Senin, Juli 10, 2006

Saya dan Buku #1

— Mengapa Saya ke Pesta Buku

Old Books
Old Books
usedbookseller

Pesta buku yang kerap juga disebut pameran buku (padahal sejatinya acara tersebut bukanlah sekedar ajang memamerkan buku) adalah salah satu peristiwa yang selalu saya tunggu-tunggu. Ada beberapa alasan mendasar mengapa saya kerap seperti orang nyidam menantikan pesta buku dan sekaligus seperti orang kalap saat berbelanja buku di sana.

PERTAMA, pesta buku tidak jarang menjadi media bagi penerbit atau penyalur (agency) untuk menggelontorkan buku-buku yang terpendam di gudang mereka akibat kurang berhasil secara komersial (sehingga tetap saja menyandang predikat sebagai "cetakan pertama", yang justru menjadi favorit saya) atau yang tidak terserap lagi oleh masyarakat akibat sudah berulangkali dicetak.

Sehingga, wajarlah jika harga buku-buku di sana lebih murah daripada harga di toko buku pada hari biasa yang tanpa program khusus potongan harga. Paling sedikit, kita mendapat rabat 10% untuk buku-buku yang masih tergolong baru. Sedangkan untuk buku-buku yang usianya sudah lewat dari setahun, bisa mendapat potongan hingga 50% lebih. Malah ada yang dilepas dengan harga 10.000 bahkan 5.000 Rupiah saja, padahal kondisinya masih sangat baik seperti baru keluar dari pemanggangan, fresh from the oven.

Bukannya saya enggan membalas jasa para penulis, penerjemah, penyunting, pencetak, penerbit, ataupun penyalur buku yang telah berlelah-lelah turut mencerdaskan anak bangsa. Namun harga buku di Indonesia yang cukup gila-gilaan akibat tingginya harga kertas, bea impor, ongkos cetak, biaya perijinan, peredaran, honor (royalty), dan biaya-biaya lainnya, membuat saya kerap harus mempertimbangkan secara serius pengeluaran saya. Maklumlah, pendapatan saya sebagai pekerja bebas tidak jarang menjadi gamang dalam menopang syahwat saya yang kerap overdosis sebagai "pengumpul" buku.

KEDUA, sebagaimana layaknya pesta buku, ada banyak penerbit dan penyalur pada saat yang bersamaan di satu area. Tentu saja hal ini amat meringankan langkah saya sehingga tidak perlu berkelana dari satu toko buku ke toko buku lain untuk memburu buku tertentu. Dengan demikian, paling sedikit, saya bisa menghemat waktu, biaya bahan bakar, dan ongkos parkir :-).

KETIGA, tidak semua penerbit memiliki pos penjualan (toko buku) sendiri, sehingga buku-buku mereka terpaksa "dititipkan" pada jaringan toko buku yang sudah mapan. Jangankan penerbit-penerbit "rumahan" (yang entah mengapa banyak berasal dari Yogyakarta) yang mungkin hanya berumur sekali terbitan, bahkan penerbit yang sudah tergolong besar pun belum tentu memilikinya.

Dengan adanya pesta buku, saya memiliki kesempatan mengunjungi kedai-kedai (kios, stand) penerbit dan penyalur "marjinal" yang buku-bukunya belum tentu tersalurkan melalui toko buku yang kerap saya kunjungi. Padahal, tidak jarang terbitan mereka adalah buku bagus (atau yang menurut saya layak dikoleksi).

KEEMPAT, di pesta buku kerap saya temukan buku-buku yang sudah cukup lama tercantum dalam daftar pencarian di PDA saya namun tidak pernah saya sua atau luput saya temukan. Cukup sering saya merasa sangat beruntung bisa menemukan buku-buku yang seakan sengaja menanti untuk saya miliki. Bagai bertemu jodoh yang sudah lama diimpikan. Malah, tidak jarang juga saya peroleh buku yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Ibarat jatuh cinta pada pandangan pertama dan langsung dinikahkan di hadapan penghulu.

Yang saya maksud bukanlah buku-buku yang masuk kategori langka seperti edisi terbatas atau buku-buku kuno, melainkan buku-buku biasa yang pernah dianggap sebagai adikarya (masterpiece) ataupun layak baca menurut resensi yang pernah saya simak. Hanya saja, belum tentu buku-buku tersebut berterima baik di masyarakat sehingga masa edarnya sangat singkat (telanjur ditarik dari toko buku sebelum sempat saya temukan) ataupun tidak berjangkauan luas (tidak dijajakan di toko buku langganan saya).

* * *

Terlepas dari pertimbangan ekonomis, politis, bahkan filantropis (sic!), atau apapun, tentu saja "kemurahan hati" para penerbit maupun penyalur buku dalam soal banting harga serta efisiensi melalui pesta buku semacam ini sangatlah menggiurkan dan membahagiakan para "pengumpul" buku seperti saya.

Sengaja saya katakan "pengumpul" bukannya "pecinta", sebab agak ragu saya masukkan diri saya dalam kategori pecinta buku. Selain karena saat ini saya sedang malas membahas makna "cinta" itu sendiri, kerap kali dorongan membeli buku bukanlah datang dari dahaga saya untuk segera melahap isinya, melainkan karena naluri saya yang membisikkan perlunya mengoleksi buku tersebut dengan asumsi satu saat saya akan membutuhkannya. Dan nyatanya kerap kali saya tertolong saat memerlukan rujukan kredibel dalam berdiskusi ataupun menulis.

Demikianlah sebagian pertimbangan saya sehingga selama beberapa hari berturut-turut saya meluangkan waktu beberapa jam di Pesta Buku IKAPI Jakarta 2006 yang diselenggarakan sejak tanggal 1 sampai 9 Juli 2006 yang baru lalu di Gelora Bung Karno Senayan Jakarta.

Dan di sanalah saya temukan 2 "injil" yang akan akan saya tuturkan dalam tulisan selanjutnya.

— Beth: Senin, 10 Juli 2006 04:47

0 komentar: