Perjumpaan dengan Padré Joas Adiprasetya
the clown |
Bukanlah satu kebiasaan maupun kebisaan saya untuk bertemu secara nyata dengan orang-orang yang mulanya saya jumpai di dunia maya internet seperti mailing list (milis) melalui acara yang lazim disebut kopi darat (kopdar). Jangankan yang bersifat pribadi satu lawan satu, bahkan yang dilakukan secara beramai-ramai dengan anggota lain milis pun sebenarnya tidak sangat menarik minat saya.
Bisa dihitung dengan jari sebelah tangan jumlah kopdar yang pernah saya ikuti. Satu kali kopdar tidak resmi dengan beberapa anggota milis APIKatolik plus gerejakatolik setelah misa Jumat pertama yang dilayankan oleh Romo Gani di Chase Plaza, satu kali dengan milis [yang waktu itu bernama] gkps di Laponi Tondongta Jalan Sabang, dua kali dengan milis hkbp yang masing-masing berlangsung di Laponi Tondongta Jalan Sabang dan lapo Taman Mini. Hanya itu. Sedangkan yang sifatnya pribadi pun hanya segelintir. Yang saya ingat adalah dengan Dea, Debora, Telly, Caroline, Romo Gani, dan Mbah Dukun Sesat alias Efron.
Sebenarnya kekurangminatan saya itu lebih disebabkan oleh kekhawatiran menjadi canggung saat bersosialisasi dengan orang-orang yang belum saya kenal. Acapkali saya mengalami kesulitan mencari topik perbincangan awal yang menarik bagi keduabelah pihak (terlebih-lebih jika lawan bicara saya adalah kaum lelaki, males banget dah! :-) ).
Hal ini amat berbeda dengan dunia pekerjaan, dimana saya tidak menemui kesulitan saat berjumpa dengan siapa pun dari tingkatan apa pun kendati belum pernah berkenalan. Dengan mereka, tentu saja topik yang akan dibicarakan sudah dipahami [dan disepakati] oleh keduabelah pihak, sehingga tidak diperlukan basa-basi dalam rangka menebak-nebak jenis perbincangan. Semuanya bisa dilakukan to the point dalam semesta yang tidak terlalu melebar.
Sedangkan kopdar biasanya tidak memiliki agenda pembicaraan khusus. Semuanya amat cair dan mengalir sehingga bisa melantur ke mana-mana. Di situlah letak kesulitan saya; menebak-nebak bahan perbincangan yang diminati oleh lawan bicara. Apalagi jika kopdar tersebut bersifat pribadi tanpa kehadiran orang ketiga yang bisa menolong mengisi pembicaraan guna mencegah kebekuan. Dan, celakanya pula, saya termasuk orang yang paling enggan merepotkan diri menebak-nebak pikiran orang lain.
Sindrom itu pulalah yang menghantui saya tatkala mengarahkan mobil menuju Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta di Jalan Proklamasi pada tanggal 20 Agustus yang lalu. Sehari sebelumnya, sebuah SMS masuk ke ponsel saya menanyakan apakah saya ada waktu keesokan harinya sekitar jam 14 untuk bertemu. Kalau saja pengirimnya bukan orang bernama Joas Adiprasetya, barangkali saya tidak terlalu grogi :-).
Kini nasi sudah menjadi bubur, dan janji tak mungkin lagi ditarik. Sejak sekian bulan, bahkan tahun, yang lalu, ketika beliau masih "nyantrik" di Boston University, saya sudah memaksanya mencantumkan nama saya dalam daftar orang yang ingin "beraudiensi", minimal minum kopi dan merokok bareng. Dan beliau sudah menyatakan kesediaannya.
Janji itu ditepatinya begitu kembali ke Indonesia. Malah, saya sudah disediakan waktu bertemu seusai kebaktian pagi di GKI Pondok Indah pada tanggal 20 Juli 2008, tepat 2 hari setelah tibanya di Jakarta. Sayangnya, pada tanggal yang dinanti-nantikan tersebut saya batal datang karena Riris (istri saya) kurang sehat. Walhasil, terjadilah penundaan hingga batas waktu yang belum dapat ditentukan. Apalagi, jadwal beliau tampaknya cukup padat.
Sebenarnya, hari Minggu itu saya nyaris menjadi orang yang sangat beruntung. Sampai-sampai Padre Calvin van Pamulang sempat-sempatnya mengemukakan "kecemburuan" atas keberuntungan saya itu sementara beliau harus berkutat dengan urusan Sinode di Bandung. Dengan masygul saya balas SMS beliau mengabarkan batalnya perjumpaan dengan Joas.
Bukanlah sebuah omong-kosong jika saya katakan bahwa Joas adalah salah satu orang yang membuat saya merasa terhormat jika bisa berjumpa. (Dengan presiden saja rasanya tidak begini-begini amat karena memang tidak minat :-).) Barangkali akan terdengar jumawa jika saya katakan tidak banyak orang yang saya segani dari dunia maya milis. Tapi, memang demikianlah kenyataannya. Dan Joas adalah salah satu dari sedikit orang tersebut (tidak perlulah saya jelaskan panjang-lebar alasannya). Meskipun saya tahu bahwa usianya lebih muda dibanding saya, hal itu sama sekali tidak mengubah pandangan saya terhadapnya sebagai seorang locianpwee dunia kangouw yang kepadanya patut saya haturkan soja.
Maka, bercampurbaurlah perasaan yang bergejolak di dalam hati saat memasuki areal parkir depan STT Jakarta tepat satu bulan setelah janji yang tertunda. Saking tidak ingin kehilangan waktu, saya sudah tiba di sana sekitar pukul 12.30. Sampai lupa bahwa saya belum makan siang. Akhirnya, saya makan dulu di salah satu rumah makan di Megaria yang [konon] pernah menjadi daerah "jajahan" Joas saat masih menjadi mahasiswa STT. Setelah itu, saya menghabiskan sisa waktu dengan menjalani lorong-lorong kampus STT dan membaca-baca pengumuman yang terpampang di sana. Sialnya, entah sejak kapan, kampus itu mendeklarasikan diri sebagai kampus bebas asap rokok :-((.
Tepat 5 menit menjelang pukul 14, saya berkirim SMS, "Mas Joas, saya sudah tiba di STT." Hanya dalam hitungan kejapan mata, saya melihat seseorang berperawakan agak gemuk berjalan sambil "celingak-celinguk" di areal parkir dalam kampus. Aha, itu Joas! Untunglah saya sudah pernah melihat fotonya, sehingga dengan yakin saya melambaikan tangan. Sedangkan beliau rupanya ragu bahwa saya adalah orang yang sudah berjanji bertemu dengannya siang itu. Tentu saja orang yang dicarinya sangat berbeda dengan yang dipikirkannya, karena saya tidak lagi berambut panjang dan berkuncir. Apalagi saat itu saya berpenampilan cukup rapi dengan hem dan pantalon dan sepatu kulit layaknya orang kantoran, tidak lusuh seperti yang dibayangkannya sebagaimana terlihat dalam foto kopdar milis hkbp di lapo Taman Mini beberapa waktu yang lalu :-).
"Ke mana kita? Saya tidak tahu tempat ngopi di sekitar sini," kata saya setelah kami saling menyampaikan salam. Saya benar-benar lupa untuk terlebih dahulu mencari informasi dari adik ipar saya yang berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tentang tempat nongkrong yang nyaman di kawasan tersebut. Kabarnya, Café Loro Jonggrang di seputaran Cikini menyuguhkan kopi yang enak (tapi belum pernah saya jajal).
Rupanya Joas pun tidak begitu tahu perkembangan wilayah itu setelah 5 tahun penuh meninggalkan Indonesia. Akibatnya, mobil pun merambah jalan tanpa kepastian tujuan. Sambil jalan, kami berbincang-bincang menanyakan kabar dan keluarga masing-masing sebagaimana lazimnya orang baru berkenalan.
Setelah sampai di Kuningan, barulah saya ingat Starbuck di Tebet. Dan ke sanalah kami menuju. Padahal, di Setiabudi Building pun ada Starbuck. Inilah susahnya jika kekikukan masih membayangi. Pikiran jadi butek.
Beruntung Joas bukan orang kikuk seperti saya, malah cukup santai. Sehingga, tanpa banyak memakan waktu, kami sudah bisa berbincang tanpa jeda yang cukup berarti. Tapi, tentu saja perbincangannya masih belum beranjak terlalu jauh dari urusan milis :-).
Setelah beberapa tegukan kopi racikan Starbuck membasahi tenggorokan diiringi belaian lembut kabut nikotin (A Mild untuk saya, Marlboro merah untuk Joas), perbincangan pun semakin hangat. Mulai dari soal STT, PGI, GKI, gereja pada umumnya, pendampingan jemaat, think tank gereja, keluarga, puisi saya, eksklusivisme-pluralisme-inklusivisme-singularisme agama, tesis doktoral yang diambilnya, hingga akhirnya sampai ke topik yang saya nanti-nantikan yaitu tentang apa yang akan dilakukannya di dan bagi Indonesia setelah menuntaskan penuntutan ilmu di Boston. Hati kecil saya sangat berharap beliau akan meluangkan waktu dan kemampuannya yang menurut saya extra-ordinary itu untuk menulis. Tentu saja yang saya maksudkan adalah menulis artikel dan buku yang dipublikasikan secara resmi dan luas, bukan sekedar melalui milis.
Joas tertawa ketika harapan saya itu mengingatkannya pada rencana menulis buku Amor Mundi yang sangat saya nanti-nantikan sejak bertahun silam. Namun, saya sangat bisa memaklumi ketika beliau mengakui mengalami kesulitan mewujudkannya. Terlalu banyak gagasan yang berseliweran di kepala sehingga malah bingung memilih dan memilahnya. Konon, itulah kutukan yang melekat pada orang yang punya banyak pengetahuan :-). Belum lagi soal disiplin meluangkan waktu duduk di hadapan komputer untuk menulis.
Alih-alih memberikan perkiraan penyelesaian buku Amor Mundi, Joas malah membuat saya sangat terperanjat ketika mengajukan pertanyaan, "Buku apa yang sebaiknya saya tulis?"
Waduh! Jelas ini bukan pertanyaan sambil lalu. Malah, terasa menjadi tohokan jitu terhadap alasan saya yang paling hakiki mengapa ingin berjumpa dengannya. Terang saja saya jadi gelagapan. Apa pula kompetensi saya sehingga pantas memberikan opsi untuk bidang yang tidak saya kuasai secara mumpuni?
Namun, di sisi lain pertanyaan itu membuat saya sadar tentang posisi saya selaku jemaat awam yang tentunya memiliki kebutuhan dan gairah menemukan pencerahan atas berbagai hal yang selama ini berlaku secara taken for granted bahkan cenderung menjadi ultimatum take it or leave it. Juga tentang banyak hal kontekstual dalam dinamika nyata kehidupan sehari-hari yang nyaris tidak/belum disentuh oleh gereja. Dalam hal ini, belum tersedia cukup literatur bagi kaum awam yang tidak akrab dengan bermacam jargon teologi-akademis.
Belum sempat saya mengurai, menautkan, dan merumuskan kecamuk pemikiran, kembali Joas mengejutkan saya dengan gagasan tentang "tarian" Trinitarian yang menjadi dasar dari seluruh "tarian" kehidupan kini dan di sini. Entah bagaimana, beliau seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikiran saya sekaligus menjawabnya dengan jitu tanpa perlu saya katakan. (Itu sebabnya saya pernah katakan pada Efron bahwa Joas adalah anomali sekaligus jenius :-).)
Menurutnya, hal itu sebenarnya sudah sangat akrab bagi kalangan Kristen di masa lampau, khususnya di Gereja Timur. Jelas, gagasan itu sangat menarik bagi saya karena pernah membaca buku yang membahas metafora "tarian" Allah Trinitarian. Hanya saja saya masih belum mampu mencerna maknanya dengan baik, sehingga masih amat jauhlah dari pemikiran saya tentang cara membahasakannya kepada masyarakat Kristen Indonesia yang lebih didominasi pemahaman teologi Barat.
Kendati demikian, samar-samar saya bisa membayangkan sebuah filosofi yang bisa menjadi dasar teologis bagi penerimaan, penghormatan, dan perayaan terhadap keragaman sekaligus landasan membangun kemitraan dengan semua pihak dalam kerangka pemuliaan manusia. Dalam hal ini, Joas mengatakan bahwa dengan itu kita bisa bicara banyak hal; ekologi, feminisme, keadilan, kesejahteraan, harmoni, dan sebagainya. Hanya saja, belum bisa saya bayangkan bagaimana sesungguhnya uraian tentang tarian Sang Allah Trinitarian tersebut dan bagaimana pula kisi-kisi pola yang bisa ditawarkan pada khalayak perihal penerapan praktisnya. Entah bagaimana pula relasinya dengan global ethics yang dulu pernah menarik minat Joas [dan masih tetap menarik bagi saya].
Ah, biarlah itu menjadi urusan sang resi.
Tiga jam berbincang dengan Joas ternyata amat jauh dari menjemukan, malah sangat menggairahkan (walau saya yakin bahwa semua yang kami bicarakan barulah tepi-tepi dan kembang-kembangnya saja, belum masuk ke inti yang tentunya tidak sederhana). Sensasinya seperti berjumpa kembali dengan seorang kawan lama walau baru pertamakali bertemu. Maka, agak berat juga rasanya ketika saya mengantar beliau kembali ke Jalan Proklamasi. Tugas kampus sudah menantinya.
"Datanglah ke rumah kalau buku-buku saya sudah sampai dari Amerika," katanya ketika saya mengarahkan mobil meninggalkan pelataran parkir STT. Saya mengiyakan sembari membayangkan 3000-an buku yang akan datang menyerbu rumahnya.
Jarum jam menunjukkan pukul 17 lewat sedikit ketika saya pulang dengan perasaan lebih penuh, laksana cangkir dituangi kopi wangi yang baru saja kami nikmati di teras Starbuck.
PinAng: Sabtu, 23 Agustus 2008 01:48