Katarsis di Milis
Global Catharsis cahaly.net |
Setelah saling bersalaman, saya dan MDS pun memasuki ruang depan lapo yang tampaknya diperuntukkan bagi keluarga atau pengunjung yang tidak merokok, yang ditandai dengan adanya AC di dinding. Tetapi, AC itu tidak dihidupkan. Entah sengaja guna menghemat enerji, entah rusak, entah hanya sebagai pemanis ruangan untuk menaikkan gengsi. Dan, uniknya pula, malah ada asbak rokok di atas meja. Dasar lapo, mana bisa tanpa rokok? Di sini tak laku Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang kawasan bebas rokok, Bung!
Di dalam ruang itu, saya lihat ada 3 orang duduk berhadap-hadapan di salah satu meja. DTA di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya Obrin dan seorang rekan yang maaf saya lupa namanya karena memori otak saya hari itu agak memble :-(. (Pada tanggal 31 Oktober 2007, Lay Siagian mengingatkan saya bahwa dia adalah orang ketiga yang namanya saya lupa itu :-).)
Barangkali karena bukan BTL (Batak Tembak Langsung) dari Bona Pasogit, maka saya tidak memiliki insting memekikkan salam "Horas!" kepada ketiga orang tersebut. Beginilah jadinya orang Batak yang sudah sekian banyak tahun sejak hadir di bumi hidup dalam buaian atmosfir Parahyangan yang lemah-lembut dan mendayu-dayu, sehingga mengalami sedikit kesulitan menegangkan lidah yang sudah terbiasa berayun-ayun saat berkata-kata.
Walhasil, saya pun hanya menyalami mereka sambil menyebutkan nama, kemudian duduk di samping DTA. Selain karena posisinya yang dekat pintu masuk sehingga lebih cepat dicapai, saya rasa lebih aman duduk di samping orang yang sudah pernah saya kenal :-). Apalagi DTA tampaknya masih DTA yang dulu pernah saya sua (satu kali pada kopdar sebelumnya), yang senang tertawa riang dan jeli melihat sisi jenaka dari setiap hal. Setidaknya, saya tidak perlu terlalu repot memeras otak mencari bahan perbincangan yang disukainya.
Sebagaimana lazimnya perjumpaan pertama, tatakrama ketimuran masih amat berkuasa. Perbincangan hanya seputar hal-hal ringan yang sudah sama-sama diketahui. Misalnya, soal kehebohan maupun kelucuan yang berlangsung di milis. Beberapa nama sempat disebut, namun hanya lewat begitu saja dalam memori otak saya tanpa terendapkan :-(.
Tidak lama kemudian, muncullah Joe. Bersepeda motor sambil mencangklong ransel. Setelah bersalam-salaman, langsung dikeluarkannya titipan dari Denny. Kacang garing Sihobuk. Untunglah hanya sekantong, bukan 1 kuintal. Bisa terbungkuk-bungkuk punggung Joe memanggulnya :-).
Seiring dengan kian merapatnya pasangan jarum pendek dan jarum panjang jam ke angka 12, satu demi satu rekan lain bermunculan (dan namanya hanya lewat begitu saja dalam memori otak saya yang benar-benar sedang payah :-().
Akhirnya, muncul juga orang yang menyandang status sebagai pendiri dan jurukunci milis hkbp, Erwinthon. Dengan kehadirannya, barulah pertemuan ini sah disebut kopdar, walau sama sekali tidak dirancang untuk merumuskan sesuatu yang khusus. (Saya akan enggan hadir kalau ada agenda-agenda tertentu, karena niat saya datang kali ini adalah untuk mencecap sedikit kegembiraan di kala sedang terhempas-hempas, bukan mau mikir.)
Bersama Erwin, hadir pula Ricard, adiknya yang mukim di Singapura. Walau katanya kedatangannya tidak direncanakan, saya sangat gembira karena milisi hkbp masih mau mencantumkan acara kopdar ini dalam prioritas agendanya.
Jika gaya DTA di dunia nyata tidak berbeda jauh dengan gaya DTA di dunia maya, maka Erwin yang datang siang itu amat santun dan sedikit pendiam, berbeda dengan penampilannya yang cukup garang akhir-akhir ini di milis.
Barangkali memang begini fenomena umum para milisi internet: angker di dunia maya, namun bersikap manis di dunia nyata. Itu sebabnya banyak yang mengaku salah membayangkan penampilan para milisi lain. Namun saya tidak tahu dari mana Obrin mendapat ilham sehingga menyangka saya berpenampilan perlente. Rasanya agak susah menarik kesimpulan seperti itu dari tulisan-tulisan saya. Dan sudah pasti Obrin kecele sebab sudah lama sekali saya tampil rada urakan.
Melihat perbedaan Erwin dunia maya dengan Erwin dunia nyata, saya menembaknya bak pakar psikologi yang memahami kejiwaan manusia, "Saya kerap bertanya-tanya, mengapa akhir-akhir ini Erwin sering menulis posting. Dan agak sengit pula. Apalagi terhadap Augustinus Simanjuntak alias August-18. Padahal, dulu saya lihat Erwin amat kalem bak air mengalir di pegunungan. Saya lantas berpikir, tampaknya Erwin sedang ada masalah."
"Bagaimana tidak. Harga brokoli merosot 300 perak!", tukasnya jujur.
Bah! Rupanya Erwin sang arsitek alumni ITB yang memilih jalan hidup sebagai petani brokoli di Lembang sana sedang dihantam secara gila-gilaan oleh mekanisme pasar. Pantas saja dia gampang naik pitam. Diam-diam saya tersenyum. Kasus Erwin serupa dengan saya yang belakangan ini menjadikan milis sebagai pelepasan beban pikiran dan perasaan.
Dan beberapa waktu kemudian, Mula Harahap mengakui di hadapan forum kopdar hari itu bahwa dia memilih rajin mengirim posting ke milis daripada menghantami orang di jalan. Entah apa pula masalah yang sedang dihadapinya. Saya menebak-nebak dalam hati, barangkali lantaran kegamangan menyongsong pernikahan anak perempuannya beberapa hari yang akan datang :-).
Bagusnya Mula lebih sering mengirim lelucon ataupun renungan kehidupan bersahaja yang sarat makna kearifan tinimbang hantam-hantaman secara frontal. Itulah bedanya orang yang sudah banyak makan asam-garam dan makan sekolahan dibanding orang yang masih hijau seperti saya.
Namun, agaknya tidaklah terlalu berlebihan jika saya menduga bukan hanya kami bertiga yang melakukan pemulihan diri dengan cara itu. Padre Joas pernah mengatakan bahwa dia lancar menulis posting justru saat tugas kuliahnya bertimbun-timbun. Kalau sedang santai, dia memilih pergi memancing atau jalan-jalan. Yang mengherankan saya, dia bisa menulis posting berbobot dalam berbagai thread diskusi pada saat otaknya mumet. Ajaib! Maka pernah saya katakan pada MDS bahwa Joas adalah anomali.
Dan ada juga beberapa rekan yang menjadikan milis sebagai media penuangan ganjalan yang terjadi di dunia nyata. Misalnya soal perseteruan tak kunjung tuntas yang masih berlangsung di HKBP Jalan R.E. Martadinata Bandung. Siapa tahu, melalui milis walau diawali dengan kata-kata yang keras bisa terbuka peluang dialog yang nyaris mustahil diwujudkan dalam perjumpaan nyata di halaman gereja setiap kebaktian pada hari Minggu.
Saya rasa Erwin tidak keberatan jika milis yang menyandang nama hkbp ini menjadi media curah pendapat dan rasa, yang diharapkan dapat didengar oleh keduabelah pihak yang sedang bertikai. Tapi, saya rasa, tidak perlulah namanya diganti menjadi bantudamaikanhkbp@yahoogroups.com. Terlalu berlebihan :-).
Mencermati hal ini, saya rasa boleh juga jika Marihot Hutahayan, sang psikolog-konsultan, membuat penelitian tentang milis sebagai katarsis ketidakseimbangan jiwa sesaat (bukan yang permanen!) ataupun media interaksi awal dalam mengelola konflik. Siapa tahu nanti ada kliennya yang bisa dianjurkan untuk rajin menulis entah posting di milis ataupun intranet perusahaan demi kesehatan jiwanya ataupun proses pencapaian perdamaian bagi sebagian orang yang masih senang bertengkar dengan sesamanya :-).
Beth: Rabu, 24 Oktober 2007 02:27