Kamis, Oktober 27, 2005

Trinitas

— Eureka atau Reka-reka?

Trinity
Trinity
by Andrei Rublev

Trinitas? Waduh!

Tidak mudah, memang, menyoal Allah Trinitas yang diimani oleh arus-utama kekristenan. Memikirkannya saja bisa membuat kepala berdenyut-denyut keras bak kena migrain, apalagi menjelaskannya untuk dimengerti.

Jangankan kepada mereka yang nonkristen (terlebih-lebih yang skeptis dan apriori terhadap ajaran Kristen), bahkan kepada sesama Kristen yang iman gerejanya jelas-jelas berdiri di atas landasan Trinitas pun belum tentu memuaskan keduabelah pihak. Baik yang memberi maupun yang menerima penjelasan, sama-sama lebih kerap dilanda keruwetan yang menjengkelkan.

Sebelumnya, haruslah saya katakan bahwa doktrin Trinitas bukan bermula dari inisiatif gereja yang hendak merumuskan imannya. Mirip proses kanonisasi Alkitab yang dipicu oleh terbitnya berbagai kompilasi tulisan berdasarkan pandangan dan kepentingan tertentu, doktrin Trinitas pun lahir akibat keterpaksaan gereja mempertahankan diri (berapologetika) melawan berbagai gempuran pemikiran yang berasal dari dalam dan luar gereja.

Dari dalam gereja sendiri lahir berbagai penafsiran mengenai keilahian Yesus dan Roh Kudus. Sedangkan di luar gereja, hadir kepungan sporadis dari monoteisme absolut agama tradisional Yahudi, budaya politeistis Greko-Roman (Yunani-Romawi), filsafat Yunani (Plato, Neoplatonis, Stoa), maupun beragam gnostisisme yang mengedepankan ilmu pengetahuan sebagai jalan pembebasan mengenai misteri keberadaan (eksistensi) manusia.

Apa yang sebenarnya dipersoalkan dalam diskursus teologis tersebut?

Tidak lain adalah mempertahankan prinsip bahwa ajaran Kristen berdiri di atas prinsip monoteisme.

Adapun titik kritis yang menjadi pangkal perdebatan ialah perihal adanya 3 Pribadi ilahi —Bapa, Anak, dan Roh Kudus— yang senang-tidak-senang bisa memerosokkan ke kesimpulan bahwa kekristenan adalah agama triteis (3 ilah) yang nota bene sama saja dengan politeisme.

Akibatnya, para cendekiawan Kristen di masa lalu yang adalah teolog pun terpaksa bertukar jubah menjadi pembela/apologet iman. Dan di masa kini, dalam interaksinya di masyarakat, bahkan orang Kristen awam (nonteolog) pun terpaksa menjadi apologet ketika hal ini dipertanyakan oleh sesamanya yang Kristen maupun nonkristen, baik yang sungguh-sungguh bertanya maupun yang bermaksud mencari-cari kelemahan guna menyudutkan.

Lalu, monoteisme macam apa yang sebenarnya hendak disampaikan oleh gereja?

Banyak buku sudah ditulis, banyak ragam penjelasan sudah dipaparkan, banyak sisi pandang teologis sudah dibangun. Namun, saya sangsi ada orang yang sanggup mengajukan klaim bahwa dilema Trinitas sudah selesai.

Dalam tulisan ini saya tidak berniat mengurai kembali kisah panjang perumusan doktrin Trinitas yang sudah memakan banyak waktu, energi, maupun korban [anatema/pengutukan, ekskomunikasi, bahkan eksekusi!]; yang carut-marutnya terwarisi hingga kini, seperti skisma/perpisahan Gereja Latin di Barat dan Gereja Yunani/Ortodoks di Timur, maupun munculnya berbagai denominasi/aliran serta sekte heretis yang kemudian dinyatakan sesat/bidat.

Untuk rinciannya, tersedia bertimbun literatur yang akan terus bertambah hingga akhir jaman dengan sudut pandang masing-masing. Sehingga perlulah dicamkan petuah sakti rekan Mula Harahap di milis hkbp yang kerap dirapal bak mantera oleh sepupu-sepupu saya, "Bahat tuhor hamu buku i, jala jaha hamu" (untuk terjemahan yang pas, silakan tanya kepada orang Batak Toba. Terjemahan bebasnya kira-kira, "Baca tuh buku banyak-banyak" :-) ).

Sebagaimana saya maklumi (dan kiranya juga oleh banyak orang Kristen lainnya), Allah adalah misteri (bukan persoalan/problem yang harus dipecahkan!) yang tak kunjung bisa dipahami dalam artian tuntas terdefinisi (definisi sendiri bagai pisau bermata dua: menjelaskan sesuatu secara spesifik sehingga terbedakan dengan yang lain, namun di sisi lain berarti melakukan pembatasan yang bisa memerangkap ke dalam kepicikan).

Salah satu cara yang kerap digunakan guna menjelaskan keberadaan Allah adalah dengan analogi/perbandingan. Namun, perlu saya ingatkan sejak dini, bahwa analogi hanya bersifat sebagai tanda atau petunjuk belaka. Sedangkan yang ditunjuknya jauh lebih besar dan lebih kompleks ketimbang apa yang mampu dimuat oleh tanda tersebut. Dengan demikian, tidak pada tempatnyalah analogi dimaknai sebagai kesimpulan akhir perihal apa yang hendak ditunjuk.

Contoh analogi yang terkenal [di dunia teologi] adalah seperti yang diajukan Santo Agustinus (354 — 430 ZB) yang secara paradoksal memanfaatkan senjata lawan, yakni filsafat platonis Yunani, dalam karya agungnya De Trinitate:

1. Pikiran, pengetahuan, cinta (mens, notitia, amor)

Pikiran mengetahui dan mencintai, pengetahuan mengandaikan pikiran dan cinta, cinta mencakup pikiran dan pengetahuan. Ketiganya membentuk jiwa manusia, yang selalu merupakan kehidupan dan aktivitas manusia dalam keserentakan yang sempurna dari aksi dan keberadaan.

2. Ingatan, budi, kehendak (memoria, intelligentia, voluntas)

Seseorang tidak bisa mengingat jika tidak menghendaki dan tidak mengerti, dia tidak mengerti jika tidak menghendaki dan tidak mengingat, dia tidak menghendaki jika tidak mengerti dan tidak mengingat.

3. Hampir satu milenium berikutnya, si gemuk jenius Thomas dari Aquinas (1224 — 1274 ZB) mengembangkan sistem Trinitaris yang logis dalam magnum opus Summa Theologiae. Dengan memanfaatkan filsafat Yunani aristotelian, Thomas bertolak dari hakikat keilahian yang menyatukan ketiga Pribadi itu, lalu mencermati apa yang muncul dari kesatuan itu dengan menggunakan analogi "pikiran" Agustinus: sebagaimana Dia adanya (Bapa), Dia mengetahui (Sabda, Anak), dan Dia mencintai (hadiah, Roh Kudus).

Ah, terlalu filosofis! Kita kan bukan teolog-filosof jenius seperti Santo Agustinus dan Thomas Aquinas.

Baik. Saya pun tidak berhasrat mengurai pemikiran Agustinus maupun Thomas Aquinas yang memang sulit (sehingga buku mereka pun tebal-tebal!), ataupun para pujangga gereja serta para teolog modern. Lebih baik saya tinjau beberapa analogi populer yang masih kerap digunakan orang hingga kini.

1. Telur: kulit, putih telur, kuning telur

Ketiganya memang menjadi satu pada sebutir telur. Tetapi, jika dipisahkan, masing-masing tidak bisa dipandang sebagai telur lagi, sebab ketiganya tidak memiliki satu asas yang menjadikan mereka sama secara mendasar.

Analogi ini mengundang bahaya triteisme, dimana 3 ilah yang pada dasarnya berbeda dan terpisah kemudian bergabung menjadi satu.

Yang pasti, kalaupun ada, amatlah jarang orang memakan kulit telur. Bahkan, tidak semua orang suka pada putih telur dan kuning telur keduanya. Apalagi ketiganya sekaligus! Alhasil, pepatah Prancis —yang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi— "You can't make an omelet without breaking eggs" dapat saya tafsirkan lain, bahwa kita baru bisa memahami Allah setelah konsep Trinitas dipecah-pecahkan terlebih dahulu. Celaka nian!

2. Matahari: nyala, panas, cahaya

Sama seperti telur, analogi ini tidak menunjukkan kesamaan hakikat bagi ketiganya, sehingga rentan terhadap sergapan triteisme.

Selain itu, pada kenyataannya, di luar angkasa antara bumi dan matahari, kondisinya malah gelap dan dingin. Di sana pancaran matahari bukan berupa cahaya dan panas, melainkan radiasi yang tidak terdeteksi indra. Sehingga, dalam analogi ini, terjadi diskontinuitas/keterputusan yang menyebabkan Allah kehilangan sifat mahahadir (omnipresent) dan kekekalannya.

3. Segitiga samasisi

Analogi yang memberikan gambaran terciptanya bidang 2 dimensi yang dibentuk oleh tiga titik identis dengan sudut yang sama ini pun masih menyisakan persoalan, yakni tidak-bersamanya ketiga titik. Selain itu, walau garis yang menghubungkan ketiga titik tersebut dipandang sebagai relasi satu sama lain, garis tersebut juga menandakan adanya jarak antartitik.

Keterpisahan tiga titik tersebut masih dinaungi awan triteisme juga.

4. Air: cairan (air), padatan (es), uap

Analogi ini cukup bagus. Masing-masing wujud tersebut memiliki kesamaan mendasar, yakni dapat dinyatakan dengan simbol kimia H2O.

Sayangnya, kesetimbangan ini hanya bisa terjadi pada temperatur kritis triple point 273,16 K (0,01°C) dan tekanan 611,2 Pascal (sekitar 150 kali lebih rendah daripada tekanan normal barometris permukaan laut 101.300 Pa). Dan walau disebut berada dalam kesetimbangan, sesungguhnya masing-masing wujud tersebut berada dalam keadaan tidak stabil. Perubahan temperatur yang kecil sudah dapat mengubah satu wujud ke wujud lain dalam tempo singkat.

Karena keberadaan mereka dalam kondisi kritis ini tergantung pada faktor eksternal, maka analogi ini merisikokan hilangnya independensi mutlak Allah yang tanpa asal (sebab) maupun kekekalan-Nya.

5. Manusia: suami (bagi istri), bapak (bagi anak), karyawan (di perusahaan)

Walau tegas nuansa monoteismenya, analogi ini dibayang-bayangi ketat oleh pemahaman Modalisme yang sejak berabad-abad lalu sudah disingkirkan gereja. Paham ini menyatakan bahwa Allah yang esa dan tunggal menampakkan diri-Nya melalui 3 cara (modus) pewahyuan. Atau, Dia tampil dalam 3 rupa (prosopa, topeng) dan berdiam di tengah kita dengan 3 cara berbeda (idia perigraphe).

6. Three in one

Memangnya aturan lalulintas di beberapa jalan protokol Jakarta? :-)

7. Lain-lain

Kalau analogi yang ini bermasalah dan yang itu tidak tepat, lalu bagaimana?

Trinity Most Holy
Trinity Most Holy
mgr.org

Agar tidak lebih pusing menyoal teologi dan filosofi, saya rasa lebih baik jika saya ceritakan satu kisah biasa yang bisa terjadi pada siapa saja. Walau tiada niatan mematahkan mitos Trinitas (memangnya siapa saya sampai begitu jumawa?), semoga kisah ringan di bawah ini dapat memperkaya analogi Allah Trinitas hingga tidak terlalu mengawang.

ONCE UPON A TIME ...

Ada seorang lelaki muda yang tertambat hatinya pada seorang perempuan muda yang tinggal di kota lain sejarak 1000-an kilometer dari tempat tinggalnya.

Di masa yang belum mengenal email dan layanan pesan singkat (short messages service/SMS), tiada yang bisa digunakan sebagai titian penaut hati kecuali telpon (yang biaya interlokalnya tentu mencekik dompet tokoh kita yang masih mahasiswa) dan surat (nyaris seminggu sekali si perempuan menerima sekitar 10 lembar kertas A4 bertulisan bolak-balik, sehingga kakak si perempuan menyebutnya "koran cinta").

Arkian, tibalah Valentine's Day alias Hari Kasih Sayang, yang lazim menjadi kesempatan mengungkapkan rasa kasih pada orang lain dalam bentuk hadiah.

Para remaja baru gede yang baru memasuki masa puber biasa memberi coklat atau permen berbentuk hati. Yang berlagak romantis, mengirim kembang. Yang mau intelek, membingkis buku ataupun cakram lagu atau film yang mengesankan. Dan yang merasa setaraf para pesohor ataupun hartawan kelas dunia, memberi hadiah berlian, mobil, rumah, barang langka, ataupun ujud kemewahan lain.

Walau sangat kontras secara finansial, maknanya tidaklah berbeda. Baik coklat Beng-Beng maupun berlian Koh I Noor sama-sama menjadi ungkapan tulus dan terdalam perihal kemanisan, keindahan, kemurnian, dan keagungan cinta.

Apa yang dilakukan tokoh kita?

Dia sudah kerap mengirim lukisan guratan tangannya sendiri yang menuangkan perasaannya yang terdalam, serta seluruh kecemasan dan harapannya. Apa lagi yang bisa membuat Valentine's Day kali ini berbeda dan istimewa?

Tanpa banyak pikir, dikemasinya ransel perjalanan. Dengan kereta api kelas ekonomi yang gerah, ditempuhnya 1000 kilometer jarak pemisah mereka.

Sudah barang tentu kehadirannya pada siang bolong yang amat terik di depan pintu rumah si perempuan menjadi sebuah kejutan. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa hadiah Hari Kasih Sayang itu adalah sang kekasih sendiri.

Kata sahibul hikayat, selama cinta bertahta di hati mereka, tiada lain yang meraja selain kebahagiaan bagi mereka berdua.

... THE END

Apa sih maksudnya? Tidak mengharukan sama sekali, ah ... (Oh, maaf, bagian-bagian pedihnya sudah saya babat. Menghemat bandwith :-).)

Sejak mula, Allah <tokoh kita> mengasihi manusia <kekasih>. Jarak <1000 km> yang terentang sejak manusia keluar dari Eden, Allah jembatani melalui <telpon> nabi dan <surat> petunjuk yang kini kita kenal sebagai kitab suci.

Namun, walau seberapa pun rinci <tebal> wahyu yang disampaikan maupun sekian banyak <lukisan guratan tangan> rahmat yang dicurahkan-Nya, manusia masih saja kerap sangsi akan —atau malah lancang menguji— kesetiaan kasih Allah.

Panjang sabar, Allah <datang> menyampaikan diri-Nya sendiri pada manusia sebagai karunia yang tak tertandingi oleh apa pun.

Sebagaimana tokoh kita yang "Dalam dan atas nama cinta, kupersembahkan diriku seutuhnya sebagai hadiah bagimu sebab kaulah yang paling kukasihi", maka Allah AKU ADA (bdk. Kel 3:14) pun jadi nyata saat mengaruniakan diri-Nya kepada manusia selaku ciptaan paling berharga di mata-Nya.

AKU MEMBERIKAN DIRIKU. Itulah gagasan yang bisa saya tarik dari kisah di atas.

Secara Trinitas Ekonomis (hubungan Allah Trinitaris dengan ciptaan-Nya), analogi ini menggambarkan:

  1. PEMBERI, yakni Bapa.
  2. proses MEMBERI, dimana tindakan tersebut (penyataan, pewahyuan) bukan lagi dalam bentuk kata-kata, melainkan mencapai kulminasinya dalam inkarnasi firman/sabda menjadi manusia Yesus (bdk. Yohanes 1:14).
  3. yang DIBERIKAN, yakni Roh Kudus yang diutus Bapa dalam nama Yesus (bdk. Yohanes 14:26).

Adapun secara Trinitas Imanen (hubungan Allah Trinitaris dalam diri-Nya sendiri), analogi ini menyatakan bahwa ketiganya saling mengandaikan (menyatakan, mensyaratkan) keberadaan satu sama lain:

  1. tiada PEMBERI tanpa adanya proses memberi dan yang diberikan.
  2. tiada proses MEMBERI tanpa adanya pemberi dan yang diberikan.
  3. tiada yang DIBERIKAN tanpa adanya pemberi dan proses memberi.

(bandingkan dengan analogi "pikiran" dari Santo Agustinus)

Fenomena istimewa pada ketiganya adalah "satu dalam yang lain, satu dengan yang lain, satu dari yang lain, satu untuk yang lain" dalam persekutuan yang serentak terjadi tanpa pengurutan waktu, bersifat kekal, dan selalu ada bersama-sama dalam segala hal; yang dinyatakan dengan beberapa istilah:

  1. Perikhoresis (Yunani): setiap Pribadi mengandung kedua Pribadi yang lain, setiap Pribadi meresapi yang lain, satu tinggal dalam yang lain, begitu juga sebaliknya.
  2. Circuminsessio (Latin): saling berada satu dalam yang lain, yang sifatnya statis atau ekstatis.
  3. Circumincessio (Latin): peresapan aktif satu sama lain.

Tak perlu kita kutubkan Trinitas Ekonomis dan Imanen sedemikian hingga mutlak terpisah. Seturut aksioma Karl Rahner, "Trinitas Ekonomis adalah Trinitas Imanen, demikian pula sebaliknya", ketiganya terlibat penuh satu sama lain, dalam diri-Nya sendiri maupun dalam hubungan-Nya dengan manusia.

Satu-satunya hal paling wajar yang dapat saya bayangkan dalam memahami fenomena unik aku memberikan diriku yang terpancar dalam diri tokoh kita serta relasi dengan kekasihnya adalah cinta tanpa batas dan tanpa syarat.

Seperti yang kerap dituturkan lewat puisi atau kidung cinta. I love you just the way you are. Cinta menyanggupkanku mencintai keberadaan diriku sekaligus dirimu sebagaimana adanya. I love you more than you'll ever know. Cintaku padamu melampaui kesanggupanmu untuk mengerti. Maupun yang secara hiperbolis terungkap dalam syair rakyat, "gunung 'kan kudaki, lautan 'kan kuseberangi, hujan-badai bukan rintangan langkahku kepadamu".

Demikianlah Allah Trinitaris. Dia mencintai kita apa adanya, tanpa batas dan tanpa syarat, melampaui pengertian kita tentang-Nya, menerabas semua rintangan. Dan dalam kekekalan-Nya, setiap saat adalah Valentine's Day, sehingga setiap saat pula Dia karuniakan diri-Nya dalam relasi antarpribadi ilahi Trinitas Imanen maupun terhadap ciptaan-Nya dalam Trinitas Ekonomis.

Apakah cinta seperti itu hanya terjadi pada mereka yang berkasih-kasihan?

Ya! Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh mencintai yang dapat memberikan diri sepenuhnya kepada orang lain sekaligus menerima orang lain sepenuhnya. Namun, yang saya maksud bukan sebatas sepasang kekasih sedang kasmaran.

Sebagaimana Allah mengasihi dunia ini hingga mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal demi keselamatan manusia (bdk. Yohanes 3:16), begitu selayaknya perilaku kita selaku citra Allah (bdk. Kejadian 1:27). Suami-istri, orangtua-anak, lelaki-perempuan, individu-masyarakat, manusia-lingkungan, pemerintah-rakyat; semuanya adalah cermin analogis Allah Trinitaris yang mewahyu dalam segala sesuatu, dimana Allah menjadi semua di dalam semua (bdk. 1Korintus 15:28).

Dan Yesus meradikalkan bahwa cinta sejati adalah ketulusan yang [mau terus] mencintai [walau] hingga terluka, bahkan merisikokan nyawa (bdk. Yohanes 15:13), halmana merupakan kewajiban yang diberlakukan kepada semua orang Kristen terhadap sesamanya (bdk. 1Yohanes 3:16).

Maka, menurut saya, hanya cinta yang dapat menghantarkan kita kepada Allah Trinitaris [sebatas kemampuan manusia]. Sehingga, pantaslah jika penulis surat 1 Yohanes menyatakan, "Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih" (4:8); dan secara jitu dikumandangkan dalam devosi khidmat Santo Agustinus, Vides trinitatem, si caritatem vides! (anda menyaksikan Trinitas jika anda menyaksikan cinta!).

Tanpa ketiganya, kita tidak mengenal karunia. Sementara dalam Perjanjian Baru karunia nyaris selalu sinonim dengan cinta.

Apakah dengan begitu misteri Trinitas sudah selesai?

Sebagaimana telah saya singgung, analogi adalah tanda yang tidak identik dengan apa yang mau ditunjuknya. Semua analogi tentang misteri akbar itu hanyalah upaya agar kita tidak hanya berdiam diri dalam merefleksikan dan menghayati iman, dengan menyadari demikian miskin bahasa manusia untuk menjelaskan.

Puncaknya, kita hanya bisa diam dalam khusuk tafakur. Kontemplasi dalam ketakjuban yang tak lagi mampu kita ungkapkan. Seperti ditulis Rasul Paulus dalam 2Korintus 12:4 perihal kata-kata yang tak terkatakan dan yang tidak boleh diucapkan manusia, demikian pula Santo Agustinus menegaskan kredo si enim comprehendis, non est Deus (Allah yang bisa dijelaskan bukanlah Allah).

Menyitir Rudolf Otto, bagi saya Dialah satu-satunya Allah yang mysterium tremendum et fascinans. Misteri dan menggentarkan. Misteri bukanlah sesuatu yang memerlukan pemecahan, melainkan dihayati dan dihidupi melalui keseharian, dalam kegentaran dan kegairahan yang senantiasa bernyala-nyala (bdk. Filipi 2:12, Roma 12:11).

Seperti perempuan muda dalam kisah di atas, di hadapan kedahsyatan cinta Allah Trinitaris yang tak putus dan tak berkesudahan seperti itu, tiada yang dapat saya lakukan selain menyerah luluh sepenuhnya masuk dalam rengkuhan-Nya.

Dengan diam aku bertelut di hadirat-Mu, ya Allahku.
Di atas segala luka, cemas, dan harap,
kuguratkan nama-Mu di hatiku:
Bapa dan Anak dan Roh Kudus.
Amin.

— Beth: Kamis, 27 Oktober 2005 04:59

Selasa, Oktober 18, 2005

Terpaksa Korupsi?

Corruption
Corruption
historymatters.gmu.edu

Entah kenapa, tiba-tiba kejahilan menghinggapi saya. Sebenarnya bukan benar-benar didasarkan pada niat jahil, tapi agak dibumbui sedikit bosan. Pasalnya adalah persoalan klasik yang tidak pernah padam dibahas di berbagai forum diskusi, yakni soal penggunaan waktu kerja dan email kantor untuk berposting yang tidak ada kaitannya dengan urusan pekerjaan. Tidak sedikit yang beranggapan bahwa hal itu adalah sebuah tindak korupsi juga.

Sebenarnya saya tidak terlalu peduli lagi pada persoalan semacam itu. Sebab, pada kenyataannya, tiap orang bisa mengemukakan pembenarannya sendiri, bahkan dengan mengutip ayat-ayat dari Alkitab (sic!) maupun macam-macam pembenaran lainnya.

Yang membuat saya agak terusik adalah tantangan seorang penanggap kepada mereka yang menganggap dirinya dekat dengan Tuhan (entah siapa pula yang dimaksudkannya) agar melaksanakan ajaran dari Alkitab secara murni dan konsekuen (wah, Orde Baru sekali istilahnya :-) ), misalnya dengan tidak menerima amplop (tentu maksudnya adalah uang sogokan) dan tidak korupsi.

Soal korupsi itulah yang membuat kejahilan saya agak tergelitik. Apa sih pengertian korupsi? Apakah korupsi semata-mata berurusan dengan penggelapan uang perusahaan atau negara [baik secara langsung maupun tidak langsung]? Apakah yang disebut korupsi harus menyangkut batas nilai rupiah tertentu? Apakah menggunakan email kantor dan jam kerja termasuk korupsi?

Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih kuliah dan semangat-semangatnya mendialektikakan berbagai hal, saya pernah terlibat dalam diskusi yang cukup hangat dengan kawan-kawan di kampus tentang pengertian korupsi. Persoalan pada waktu adalah: termasuk korupsikah orang yang memberi kemudahan pada orang lain —termasuk keluarganya sendiri— walau dia tidak secara langsung dan nyata menikmati keuntungan dari tindakan tersebut?

Pada masa itu kami belum mengenal istilah KKN, Korupsi-Kolusi-Nepotisme, yang populer pada masa awal reformasi (dan kehilangan sengatnya di masa-masa selanjutnya). Namun demikian, setelah saya kaji kembali pada masa kini, semua istilah itu memiliki makna yang sama dengan pengertian korupsi yang akhirnya kami sepakati.

Apakah kesepakatan kami itu?

Setelah mengkaji persoalan dari berbagai sudut pandang (yang tentu saja sesuai keterbatasan kami dalam kerangka sosiologi karena bukan itu bidang studi kami), tibalah kami pada pengertian bersama bahwa

korupsi adalah tindakan yang secara sadar mengambil ataupun memberikan apa yang bukan haknya atau bukan tujuannya sehingga si pemberi dan/atau orang lain yang menerimanya memperoleh keuntungan yang sebenarnya bukan haknya.

Jadi, ada 2 hal berlapis yang dianggap bukan hak para pelaku [aktif dan pasif] dalam tindak korupsi, yakni:

  1. Apa yang diambil dan/atau diberikan
  2. Hasil dari proses pengambilan dan/atau pemberian tersebut

Tentu saja pengertian yang kami hasilkan dari diskusi a la mahasiswa itu tidak terdapat dalam kamus leksikon. Malah, dari tinjauan semula yang spesifik menyoal tindak korupsi pejabat sebagaimana dipahami oleh umum pada masa itu, cakupannya jadi meluas ke berbagai aspek lainnya. Sehingga, dalam definisi yang kami hasilkan itu, masuk juga ke dalamnya tindakan pencurian, penipuan, bahkan kotbah penyesatan dalam lingkup agama. Dengan demikian, sebagaimana telah saya singgung di atas, apa yang kini kita sebut sebagai kolusi dan nepotisme pada dasarnya adalah tindak korupsi juga.

Bahkan, kalau mau zakelijk (saklek), tindakan Yakub dan Ribka menipu Ishak demi memperoleh berkat yang seharusnya diterimakan kepada Esau adalah tindak korupsi juga. Bahwasanya tindakan tersebut memperoleh pembenaran dalam Alkitab adalah persoalan lain, dimana para religius menyatakan bahwa Allah punya kuasa menggunakan suatu keburukan menjadi kebaikan di masa depan. (Kali ini saya tidak akan membahasnya berdasarkan kepentingan para penulis Alkitab yang menggunakan selubung spiritual dalam menyikapi sejarah dan kondisi masyarakatnya pada masa itu maupun demi mengukuhkan posisi mereka.)

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang "tidak sanggup" untuk tidak korupsi jika pengertian korupsi yang kami sepakati itu demikian luas cakupannya?

Misalnya seperti yang digambarkan dalam cerita Sang Guru (sebuah karya sastra Indonesia yang sudah cukup lama, yang saya lupa siapa penulisnya, yang —kalau tidak salah— sudah difilmkan dengan Mang Udel sebagai pemerannya). Dengan diam-diam dia mencuri dan menjual kapur tulis milik sekolah karena gajinya sebagai guru tidak cukup untuk kebutuhan sehari-harinya. Dia tidak punya pilihan lain sebagaimana guru-guru masa sekarang yang masih bisa membuka warung kecil-kecilan atau mengojek. (Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa gaji guru saat ini sudah layak!)

Bagaimana pula halnya dengan orang —misalnya office-boy— yang berjualan kopi dan teh manis dengan menggunakan air mineral dari dispenser kantor?

Bahkan, ada yang mengajukan pertimbangan bahwa selama manusia hidup di dunia, tidaklah mungkin untuk menjalankan ajaran dari kitab suci secara murni dan konsekuen. Allah pasti mengerti keterbatasan kita selaku manusia yang tidak mungkin menjadi orang suci. (Saya malah sangsi bahwa menjalankan ajaran dalam kitab suci akan membuat kita menjadi orang suci.)

Memang tidak mudah memisahkan keterpaksaan yang mendesak dengan pemanfaatan kesempatan. Memang tidak gampang memilah mana yang sama sekali tidak boleh dilakukan dengan yang pasti dipahami Allah sebagai keterbatasan kita. (Memangnya ada yang bakal tidak dipahami Allah?)

Menjadi lain persoalannya jika kita berpegang pada prinsip "Allah pasti mengerti" ketika kita menghibur diri menutup-nutupi perbuatan curang kita. Sadar atau tidak sadar, sedikit demi sedikit kita akan mulai membenarkan pelbagai tindakan kita sebagai keterpaksaan. Padahal diri kita sendirilah yang memaksa kita menyikapinya sebagai situasi yang memaksa. Dan pada akhirnya kita tidak bisa lagi membedakan mana situasi yang sungguh-sungguh memaksa dan yang dipaksakan memaksa. (Makanya Paulus menyatakan bahwa omong kosong yang hanya menambah kefasikan menjalar seperti penyakit kanker.)

Lantas apa yang dimaksud sebagai situasi yang sungguh-sungguh memaksa yang bisa terbedakan secara jelas dari pemaksakan diri yang memerangkap kita ke dalam keterpaksaan ilusif?

Ini juga bukan pertanyaan yang mudah dicari jawabannya. Apalagi di dunia yang tidak sempurna dan memang tidak adil seperti ini.

Namun, menurut saya, justru di situlah letak ironi sekaligus muasal perkaranya. Ketidaksempurnaan dunia ini bukanlah alasan untuk menenggang ketidakadilan, yang pada gilirannya justru akan menggulirkan bola salju ketidakadilan yang semakin besar yang membuat dunia ini makin jauh dari kesempurnaan. Seperti lingkaran setan yang terus membesar tanpa batas dimana ketidakadilan dan ketidaksempurnaan saling menguatkan satu sama lain.

Keterpaksaan, dalam pengertian saya, adalah suatu situasi kritis dimana nilai kemanusiaan dipertaruhkan secara total bagai telur di ujung tanduk. Sehingga, jika suatu tindakan tidak dilakukan —walau tindakan tersebut masuk dalam kategori korupsi yang saya anut— maka manusia itu kehilangan atau berkurang kemanusiaannya. Keterpaksaan yang saya maksud adalah situasi dimana manusia harus mempertahankan harkatnya sebagai manusia dalam konteks kebutuhan primer, bukan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.

Maka, adalah sebuah keterpaksaan yang mendesak ketika seseorang mencuri roti agar dia dan keluarganya tidak mati kelaparan. Dia tidak memiliki pilihan dan kesempatan lain selain memecahkan etalase toko dan mengambil roti yang dipajang di sana (salah satu gambaran dilema antara hukum dan kemanusiaan dalam sebuah cerpen Rusia yang saya lupa penulisnya, mungkin Leo Tolstoy). Orang itu tidak lagi punya waktu untuk menunda rasa lapar dan kematian. (Dan dialektika keagamaan seharusnya tidak berhenti sampai di situ saja.)

Adalah sebuah keterpaksaan yang mendesak ketika sang guru mencuri dan menjual kapur tulis dari kelasnya karena dia tidak punya waktu dan tenaga lagi di luar jam mengajar untuk melakukan hal lain demi mempertahankan martabatnya sebagai manusia yang lebih sial nasibnya ketimbang anjing tambun di rumah orang kaya.

Namun, saya belum bisa menemukan alasan yang cukup kuat bahwa menggunakan email kantor dan jam kerja adalah sebuah keterpaksaan mendesak yang mengancam harkat kemanusiaan seseorang. Sebaliknya, lebih masuk akal jika perusahaan yang bisa menyediakan email bagi karyawannya pastilah mampu menyediakan imbalan kerja yang jauh di atas batas ancaman terdegradasinya kemanusiaan. Dan untuk itulah kita memberikan waktu, dedikasi, dan kinerja kita pada perusahaan.

Sehingga, kecuali perusahaan tempat kita bekerja menyediakan peluang untuk itu, saya tidak bisa untuk tidak memasukkannya sebagai tindak korupsi menurut pengertian yang saya anut hingga kini.

Di tempat saya dulu pernah bekerja, office-boy kami memanfaatkan lemari pendingin kantor untuk menyimpan minuman ringan botolan atau kalengan yang menjadi bisnis pribadinya. Pihak manajemen mengijinkannya karena perangkat tersebut malah hanya akan memboroskan energi listrik secara percuma jika tidak digunakan. Sedangkan kalau tidak digunakan, malah rusak sia-sia.

Begitu pula dengan teh manis dan kopi yang dijualnya. Pada dasarnya dia bertugas menghidangkan air minum tawar yang disediakan kantor bagi para pegawai. Jika ada yang menginginkan teh manis atau kopi, tentunya ada tambahan yang harus diadakan yang tidak termasuk dalam standar kantor. Teh, gula, dan kopi, serta sedikit tip itulah yang dibayarkan kepada office-boy kami. Sedangkan airnya tetap gratis.

Dengan memberi kesempatan kepada seseorang untuk secara legal memanfaatkan fasilitas kantor bagi kepentingan pribadi (tentunya dalam batas-batas yang sudah disepakati dan masuk akal), terlepaslah kami semua dari dilema pertentangan antara hukum dan kemanusiaan.

Apakah tindakan semacam itu bisa menyelesaikan persoalan ketidaksempurnaan dan ketidakadilan dunia? Tentu saja tidak. Tetapi jika kita mau mulai dari hal-hal kecil yang kita temui dalam keseharian bersama sesama kita, setidak-tidaknya ada orang yang terbebaskan dari keterpaksaan melakukan korupsi. (Dan kita pun terbebas dari beban utopis melaksanakan ajaran kitab suci secara murni dan konsekuen ataupun slogan bombastis mengabarkan Injil kepada semua orang dan menyelamatkan jiwa-jiwa.)

Tapi memang tidak semudah itu. Karena pada kenyataannya ada orang yang menganggap naik bis patas AC sudah merupakan suatu kemewahan, sedangkan orang lain masih merasa kurang terhormat jika kendaraan pribadinya "baru" sekelas Toyota Kijang.

Dunia ini memang tidak sempurna. Hidup ini memang tidak adil. Tapi hal itu bukan dalih bagi kita untuk menopengi diri dalam pembenaran korupsi ataupun tidak tanggap pada situasi yang memaksa seseorang melakukan korupsi.

Tidak mudah memang menarik garis batas jelas antara keduanya. Tapi Tuhan pasti sangat paham atas apa yang kini tidak kita pahami ketika persoalannya mempertaruhkan harkat kemanusiaan di titik paling kritis. Dan Dia mau kita belajar memahaminya. Untuk yang terakhir ini, saya sangat yakin.

— Beth: Selasa, 18 Oktober 2005 03:59

Jumat, Oktober 14, 2005

Hikayat Dua Nama

Ketika ada orang yang menyoroti perbedaan kisah penciptaan —khususnya penciptaan manusia— dalam kitab Kejadian 1 dan kitab Kejadian 2, cukup sering saya baca dan dengar dalih pembelaan bahwa kisah dalam Kejadian 2 merupakan perincian dari kisah dalam Kejadian 1.

Apakah alasan semacam itu bisa diterima?

Pikiran seperti itu sempat juga bertengger cukup lama dalam benak saya. Bahkan pernah saya jadikan argumen dalam berapologetika. Tetapi, seiring berjalannya waktu yang saya lewatkan [dengan cukup boros] untuk membaca buku dan berdiskusi (baik secara aktif ataupun sekedar membaca posting orang lain), akhirnya saya tiba di bibir jurang keraguan terhadap pendapat tersebut. Ada beberapa alasan untuk mempertimbangkan kembali pemikiran semacam itu.

Mari kita tengok racun-racun informasi yang dituang ke dalam pertimbangan saya.

Bukanlah sebuah rahasia bahwa kitab-kitab yang pada akhirnya dikumpulkan menjadi Perjanjian Lama (PL) itu bersumber dari pelbagai tradisi dan lapisan sejarah yang berlangsung dalam kurun waktu cukup panjang di berbagai lokasi. Dan bukan pula sebuah kejutan bahwa segala bahan yang terdapat di dalamnya telah mengalami pengolahan dan pengoreksian beberapa kali sesuai dengan paradigma yang berkembang pada masanya (maupun kepentingan-kepentingan tertentu oleh pihak tertentu, termasuk politik).

Kisah-kisah tersebut disusun, diolah, dan dikembangkan pada masa yang kemudian sesuai dengan pandangan religius dari jaman yang kemudian tersebut, meskipun —katakanlah— kisah-kisah tersebut mengakar secara historis pada sebuah peristiwa nyata di masa lampau.

Pada dasarnya, semua kisah itu merupakan upaya penceritaan kembali (rekonstruksi) agama dan kehidupan religius para leluhur mereka, yang hampir semuanya —sehubungan dengan ketersediaan fasilitas yang ada pada masa purba itu— dilangsungkan secara verbal. Dan sebagaimana galibnya tradisi lisan, sangatlah wajar jika dalam penyampaiannya terjadi evolusi di sana-sini agar kisah-kisah tersebut berterima dalam alam pikiran masyarakat pendengarnya.

Maka, dapatlah dipahami, walau kitab Kejadian terletak di bagian paling awal Alkitab, bukan berarti teologi tentang penciptaan lahir lebih dulu dalam kepercayaan Yahudi. Pada mulanya orang Yahudi malah tidak punya pemikiran bahwa Allah yang mereka sembah adalah pencipta alam semesta (kosmis). Namun demikian, berbeda dengan bangsa-bangsa lain, pemahaman mereka tentang Allah memiliki ciri dinamis dan personal yang dekat dengan mereka.

Demi kemudahan, istilah Yahudi, Ibrani, dan Israel yang menunjuk pada nama suatu kaum dalam solilokui ini adalah sama sehingga dapat saling dipertukarkan. Begitu juga halnya dengan istilah Allah dan Tuhan.

Maka, saya rasa cukup beralasan jika pertanyaan pertama yang saya ajukan adalah "Siapa atau apa yang dimaksud oleh orang Yahudi sebagai Allah mereka?".

Dalam Alkitab kita, tampaknya jawabannya sederhana saja, yakni Allah atau Tuhan. Tidak ada tanda-tanda khusus yang membuat istilah itu berbeda. Namun, jika kita perhatikan dengan cermat, kita akan menemukan cara penulisan yang unik. Kadang tertulis "Allah", kadang "TUHAN", kadang "Tuhan", dan lain waktu ditulis "Tuhan ALLAH".

Mengapa terjadi perbedaan penulisan?

Karena sebutan bagi Allah di dalam kitab-kitab PL Ibrani memang berasal dari 2 nama yang berbeda, yaitu YHWH dan El.

1. YHWH

Nama yang terdiri dari 4 konsonan yang disebut tetragramaton dan kerap dibaca Yahweh ini dikhususkan untuk menyebut nama diri Allah. Nama ini dinyatakan pertamakalinya kepada Musa di Gunung Horeb (bdk. Keluaran 3:14), yang dalam Alkitab Terjemahan Baru (TB 1974) dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) diterjemahkan sebagai AKU ADALAH AKU.

Secara pribadi, saya lebih menyukai terjemahan dalam Alkitab Terjemahan Lama yang menuliskan AKU AKAN ADA, YANG AKU ADA. Atau Alkitab Bahasa Sehari-hari (LAI BIS 1985) yang menuliskan Aku adalah AKU ADA dimana tertera catatan bahwa AKU ADA bunyinya seperti kata Ibrani Yahweh.

Menurut pendapat saya, pada saat itu Tuhan bukannya menyebutkan nama diri-Nya, melainkan menegaskan eksistensi-Nya sebagai Yang Ada (Being) yang kekal. Sebagaimana para mistikus menyebut-Nya Dia yang namanya tidak diketahui atau Dia yang namanya tidak dapat diucapkan.

Untuk selanjutnya Alkitab menerjemahkan tetragramaton tersebut dengan TUHAN (semuanya huruf kapital).

Karena begitu takutnya orang Yahudi terkena hukuman Allah jika salah mengucapkan YHWH —yang berakibat pelanggaran terhadap dasatitah (dekalog) yang melarang menyebut nama Tuhan secara tidak hormat (sembarangan)—, maka setiap kali menjumpai tulisan YHWH mereka langsung mengucapkan adonay.

Adonay sebenarnya berarti panggilan untuk menghormati seseorang. Artinya sama dengan tuan (kurios [Yunani]). Namun, pada penerapannya dalam Alkitab, nama itu digunakan juga untuk menunjuk pada TUHAN yang menjadi Tuhan (tuan) atas sesuatu, misalnya "TUHAN, Tuhan semesta bumi" (bdk. Yosua 3:13) atau "TUHAN, Tuhan seluruh bumi" (bdk. Mazmur 97:5).

Adonay pun digunakan sebagai kata depan bagi YHWH sehingga menjadi adonay YHWH, dimana lebih dari dua pertiganya terdapat dalam kitab Yehezkiel.

Dan adakalanya adonay langsung digunakan sebagai pengganti YHWH (bdk. Yesaya 6:1, 8; Mikha 4:13; Zakaria 4:14; 6:5).

Akibat kebiasaan penggantian penyebutan yang didasarkan pada ketakutan ini, hingga sekarang tidak ada orang yang bisa mengklaim cara pelafalan tetragramaton itu secara tepat.

Mengapa tidak bisa dilafalkan secara tepat?

Resminya, bahasa Ibrani dalam PL memiliki 22 huruf yang semuanya huruf mati (konsonan), termasuk semivokal w dan y. Berhubung sebuah konsonan, yakni s, juga dapat diucapkan sebagai sh (kadang menjadi sy, sehingga shalom juga kerap ditulis syalom), maka totalnya menjadi 23 konsonan.

Dapat dikatakan, tidak ada orang yang tahu persis bagaimana menyuarakan tulisan Ibrani yang semuanya huruf mati itu. Kasusnya mirip dengan apa yang kita kenal sebagai "Arab gundul" pada masa-masa awal penulisan al-Qur'an, alias tanpa tanda khusus yang menunjukkan bunyi vokal yang cocok.

Orang baru bisa membaca dengan pelafalan yang tepat setelah para ahli Masora (yang secara harafiah berarti "penerus") pada abad 7 ZB memberikan tanda-tanda khusus pada konsonan-konsonan dalam Alkitab (sehingga disebut naskah Masoret atau Masoretis). Kemungkinan, pemberian tanda vokal secara tradisional ini didasarkan pada pemberian tanda vokal dalam bahasa Aram.

(Jangan tanya apakah pencantuman tanda vokal itu benar atau tidak, karena ada cukup bukti bahwa pembunyian nama tempat secara salah mengakibatkan kacaunya peta Timur Tengah.)

2. El

Istilah ini biasa digunakan sebagai nama diri (proper name) maupun sebutan/gelar/jabatan (generic appelative), tetapi umumnya digunakan sebagai nama diri Allah yang Mahatinggi (El Elyon) dan kemudian untuk Allah Israel (El Elohee Israel).

El juga biasa digabungkan dengan kata lain, seperti El Shaddai (Allah Mahatinggi), El Olam (Allah yang Kekal), El Bethel (Allah Bethel), El Roi (Allah Mahatahu), dan El Berith (Allah Perjanjian).

Varian dari El adalah Elohim yang banyak digunakan dalam PL dengan maksud yang sama dengan El, yakni sebagai nama diri maupun generik. Umumnya bermakna jamak, tetapi bisa juga tunggal. Sebutan ini pada akhirnya biasa juga dikenakan kepada Yahweh sebagai Elohim (Allah) Israel.

Selain itu, ada juga istilah Eloah yang merupakan bentuk tunggal, yang sama maksudnya dengan Elohim.

Ketiga istilah ini —El, Elohim, Eloah— mempunyai maksud yang sama walaupun ada juga perbedaan pengertian dalam penggunaan tertentu.

Adapun paralelisasi terjemahan istilah-istilah tersebut ke dalam Alkitab bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. TUHAN = YHWH
  2. Tuhan, tuan = adonay (kurios [Yunani])
  3. Allah = El, Elohim, Eloah (theos [Yunani])
  4. Tuhan ALLAH = adonay YHWH
  5. TUHAN Allah = YHWH Elohim

Kalau hendak konsisten, (d) seharusnya diterjemahkan sebagai "Tu[h]an TUHAN". Tapi jadi sangat janggal terdengar di telinga. Itulah repotnya penerjemahan antara 2 bahasa yang tidak setara keluasan makna kosa-katanya. Mungkin yang paling pas adalah istilah Gusti Allah dalam bahasa Jawa/Sunda atau Lord God dalam bahasa Inggris.

Saya tidak mau pusing memilah dan memilih istilah yang paling tepat dipandang dari sudut teologis. Istilah apa pun yang saya gunakan dalam solilokui ini memiliki maksud menunjuk kepada Dia yang satu itu.

Seperti sudah saya katakan di atas, YHWH pertamakalinya dinyatakan kepada Musa, bukannya kepada Abraham, Ishak, dan Yakub; halmana ditegaskan sendiri oleh Allah dalam Keluaran 6:1-2. Padahal, YHWH sudah berkali-kali tertulis dalam Alkitab sebelum pertemuan Musa di Gunung Horeb itu.

Apa artinya itu?

Itulah salah satu bukti bahwa penulisan kitab-kitab dalam Alkitab tidaklah berlangsung dalam urutan kronologis sebagaimana susunan yang kini saya temukan pada Alkitab. Terjadi upaya-upaya untuk meredaksi ulang kisah-kisah yang sudah ada —baik secara lisan maupun nantinya dalam bentuk tulisan— agar berterima dalam paradigma masyarakat saat itu.

Untuk itu, YHWH pun diberlakukan surut menjadi Allah nenek moyang Israel, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub (bdk. Keluaran 3:13-15). Lalu, penggunaannya semakin dimajukan lagi hingga menjadi Allah umat manusia di jaman Enos (bdk. Kejadian 4:26, Enos artinya manusia). Dan akhirnya, nama itu pun tiba di awal segalanya sebagai Allah Pencipta langit dan bumi (bdk. Kejadian 2:4).

Dengan meracik bahan-bahan dari berbagai bacaan, dapat saya simpulkan bahwa hal ini pun merupakan sebuah siasat agar Allah yang disembah orang Yahudi tidak hanya diakui secara terbatas di kalangan mereka saja, melainkan juga —dalam bahasa halus— dapat merebut hati bangsa non-Yahudi. Atau —dalam bahasa lugas— Allah orang Yahudi berjaya di atas (menaklukkan) para dewa bangsa lain yang dianggap sebagai kaum kafir (goyim, gentile). Proses ini terjadi khususnya ketika mereka berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain, baik pada saat mengungsi ke Mesir di masa Yusuf hingga eksodus di bawah pimpinan Musa, maupun pada masa-masa penderitaan di pembuangan Assyria dan Babylonia.

Dengan demikian, dalih pembelaan bahwa kisah dalam Kejadian 2 merupakan perincian dari kisah dalam Kejadian 1 —yang nota bene mengimplikasikan urutan kronologis penulisannya— telah cukup hangat untuk saya tanggalkan.

Namun demikian, pergumulan saya belum berakhir. Masih ada kisah selanjutnya yang tidak kalah seru dan seramnya dalam "Hikayat Dua Dewa". Mudah-mudahan saya tidak dilanda kemalasan untuk menuliskannya :-).

— Beth: Jum'at, 14 Oktober 2005 10:47

Selasa, September 27, 2005

Vita Brevis

— Sebuah Gugatan dari Cinta

Vita Brevis
Vita Brevis
amazon.com

Beberapa waktu yang lalu, saya terlibat (tepatnya: melibatkan diri) dalam diskusi yang menyoal buku Vita Brevis — Sebuah Gugatan dari Cinta (edisi Inggrisnya berjudul That Same Flower). Mestinya buku itu cuma buku biasa yang tidak perlu dihebohkan, karena hanya berisi sebuah surat (atau beberapa buah surat yang sinambung) dari seorang perempuan tidak terkenal kepada mantan kekasih kumpul-kebonya yang telah membuahkan seorang anak lelaki.

Secara ringkas, surat pribadi itu berisi protes (itu sebabnya subjudul buku tersebut sangat pas disebut gugatan dari cinta) terhadap alasan kekasihnya meninggalkannya sebagaimana dilansir oleh kekasihnya itu dalam sebuah buku berbentuk otobiografi reflektif. Mestinya juga surat itu tidak istimewa. Ada banyak kasus serupa yang terjadi di dunia ini. Perempuan itu bukan satu-satunya perempuan di dunia yang pernah ditinggalkan dan merasa dikhianati serta disia-siakan oleh lelaki yang sangat dicintainya dan mengaku pernah sangat mencintainya pula.

Keistimewaan timbul ketika si penulis surat yang mengaku bernama Aemilia Floria itu menujukan surat-suratnya kepada Aurelius Agustinus yang kemudian lebih dikenal sebagai Uskup Hippo, yang tidak lain adalah seorang teolog besar gereja dan seorang santo. Dan yang lebih dahsyat lagi, selain memaparkan kenangan dan sikapnya atas hubungan cinta mereka di masa lalu, surat itu juga berisi kritik terhadap beberapa hal yang tertera dalam karya besar Agustinus yang berjudul Confessiones.

Terlepas dari keabsahan surat yang disebut sebagai Codex Floriae oleh Jostein Gaarder yang menerjemahkannya dari bahasa Latin ke bahasa Swedia tersebut, timbul satu kesangsian besar: Mungkinkah di jaman Agustinus (354 – 430 ZB) ada perempuan yang memiliki tingkat intelektualitas sedemikian tinggi sehingga mampu menyampaikan kritik yang sepadan dengan pemikiran-pemikiran orang sekaliber Santo Agustinus? Apalagi pada masa itu paradigma patriarkal masih sedemikian kuat mencengkeram berbagai gatra kehidupan, termasuk gereja, sehingga peran perempuan nyaris tidak termunculkan sama sekali.

Saya tidak bisa menjawab kesangsian tersebut secara tegas karena saya bukan pakar sejarah atau bahasa atau skriptologi ataupun sosio-antropologi yang berkompeten memberikan pernyataan akhir. Namun, di sisi lain, saya pun tidak bisa untuk tidak memberikan the benefit of doubts bahwa kelangkaan atau ketidaklaziman bukanlah istilah lain bagi ketidakmungkinan. Karena, menurut saya, intelektualitas kaum perempuan bukanlah produk masa kini yang baru muncul kemudian, melainkan sudah ada sejak kisah penciptaan Taman Eden.

Malah sempat terlintas pikiran nakal dalam benak saya, jangan-jangan ada bagian yang tidak tertera dalam kitab Kejadian dimana Adam sudah lebih dulu kalah berdebat melawan ular dan kemudian mengajukan Hawa sebagai palang-pintu terakhir pembela manusia. Atau, Adam malah tidak sempat melakukan perdebatan itu karena sudah terlalu letih memberi nama semua binatang ciptaan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu.

Sore tadi, kebetulan saya membuka-buka kembali buku lama Mencari Bulir-bulir Gandum yang merupakan kumpulan tulisan padat-ringkas-bernas karya [almarhum] Romo Dick Hartoko, SJ. Dalam artikel nomor 4 yang diberinya judul Surat-menyurat sebagai Sarana Pewartaan, Romo Dick menuliskan:

Agustinus menguraikan pandangannya mengenai rahmat dan dosa lewat surat-surat kepada teman-teman di Roma. Dan ingat, banyak di antara mereka adalah wanita. Lalu Ignatius dari Loyola, pendiri Ordo Jesuit, lewat surat-suratnya kepada wanita-wanita, menguraikan ide-idenya tentang hidup rohani. Demikian juga Fransiskus dari Sales. (hal. 5)

Saya rasa, saya bisa mempercayai tulisan Romo Dick karena beliau adalah seorang yang sangat akrab dengan dunia literatur dan pernah mendalami bidang sejarah di Tilburg (1949 – 1952 ZB). Sehingga saya yakin beliau tidak asal menulis, apalagi yang berkenaan dengan tokoh-tokoh sebesar Agustinus dan Ignatius.

Dengan demikian, nyatalah bahwa para tokoh besar gereja —termasuk Agustinus yang menjadi topik dalam diskusi tersebut— kerap berkorespondensi dengan para perempuan dalam soal-soal yang tidak sederhana. Atau, dengan kata lain, di masa-masa lampau —bahkan di jaman Agustinus pada abad keempat—, tidak sedikit perempuan yang sanggup terlibat dalam soal-soal filsafat dan teologi yang kala itu —bahkan hingga kini pun!— kerap dianggap sebagai kawasan khusus yang didominasi oleh kaum lelaki.

Namun kesangsian besar di atas belum sepenuhnya terjawab tuntas. Malah menimbulkan pertanyaan baru: Apakah para tokoh pemikir gereja itu berkirim surat secara searah ataukah terjadi komunikasi timbal-balik di mana terjadi pertukaran wacana antara mereka? Dan mengapa kepada para perempuan?

Masih dalam bingkai the benefit of doubts, saya rasa para tokoh gereja itu bukannya sekedar iseng tatkala berkirim surat dan berdialog dengan para perempuan (yang kebanyakan dari mereka tetap tidak dikenal luas). Amatlah naif jika saya berpikir bahwa mereka melakukannya demi memuaskan libido berkotbah (monolog) yang hanya ditelan bulat-bulat dan tidak mungkin ditanggapi secara serius dan seimbang oleh para perempuan itu.

Sebaliknya, sangat boleh jadi mereka —entah sadar entah tidak— menempatkan para perempuan dalam posisi sebagai penolong yang sepadan sebagaimana dinyatakan dalam Kejadian 2:18, yang menyiratkan kemampuan perempuan untuk mengimbangi dan melengkapi keberadaan kaum lelaki, halmana intelektualitas tidak bisa dikecualikan. Apalagi dalam soal kepedulian dan kepekaan akan sifat-sifat dan perasaan yang sangat manusiawi, yang malah kerap luput dari perhatian kaum lelaki (yang kemudian digeneralisasi bahwa kaum lelaki lebih mengutamakan rasio sedangkan kaum perempuan lebih mengutamakan perasaan).

Dari bersilancar di internet, saya temukan banyak analisis yang sangat menarik mengenai makna kata Ibrani ezer k'negdo yang diterjemahkan sebagai penolong yang sepadan. Padahal, makna dari masing-masing kata tersebut tidaklah sesederhana itu.

Dalam bahasa aslinya, ezer yang diterjemahkan sebagai penolong (helper) tidak mengimplikasikan posisi inferior atau subordinasi (assistant, servant, second-rate attendant), melainkan setara atau malah lebih tinggi. Bahkan, dalam Alkitab Yahudi, kata itu hampir selalu secara eksklusif dikenakan untuk Allah (bdk. Keluaran 18:4, Mazmur 33:20, 70:6, 115:9, 121:1-2, 146:5, Hosea 13:9). Sedangkan k'negdo berasal dari kata neged yang berarti melawan, bertentangan (against, opposite).

Tentu saja penggandengan kedua kata tersebut menghasilkan makna yang ganjil, sehingga melahirkan banyak penafsiran, mulai dari yang moderat hingga yang sangat ekstrim (misalnya penafsiran bahwa perempuan adalah penolong yang berasal dari dan atas nama Allah sehingga lebih superior dibanding lelaki).

Namun demikian, ada benang merah yang pada intinya menegaskan bahwa perempuan adalah mitra setara lelaki yang bersifat melengkapi, menyempurnakan, menyelamatkan (to rescue, to save), atau menguatkan (to be strong) dalam harmoni. Sehingga akhirnya dapat mengerti mengapa Adam menyebut Hawa sebagai tulang dari tulangku dan daging dari dagingku, yang mengandung pengakuan atas ketidaksempurnaannya dalam kesendirian.

Lalu saya ingat pula perjalanan hidup Juan de Yepes (1540 – 1591 ZB) yang sangat boleh jadi tidak akan menampakkan kecemerlangan pemikiran spiritualnya kalau saja Teresa dari Avila tidak membujuk, membimbing, dan mendorongnya untuk menempa proses kreatif dan imajinatifnya melalui media musik, puisi, dan dongeng. Tanpa Teresa, barangkali Juan hanya akan tinggal sebagai seorang paderi Karmelit pemalu dan rendah diri (barangkali karena tubuhnya yang pendek) yang tidak dikenal, bukannya menjadi pujangga dan mistikus besar gereja yang menyandang nama Yohanes dari Salib.

Terngiang sebuah pepatah klasik yang menyatakan, "Di balik setiap lelaki yang sukses, terdapat seorang perempuan yang kuat". Saya rasa, ke dalam kategori itu termasuk juga perempuan yang harus menanggung deritanya seorang diri, yang dengan berat hati harus mematahkan belenggu yang bisa menghalangi langkah sang lelaki menggapai bintang kejayaannya. Bukan karena mereka kalah kelas dalam hal intelektualitas dibanding lelaki, melainkan karena mereka lebih tangguh dalam menyimpan rahasia, walau dengan luka dan airmata. Sedangkan hidup ini terlalu singkat untuk mengurainya. Vita brevis.

— Beth: Selasa, 27 September 2005 03:16

Jumat, September 16, 2005

Perempuan dari Taman Eden Itu Ibu

Eve Before Eden
Eve Before Eden
by David Haslewood

Dalam satu kesempatan perbincangan yang menyoal kisah Taman Eden dalam pasal 3 kitab Kejadian, seorang rekan mengatakan bahwa perempuanlah yang menjadi sebab jatuhnya manusia ke dalam dosa. Malah, menurutnya, hingga kini pun perempuan masih memegang peranan sebagai penggoda yang menggelincirkan kaum lelaki ke berbagai kesalahan. Mulai dari kebohongan-kebohongan kecil semisal kepalsuan sikap si lelaki guna menarik perhatian si perempuan, perselingkuhan, hingga ke dorongan untuk mengambil apa yang bukan haknya melalui tindak korupsi.

Nyaris hampir semua orang yang akrab dengan kisah Taman Eden memiliki pandangan serupa. Gara-gara perempuan yang kalah beradu argumentasi dengan ular, maka lelaki pertama bernama Adam itu pun terpengaruh untuk ikut makan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Padahal, Allah sudah memperingatkan Adam agar tidak memakan buah tersebut, yang pelanggarannya berisiko kematian.

Boleh dibilang, kisah Taman Eden menjadi [salah satu] alasan pembenar untuk memberi stigmata kepada perempuan bahwa mereka adalah mahluk yang rentan terhadap dosa, yang oleh karena itu harus menebus takdirnya dengan menjadi manusia kelas dua di bawah bimbingan (baca: dominasi) kaum lelaki.

Sebagai orang yang secara "tidak sengaja terperosok" ke dalam beberapa forum diskusi maya di internet yang diikuti oleh orang-orang yang memiliki pandangan kritis luarbiasa (sampai-sampai saya sendiri terkadang ngeri dan gamang), saya jadi tidak bisa untuk tidak menggemakan pertanyaan yang sangat mendasar: "Apakah melalui agama Tuhan melegitimasi subordinasi sebagian manusia (kaum perempuan) di bawah sebagian manusia lain (kaum lelaki)?"

Di pihak lain, kita cukup akrab dengan peribahasa klasik Indonesia yang menyatakan sorga ada di telapak kaki ibu.

Bagaimanakah penjelasan untuk mendamaikan kedua pendapat ini? Jika salah satu salah, mana yang benar? Atau malah kedua-duanya salah?

Ataukah kita punya dalih jalan tengah yang menyatakan bahwa makna kata perempuan berbeda dengan ibu, sehingga hanya perempuan yang telah menjadi ibu sajalah yang berhak memiliki sorga di telapak kakinya?

Tetapi, tentu saja hal ini akan bertentangan dengan pendapat rekan yang saya ceritakan di atas yang memberikan gambaran bahwa seorang istri/ibu tetap berpotensi sebagai sumber malapetaka yang mendorong suaminya korupsi. Lagipula, bukannya tidak pernah kita mendengar kisah tentang ibu yang justru tidak memberikan sorga melainkan neraka bagi anak-anaknya.

Makin ruwet saja jadinya. Maka, daripada melantur, saya coret alternatif ketiga itu dari solilokui ini.

Bagi para "pecinta agama" yang mengamini dan mengimani teks secara harafiah, barangkali pendapat yang kedua akan langsung diberangus dan dimasukkan ke keranjang sampah. Barangkali itu jugalah yang menjadi sebab mengapa dalam doa orang Yahudi (entah hingga sekarang apakah masih) ada kata-kata "Terimakasih, Tuhan, karena Engkau tidak menciptakanku sebagai perempuan".

Dan yang cukup menarik adalah adanya kemiripan tradisi berbagai kultur maupun subkultur di berbagai penjuru dunia yang memperlakukan perempuan sebagai mahluk yang "dibeli" ketika akan diperistri, halmana kebiasaan semacam ini sudah berlangsung jauh sebelum mereka mengenal kisah Taman Eden. (Daripada jadi melenceng ke pembahasan sosio-antropologi, saya lewati saja dulu topik ini. Mungkin lain waktu.)

Rabi Harold S. Kushner mencoba mengoreksi pemahaman berkedok agama yang mendiskreditkan perempuan sebagai asal-muasal dosa. Dalam buku How Good Do We Have To Be? (A New Understanding of Guilt and Forgiveness), dikatakannya bahwa kisah Taman Eden bukanlah peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa melainkan dimulainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh hidup. Bahkan secara mengejutkan dia nyatakan bahwa dengan dimakannya buah dari pohon pengetahuan itu, maka lahirlah hati nurani (pertimbangan moral) dalam diri manusia yang menjadikannya berbeda dengan hewan.

Diusirnya manusia dari Taman Eden bukanlah hukuman, melainkan belas kasih Allah dalam menghargai kehendak bebas, tanggung jawab, dan karya manusia untuk mengelola dunia. Buah pohon pengetahuan itu telah menempatkan manusia dalam dinamika kreatif yang tidak dimiliki dan dialami oleh hewan yang hanya mengandalkan naluri. Ada banyak pilihan dalam kehidupan yang dapat dibuat dan dijalani oleh manusia, yang menuntutnya menggunakan secara optimal otak (akalbudi), hati (nurani), otot (upaya), dan citarasa (jiwa). Sehingga, dengan demikian, segenap perjuangan manusia pun akan memiliki arti.

Kini saya bisa memahami makna agung dari kata Hawa, nama yang diberikan Adam kepada perempuan dari Taman Eden itu, yang berarti dia yang menjadi ibu semua yang hidup. Ibu Hawa telah memberikan kemanusiaan kepada kita dengan segala penderitaan dan kelimpahannya, lebih dari sekedar eksistensi sebagai salah satu spesies di muka bumi ini. Dialah asal-muasal kehidupan manusia, yang melaluinya manusia memiliki sejarah tentang Taman Eden, tempat di mana manusia dan Allah pernah tinggal bersama-sama. Yang untuk itu, dia dan seluruh keturunannya yang berjenis kelamin perempuan harus menanggung beban stigmata secara tidak adil dari dunia.

Seorang rekan di forum diskusi cyber-gki pernah menuliskan —kurang-lebih— bahwa merendahkan perempuan dengan membuat interpretasi sepihak [androgini, atau bahkan misogini] atas teks Alkitab sama artinya dengan menginjak kepala ibu kita. Jika dihadapkan pada alternatif semacam itu, dia memilih menginjak Alkitab ketimbang menginjak kepala ibunya.

Tercekat leher saya nyaris tidak bisa bernapas saat membaca tulisannya itu. Nanar mata saya membayangkan wajah ibu saya yang kini semakin tua. Dan samar-samar saya ingat seseorang yang suatu waktu di masa lalu pernah mengatakan bahwa "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat".

Saya rasa, kini saya tahu bahwa saya akan terbebas dari dilema antara menginjak kepala ibu saya ataukah menginjak Alkitab jika saya tidak lagi memandang perempuan sebagai manusia kelas dua yang menjadi sebab berdosanya manusia. Bahkan walau semua itu mengatasnamakan agama.

Dan oleh sebab itulah saya berhutang pencerahan pada rekan diskusi di ruang maya itu, Adji A.S., walau belum pernah jumpa secara fisikal. Kata-katanya selalu terngiang di benak saya saat membaca Alkitab, bahkan ketika tidak menyoal martabat perempuan. Terimakasih saya padamu, kawan.

— Beth: Jum'at, 16 September 2005 05:08