau ... jangan-jangan hati saya sedemikian kecil sehingga tak tersedia cukup ruang bagi kasih, yang membuat saya khawatir tidak memiliki cukup cadangan bagi diri sendiri ... :-(.

— PinAng: Minggu, 10 Agustus 2008 03:10