Sabtu, Oktober 11, 2003

Karunia Keselamatan #2

— Antara Iman dan Perbuatan #2

When The Light Goes Out
When The Light Goes Out
amandavangils.com

1. Keselamatan

Manusia memang sudah kehilangan kemuliaan yang dikaruniakan Allah pada saat manusia pertama diciptakan. Tetapi tidak berarti bahwa manusia kehilangan harganya di mata Allah. Justru manusia —bahkan dunia— demikian berharga dan dikasihi-Nya, hingga Dia memandang perlu untuk menyelamatkannya (bdk. Yohanes 3:16). Allah ingin semua manusia selamat dan memperoleh kemuliaannya kembali karena manusia adalah citra Allah sendiri.

Hampir tidak ada orang —khususnya yang beragama samawi— yang berkeberatan bahwa keselamatan adalah pemberian (anugerah, karunia) Allah yang merupakan hak prerogatif Allah yang kita tidak tahu bagaimana penetapannya. Dengan demikian, Allah sajalah yang tahu siapa yang akhirnya akan memperoleh keselamatan.

2. Iman

Tetapi, saya rasa, pernyataan bahwa iman adalah anugerah Allah bukanlah persoalan yang sederhana. Siapakah yang akan dianugerahi iman oleh Allah? Apakah semua orang bisa mendapatkannya ataukah hanya orang-orang tertentu yang sudah dipilih oleh Allah sebagaimana dipercayai oleh para penganut paham predestinasi? Bagaimana pulakah kriterianya?

Dan manakah yang lebih dahulu terjadi: memiliki iman [atas anugerah Allah] ataukah mempercayai Yesus (menjadi Kristen)?

  1. Jika iman lebih dahulu, sementara dikatakan bahwa iman sudah cukup untuk keselamatan, masih perlukah seseorang menjadi [beragama] Kristen?

  2. Jika percaya kepada Yesus lebih dahulu daripada iman, maka sudah jelas bahwa di situ manusialah yang berperan. Dengan kata lain, anugerah Allah akan tercurah setelah manusia bertindak.

Menurut pendapat saya, iman adalah respons/tanggapan manusia pada panggilan Allah dalam rangka penyelamatan itu. Bukan iman an-sich yang dianugerahkan Allah, melainkan uluran kasih tangan Allah. Dan ini berlaku bagi semua orang dalam berbagai cara (yang diistilahkan dengan cara misterius Allah).

Paulus mengatakan bahwa iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (bdk. Roma 10:17), yang nota bene menyiratkan adanya tanggapan manusia pada panggilan Allah. Ada peran manusia di sana. (Soal penafsiran apakah "pendengaran oleh firman Kristus" sama artinya dengan "menjadi [beragama] Kristen" bisa kita bahas lain waktu.)

Alkitab mengisahkan bahwa Yesus beberapa kali mengatakan "imanmu menyelamatkan" kepada orang-orang yang bukan pengikutnya. Bahkan Yesus mengatakan bahwa Dia tidak pernah menjumpai iman pada seorang pun di antara orang Israel yang sebesar iman seorang perwira Romawi yang meminta kesembuhan bagi hambanya yang lumpuh (bdk. Matius 8:5-13).

Bagaimana kita memahami semua itu?

Mari kita lihat beberapa fakta yang diberikan oleh Alkitab (yang tentu saja dengan bantuan beberapa literatur lain guna memahami konteks saat itu):

  1. Orang Romawi adalah penjajah yang menguasai wilayah Yahudi/Palestina dimana Yesus hidup. Secara sosial-politik, mereka memiliki status lebih tinggi daripada orang Yahudi.

  2. Orang Romawi adalah penganut ajaran paganisme yang menyembah dewa-dewa (politeisme) ataupun menyembah kaisar sebagai Allah. Sangatlah kecil kemungkinannya —jika tidak dapat dikatakan mustahil— orang Romawi pada saat itu memeluk agama Yahudi, apalagi menjadi pengikut Yesus yang pada saat itu belum disebut Kristen.

  3. Sebagai aparat kekuasaan Romawi, perwira tersebut bisa saja memerintahkan Yesus datang ke tempatnya. Untuk itu, dia cukup memerintahkan prajuritnya. Tetapi, pada kenyataannya, perwira itu sendirilah yang menemui Yesus.

  4. Status hamba dalam kondisi sosial saat itu sama dengan budak yang dapat dibeli dan dimiliki secara total oleh majikannya. Seorang hamba bahkan bisa saja dibunuh tanpa ada risiko hukuman apa-apa. Kematian seorang hamba tidak memiliki arti apa-apa.

Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat kita lihat bagaimana Yesus —dalam pandangan saya— memandang persoalan.

iman yang besar adalah yang ditunjukkan dengan perbuatan yang bersedia berkorban atau merendahkan diri demi kebaikan dan keselamatan orang lain, terutama orang-orang marjinal (dianggap hina, terbuang, teralienasi)

Dan dalam hal ini, Yesus tidak pernah menanyai siapa pun apa agama yang dianutnya maupun mensyaratkan mereka menjadi pengikut-Nya.

3. Perbuatan

Berkenaan dengan diskusi yang membahas iman dan perbuatan semacam ini, berulangkali saya kemukakan pemahaman saya bahwa iman [secara spiritual] saja tidak akan menyelamatkan. Iman saja tidak cukup. Tentu saja pandangan saya ini sangat bertentangan dengan prinsip sola fide yang dipahami oleh sebagian orang Kristen.

Dalam Alkitab tercantum tulisan berikut ini:

Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?
— Yakobus 2:14

Berulangkali Yesus mengatakan bahwa yang akan memperoleh keselamatan adalah orang-orang yang melakukan kehendak Bapa.

Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
— Matius 7:21

Apakah bentuk nyata melaksanakan kehendak Bapa itu?

Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.
— 1 Petrus 2:15

Jadi sangatlah jelas bahwa Alkitab sendiri yang mengatakan bahwa keselamatan (masuk ke dalam Kerajaan Sorga) bukan datang dari iman spiritual yang hanya menyebut-nyebut nama Tuhan [Yesus] melainkan dari perbuatan melakukan kehendak Bapa yang oleh Petrus dinyatakan dengan berbuat baik.

Yesus pula yang mengatakan bahwa perbuatan kita terhadap sesama yang menderita adalah bukti nyata kasih kita terhadap Allah (bdk. Matius 25:31-46).

Dan dengan merujuk pada perkataan Yesus tentang Hukum Kasih (bdk. Matius 22:37-40), dimana hukum kedua (mengasihi sesama manusia) adalah sama dengan hukum yang pertama (mengasihi Allah), maka pernyataan-pernyataan Yesus di atas menjadi sangat jelas bahwa perbuatan kita kepada sesama manusia adalah pernyataan langsung dari iman kita (kasih kepada Allah). Mengasihi sesama manusia sama arti dan nilainya dengan mengasihi Allah.

Dari situ dapatlah dikatakan bahwa semua orang, terlepas dari apapun agamanya, sudah mengikuti perintah Yesus ketika mereka melaksanakan hukum kedua dari Hukum Kasih itu. Secara anonim, mereka semua sudah menjadi pengikut ajaran Yesus alias menjadi Kristen. Mereka sudah bersifat kristiani.

4. Memahami Alkitab

Benarkah pemahaman yang saya ajukan di atas? Demikiankah yang dimaksudkan oleh para penulis Alkitab?

Belum tentu!

Membaca Alkitab memang mudah. Tetapi memahami apa yang hendak disampaikan oleh Alkitab bukanlah persoalan gampang. Apalagi untuk menarik kesimpulan kebenaran atas pembacaan kita tersebut.

Bukannya satu-dua kali saya berhadapan dengan orang yang mengajukan kata-kata pamungkas "Roh Kudus yang membimbing saya" saat kami berbeda pendapat mengenai suatu makna dalam Alkitab. Jika sudah demikian, saya pikir hanya akan sia-sia saja jika saya lanjutkan diskusi dengannya. Arogansi semacam itulah yang membuat agama Kristen terpecah-belah menjadi puluhan ribu denominasi. Semua beranggapan bahwa pandangannyalah yang paling benar dalam nama Roh Kudus.

Itu sebabnya diperlukan eksegese yang bukan "sekedar" mengandalkan penerangan Roh Kudus yang —menurut saya— malah bisa menjerumuskan ke dalam mistisisme fatalistis. Bukannya maksud saya menafikan peran Roh Kudus, melainkan perlunya kita bersikap jujur dan terbuka disamping pemahaman terhadap metodologi eksegese.

Hingga saat ini, metode eksegese terus berkembang, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan dinamika dan budaya manusia. Dengan demikian, eksegese dapat dilangsungkan dengan lebih komprehensif sehingga kita bisa melihat benang merah yang menjembatani semua bagiannya, sekaligus menghubungkan konteks masa lalu (saat Alkitab ditulis) dengan konteks masa kini. Dari situlah kita bisa menemukan hakikat yang disampaikan, bukan sekedar makna literalnya saja.

Adalah sebuah kesombongan untuk menganggap kemampuan kita memahami Alkitab sudah benar dan sangat mencukupi sehingga tidak mau mendengarkan pendapat orang lain yang memiliki kompetensi dan dedikasi di bidang itu, apalagi jika pemahaman tersebut berbeda dengan kita.

Walau [hingga kini] tidak ada manusia yang bisa mengklaim bahwa pemahamannya adalah yang paling benar, kita perlu menghargai upaya para pakar yang sudah mendedikasikan hidup, pengetahuan, dan kebijaksanaannya dalam memberikan wawasan tentang Alkitab. Kecuali jika diberi anugerah khusus oleh Allah, kita —selaku kaum awam— tidak memiliki kompetensi sebaik mereka, sehingga menjadi "salib" kitalah untuk menerima buah karya mereka.

Oleh sebab itu, kita tidak bisa menafikan adanya pendapat-pendapat lain yang memberi tafsir berbeda dengan pemahaman kita dengan dalih bahwa semua itu adalah "teori manusia". Pada kenyataannya, semua hal yang dihasilkan dari teologi (termasuk di dalamnya hermeneutika) adalah hasil akal-budi manusia dalam memahami pesan Alkitab. Bahkan, kita sangat memerlukan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita guna menguji apa yang sudah kita miliki.

Tentu saja tidak semua pemahaman itu harus diterima sehingga malah membingungkan kita. Alkitab mengajarkan kita untuk menguji segala sesuatu, termasuk menguji semua roh, sehingga kita tidak dengan gampang mengklaim bahwa semua itu berasal dari Roh Kudus.

sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.
— 1 Korintus 3:13

Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.
— 1 Tesalonika 5:21

Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu—yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api—sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
— 1 Petrus 1:7

Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia.
— 1 Yohanes 4:1

Kadang kita tidak bisa membedakan eksegese dengan eisegese yang hanya bermaksud membenarkan apa yang sudah dipercayainya saja. Cara penafsiran semacam itulah yang akan melahirkan fundamentalisme.

— Sabtu, 11 Oktober 2003 06:46
[revisi: Kamis, 29 Desember 2005 01:57]

From: Parlindungan
To: hkbp@yahoogroups.com
Sent: Friday, 10 October 2003 06:13
Subject: Re: Lagi... Soal keselamatan (was: Re: [hkbp] Re: [debat-alkitab] Kesaksian : DR.SUN YAT SEN)

Iman dan keselamatan adalah pemberian Allah. Lae dan saya sudah tidak berharga di mata Tuhan dan sudah kehilangan kemuliaan Allah(baca Roma 3 : 23). Sehingga untuk BERUSAHA sampai kepada Tuhan merupakan hal yang mustahil, ada jurang pemisah antara kita dengan Allah, bahkan perbuatan baikpun tidak. Iman yang kita miliki juga bukan karena usaha atau potensi kita melainkan anugerah Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menumbuhkan dan menggerakkan iman seseorang untuk melihat dan menerima anugerah keselamatan tersebut. Ayat yang saya maksud dalam posting saya terdahulu, tanpa dieksposisi lebih jauh juga sudah sangat jelas. Tapi okelah saya akan coba meng-eksegesenya dalam posting tersendiri.

Ayat-ayat dalam Alkitab tidak berkontradiksi, pemahaman kita yang kurang dan sepotong-potonglah yang membuat kita melihatnya seolah-olah berlawanan. Apalah dengan mencampuradukan pendapat-pendapat luar (teori manusia) untuk memaksakan penafsiran ayat yang ada.

salam,
Parlin

0 komentar: