Minggu, Agustus 10, 2008

Moksa*

Tulisan ketiga yang menjadi peserta perlombaan yang dibatalkan itu :-((

Wheels of Light
Wheels of Light
Francene Hart

Jarum jam nyaris menunjuk angka 5 sore ketika SMS Bonang, adikku, menggetarkan ponselku. Isinya yang amat singkat membuat sakit kepalaku kian bertambah. "Pak Tua meninggal jam 16.51. Keluarga menantikan kedatangan Abang."

Bagaimana kepalaku tidak tambah sakit? Urusan kantor sedang gawat-gawatnya dikejar tenggat waktu penyelesaian tahap ketiga projek di salah satu instansi pemerintah. Di tengah membaranya semangat tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengejar berbagai hal yang ditengarai mengandung unsur tindak pidana korupsi, tentu saja kami tidak bisa berleha-leha.

Celakanya, semua orang berpaling sekaligus melemparkan tanggung jawab kepadaku yang mengemban jabatan sebagai pimpinan projek. Sakit kepalaku memikirkan cara membukukan berbagai transaksi keuangan tak tercatat yang berlangsung antara kantor kami dengan para pejabat instansi tersebut. Tim konsultan keuangan yang kami sewa untuk bekerja secara maraton pun masih belum berhasil menutup tuntas celah yang pasti akan sangat menarik perhatian para petugas KPK.

Tapi urusan keluarga, apalagi yang berkenaan dengan kematian, tentu saja tidak bisa ditunda. Kehadiranku sangat diperlukan. Setelah bapak meninggal, menjadi kewajibanku selaku anak lelaki tertua untuk mewakili keluarga dalam berbagai acara yang memerlukan kehadiran kepala keluarga. Terlebih-lebih yang memerlukan keputusan final sebagai sikap bersama seluruh anggota keluarga. Dengan meninggalnya Pak Tua, tanggung jawab sebagai kepala dari dua keluarga, yang sebelumnya diemban oleh Pak Tua, otomatis beralih padaku. Dan aku harus mengawali peran tersebut sepenuhnya saat ini.

Kuputuskan pulang ke kampung guna menuntaskan musyawarah keluarga sesegera mungkin agar bisa segera kembali membereskan urusan kantor yang sudah sangat mendesak. Menurut sumber yang dapat dipercaya, KPK sudah memasukkan projek kami ke dalam daftar pemeriksaannya.

Kupanggil sekretarisku. "Della, saya harus ke luar kota. Paling lama 3 hari. Pak Surya akan menggantikan saya memimpin projek. Tolong kamu atur supaya semuanya lancar. Saya kontak beliau nanti dari jalan. Beritahu Darmo agar menyiapkan mobil. Saya berangkat 15 menit lagi."

Setelah Della keluar, bergegas kumasukkan laptop dan berkas-berkas projek ke dalam tas. Siapa tahu beberapa jam perjalanan pulang ke kampung bisa kumanfaatkan untuk mencicil pekerjaan.

Ternyata, pikiranku tidak bisa kukonsentrasikan ke pekerjaan. Kenangan tentang Pak Tua terus mengusik. Beliau adalah abang dan satu-satunya saudara bapak. Sudah beberapa tahun beliau sakit dan bolak-balik masuk rumahsakit. Kondisinya amat memprihatinkan. Hanya tergolek lemah di tempat tidur.

Keluwesan Pak Tua yang bertolakbelakang dengan sifat pendiam bapak membuatku dekat dengannya. Banyak hal yang lebih suka kubicarakan dengan Pak Tua tinimbang pada bapak, termasuk kegalauanku sekian tahun silam perihal kelanjutan hubunganku dengan Maharani akibat perbedaan agama. Malah Pak Tualah yang mengambil inisiatif diskusi.

"Percuma saja bapakmu menyekolahkanmu tinggi-tinggi kalau kamu tidak bisa membereskan persoalanmu sendiri," ledek Pak Tua.

"Bagaimana sih Pak Tua ini? Apa hubungan ijasah teknik dengan urusan percintaan?" aku mengomel. Kebiasaan ceplas-ceplos Pak Tua justru membuatku bebas berterus-terang.

"Bukan ijasahnya yang penting, tapi akal sehatnya."

Aku hanya bisa membuang napas.

"Kamu khawatir penghormatan orang pada bapakmu akan surut jika kamu menikah dengan perempuan beragama lain?" tanya Pak Tua.

Aku mengiyakan dengan muram. Bapak memang jarang bicara, tetapi pertimbangan-pertimbangan beliau selalu dinantikan di lingkungan gereja. Beliau dipandang sebagai sesepuh dan panutan. Walau keluarga kami termasuk moderat dalam soal agama, keenggananku mengusik citra bapak yang telanjur dibangun oleh orang lain itu membenturkanku ke tembok.

Di sisi lain, status Rani selaku anak seorang pemuka agama Islam menggiring kami ke tepi jurang tak terseberangi. Jangankan bersedia memaklumi pergantian agama anggota keluarga, bahkan untuk menerima kehadiran seorang non-Islam ke dalam keluarga mereka pun hanyalah sebuah angan-angan mustahil. Rani sendiri yang mengatakannya.

Aku dan Rani sudah berkali-kali memikirkan dan mengupayakan berbagai cara agar kedua keluarga bisa menerima kenyataan kebersamaan kami. Namun semua selalu berakhir mentah. Keluarga Rani kurang berkenan atas kehadiranku sebagai calon anggota keluarga mereka. Hanya Haekal, adik bungsu Rani, yang tampaknya tidak berkeberatan malah cukup akrab denganku.

Pak Tua memotong lamunanku, "Bapakmu bukannya tidak tahu ataupun tidak peduli, tapi dia mengalami kesulitan menemukan jalan masuk untuk membicarakannya denganmu. Kamu tahu sendiri bagaimana pendiamnya bapakmu. Tapi Pak Tua yang paling kenal sifatnya. Dia bukan orang egois yang lebih mementingkan reputasinya dibanding kebahagiaan anak-anaknya. Dia akan mendukung apa pun keputusanmu asalkan kamu sanggup menghadapi semua risikonya. Reputasi pribadinya adalah urusannya sendiri, bukan beban bagi anak-anaknya."

"Bapak memang tidak pernah menuntut kami melakukan apa yang baik baginya, hanya mengingatkan kami menjaga nama baik kami sendiri," sahutku membenarkan.

"Apakah hubunganmu dengan Rani baik untukmu maupun nama baikmu?", kutahu Pak Tua meminta konfirmasi sebab beliau sudah cukup mengenal Rani.

Tegas kuanggukkan kepala tanpa ragu. Rani memang bukan perempuan tercantik dan bukan pula yang terpandai dari semua perempuan yang pernah menjalin hubungan denganku. Tidak jelek, tidak pula bodoh. Tapi dialah satu-satunya perempuan yang arif memahami kapan harus diam serta kapan harus membuatku diam saat menyikapi ketidakmampuanku mengendalikan diri. Bersamanya aku merasa aman dan nyaman. Dan aku percaya bahwa Rani pun merasakan hal yang sama denganku. Setidaknya, hubungan kami yang cukup intens selama lima tahun bisa dijadikan tolok ukur.

"Kamu pasti lebih suka jika Rani yang pindah agama," tebak Pak Tua mengusik gundahku.

"Maunya sih begitu, Pak Tua."

"Huh, enak saja! Ke gereja saja kamu malas, bagaimana bisa membuatnya tertarik?" ejeknya sambil terkekeh-kekeh.

"Bukan ke gerejanya yang penting, Pak Tua, tapi implementasi ajarannya," aku membela diri setengah malu.

"Walah! Apa yang mau diimplementasikan kalau tidak pernah dipelajari, Gus? Beribadah itu ibarat pergi sekolah. Bukan sekedar untuk temukan jawaban praktis atas persoalan yang sedang dihadapi, tapi latihan membuka diri pada pencerahan dan segala kemungkinan agar bisa merenungkan peluang ke masa depan. Segala sesuatu perlu dipahami teori dan logikanya sesuai kaidahnya masing-masing. Belajar maupun ibadah pasti sangat membosankan kalau harapanmu hanya sedangkal itu, Anak Muda!"

"Kalau begitu, biar aku saja yang ikut agama Rani," cetusku seenaknya.

"Pikiran bagus itu. Pak Tua lihat dia taat menjalankan ibadahnya. Pak Tua senang sekali kalau kamu sanggup melakukannya sepenuh hati dengan sukacita," tantang Pak Tua.

Aku mati kutu. Jangankan sembahyang lima kali sehari, berdoa dua kali sehari pun aku masih belum bisa berdisiplin.

"Bagaimana dengan Pak Tua sendiri?" tanyaku mencoba menemukan rahasia hubungannya dengan Mak Tua yang tetap mempertahankan keyakinannya.

"Ah, kamu ini ... Jangan mencari-cari pembenaran."

"Bukan pembenaran, tapi pelajaran. Pasti ada yang bisa kami jadikan pertimbangan sebagai pencerahan ke masa depan," godaku membalikkan kata-katanya sendiri.

Pak Tua tertawa. "Sebenarnya bukan begitu rencana kami semula. Malahan bisa dibilang akibat kenaifan masa muda. Namanya saja kebelet kawin, mana sempat terpikir hal-hal semacam itu?"

Pak Tua lalu bercerita bahwa perkawinannya dahulu dengan Mak Tua dilakukan menurut 2 tatacara agama, Katolik dan Islam, akibat desakan dari keluarga masing-masing. Boleh dikatakan, hal semacam itu sangat lumrah terjadi pada masa lalu. Demi sahnya perkawinan secara Islam, Pak Tua yang saat itu masih sangat muda tidak memikirkan konsekuensi pengucapan 2 kalimat syahadat, yakni ikrar masuk ke agama Islam.

"Tapi hubungan Pak Tua dengan Mak Tua kelihatannya baik-baik saja. Malah sangat harmonis, melebihi banyak keluarga lain yang tidak punya masalah perbedaan agama," pancingku.

"Itu sih bukan soal sama atau beda agama, Gus, tapi niat dan konsistensi melakoni niat. Kalau sama-sama berniat baik, apa pun bisa dirundingkan dan dicarikan jalan keluarnya. Tanpa niat baik, apa pun akan mandek dan berantakan."

"Apa tidak repot menjalani kehidupan dengan dua keyakinan berbeda, Pak Tua?"

"Jelas repot. Tapi apa sih yang tidak merepotkan dalam perjalanan hidup? Di situlah letak seni berkehidupan. Kamu tahu, Gus, jauh lebih mudah menyamakan agama dibanding menerima perbedaan apa adanya secara utuh tanpa memperlakukan lebih tinggi ataupun lebih rendah satu sama lain. Tidak sedikit orang bertukar agama hanya demi kesamaan ritual, bukan keselarasan spiritual. Padahal, dalam keselarasan itu, tak sesuatu pun perlu dicari dan digugat lagi," sahut Pak Tua berfilsafat.

Sebagaimana biasa, aku memonyongkan mulut sambil manggut-manggut jika Pak Tua sudah mulai melontarkan serentetan filosofinya. Namun tak pernah aku sebal. Semenjak aku duduk di bangku SMA, beliau selalu memperlakukanku sebagai lawan bicara yang setara sehingga terbuka untuk dipertanyakan bahkan ditentang. Barangkali aku diuntungkan oleh keadaannya yang tidak dikaruniai anak lelaki.

Perbincangan panjang-lebar dengan Pak Tua perihal perbedaan agama dalam sebuah keluarga menguatkan pertimbangan yang sudah pernah terpikirkan olehku dan Rani, yakni menjalani kebersamaan perkawinan tanpa meninggalkan agama masing-masing. Kami berdua bersepakat tidak akan memaksa satu sama lain berpindah agama, malah mengupayakan agar keyakinan pihak lain tetap hidup dalam kebersamaan tersebut.

Pak Tua senang mendengar keputusan kami. Dia berjanji akan menyampaikannya pada bapak dan ibu, serta meyakinkan mereka bahwa itulah yang terbaik bagi semua. Dan, beberapa hari kemudian, bapak dan ibu mengajak kami berdua bicara. Mereka ingin mendengar langsung semuanya dari kami sendiri. Tanpa banyak kesulitan, mereka menerima penjelasan kami.

"Kapan rencananya kalian menikah?" tanya bapak kemudian.

"Paling cepat enam bulan lagi," jawabku sambil menoleh pada Rani. Rani mengangguk. Kami memang sudah cukup lama dan sering membicarakannya guna menghitung berbagai kemungkinan. Meski baru satu tahun bekerja, kurasa peluangku untuk maju cukup terbuka. Tiga bulan lagi pun Rani akan diwisuda sebagai dokter gigi. Kami yakin masa depan kami tidak terlalu mencemaskan walau harus mengawali semua dengan kesahajaan.

Bapak menganggukkan kepala tanda mengerti tanpa harus banyak bicara. Ibu langsung memeluk Rani dengan gembira dan memanggilnya "putriku". Tetapi aku sama sekali tidak yakin hal yang sama akan mudah berterima pada keluarga Rani. Rani pun membenarkan kekhawatiranku.

"Menjadi tanggung jawab sekaligus kehormatan bagi Bapak sebagai kepala keluarga untuk menyampaikan niat dan keputusan kalian pada orangtua dan keluarga Rani. Sabtu sore yang akan datang kita berangkat bersama menemui orangtua Rani," putus bapak singkat.

Tak kuduga akan secepat itu prosesnya. Tiga hari lagi.

"Kapan kamu akan menyampaikan rencana ini pada orangtuamu?" tanyaku pada Rani ketika mengantarkannya pulang.

"Malam ini juga. Entah bagaimana reaksi mereka nanti," desah Rani.

"Yang penting mereka bersedia bertemu orangtuaku Sabtu nanti. Apa pun hasilnya, bagaimana nanti sajalah. Kita kan sudah pernah mengira-ngira."

Kami bahkan sudah sampai ke kemungkinan terburuk bahwa keluarga Rani tidak setuju. Restu orangtua memang penting, kata Pak Tua, namun yang lebih mendasar bagi kelanggengan kebahagiaan sepasang manusia adalah komitmen kebersatuan mereka sendiri dalam berbagai hal. Dalam hal ini, kejujuran adalah modal utamanya. Aku dan Rani yakin bahwa hingga saat itu kami masih berdiri di atas kejujuran.

Ternyata petaka sungguh terjadi. Keluarga Rani tidak berkenan menerima lamaran kami. Dengan santun ayah Rani mengemukakan berbagai hal yang menjadi penghalang, baik yang berkenaan dengan aturan agama maupun yang menyangkut tanggung jawab reputasi mereka di lingkup sosial.

"Kami tidak bisa memberikan ijin, tapi juga tidak bisa menghalangi langkah Rani ke masa depan yang dipilihnya," ayah Rani menggarisbawahi sikap keluarganya. "Yang terburuk adalah putusnya hubungan keluarga."

Walau kemungkinan tersebut sudah pernah kami skenariokan, tetap saja Rani amat terpukul. Ibunya hanya bisa menangis tanpa bersuara.

Enam bulan kemudian kami menikah tanpa kehadiran dan restu kedua orangtuanya. Hanya Haekal yang datang menyampaikan salam dari ibu Rani.

* * *

SMS Bonang membuyarkan semua bayang kenangan masa lalu. Isinya lebih panjang sedikit, "Kapan sampai? Keluarga Mak Tua ingin penguburan dilakukan secara Islam besok pagi. Sedangkan kami dan gereja sudah menjadwalkan penguburan pukul 2 siang besok."

Kepalaku berdenyut tambah sakit. Hampir jam 8 malam. Masih 3 jam perjalanan untuk mencapai kampung.

Meski tidak pernah menjadi tokoh di lingkungan gereja seperti bapak, Pak Tua masih sering ke gereja sebelum kondisi fisiknya merosot drastis digerogoti kanker hati. Seingatku, Pak Tua tak pernah shalat. Tapi beliau tidak pernah alpa mengawani Mak Tua berpuasa sebulan penuh tiap tahun. Aku yang saat itu masih kanak-kanak tidak pernah mempedulikannya selama bisa datang ke rumahnya setiap Lebaran untuk menyantap ketupat dan opor ayam serta berbagai penganan lain. Juga tidak pernah merasa perlu mempertanyakan ketidakhadiran Mak Tua di gereja selama masih mendapat bingkisan yang diletakkan di bawah pohon Natal di rumah mereka.

Aku pun tak pernah tahu apa yang dilakukan Pak Tua ketika satu saat dia pergi bersama Mak Tua yang berangkat menunaikan ibadah haji. Kalaupun kutanyakan, Pak Tua hanya tertawa tanpa menjawab. Soal itu tetap menjadi misteri bagi kami. Dan banyak pula orang yang salah sangka. Oleh sebab itu, meski selama sisa hidupnya tak pernah kulihat Pak Tua melakoni ibadah secara Islam, bisa kumengerti jika pihak keluarga Mak Tua masih menganggapnya beragama Islam sehingga berniat melakukan penguburan secara Islam. Di pihak lain, keluarga kami tentunya ingin penguburan Pak Tua dilayankan secara Katolik.

Aku bisa mengerti niat baik keduabelah pihak memberikan pelayanan terakhir keagamaan bagi seorang manusia yang sudah meninggal. Hanya saja aku tidak mengerti, apa yang akan dimenangkan dari pertarungan memperebutkan seonggok bangkai? Akan berkurangkah kenangan baik mengenai orang itu jika dikuburkan secara agama A? Atau akan berlipatkah kemuliaannya di hadapan Tuhan seandainya dikuburkan menurut tatacara agama B?

Aku memang bukan seorang religius yang mendalami makna berbagai upacara agama. Tapi aku cukup yakin bahwa kesejatian spiritualitas seseorang selaku manusia sekaligus mahluk ciptaan Tuhan tidak akan berubah akibat perbedaan cara pengucapan doa dan upacara.

Boleh jadi aku akan dianggap permisif bahkan indiferentis jika kusetujui niat baik pihak keluarga Mak Tua. Sebaliknya, sangat mungkin aku dicap totaliter bahkan radikal jika kuambil putusan yang berpihak pada keinginan keluarga kami. Sakit kepalaku dibuatnya. Betapa susahnya menyenangkan semua pihak yang keinginannya tidak bisa dipertemukan.

* * *

Darmo membangunkanku. Rupanya aku jatuh tertidur selama sisa perjalanan. Sudah hampir tengah malam. Betapa terperanjatnya aku menyaksikan kegaduhan di rumah. Orang-orang hilir-mudik di sekitar rumah sambil menyorotkan senter. Malahan ada yang kesana-kemari di ladang belakang rumah dengan membawa obor. Tak seorang pun sempat memperhatikan dan menyambut kedatanganku.

Saat melangkahi ambang pintu memasuki ruang tengah, Bonang melihatku. Serta-merta dia beranjak menghampiriku meninggalkan kumpulan orang yang tampaknya sedang berunding sambil berdiri dalam posisi melingkar. Dia mencium tanganku sambil mengucapkan salam, "Selamat datang, Bang."

Orang-orang yang tadi melingkar pun kini mengerumuniku. Mereka menyalamiku tanpa mengucapkan satu kata pun. Wajah mereka memancarkan keanehan sekaligus ketegangan.

"Ada apa, Nang?" tanyaku.

"Pak Tua menghilang", jawab Bonang pendek.

"Menghilang? Apa maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.

Bonang menuntunku masuk ke kamar bekas ruang kerja bapak. Orang-orang yang tadi mengerumuniku berbondong-bondong mengekor di belakang. Rupanya di kamar itulah jenasah Pak Tua disemayamkan. Bonang menarikku mendekati peti mati. Kosong! Di dasar peti tergeletak kain kasa bersulam.

"Satu jam yang lalu jenasah Pak Tua masih ada, Bang. Aku sendiri melihatnya waktu mengganti lilin," kata Bonang sambil menunjuk sebatang lilin menyala di meja kecil di bagian kepala peti.

Kucermati seantero kamar itu. Satu-satunya pintu, yang baru saja kulewati, menghubungkan kamar dengan ruang tengah tempat berkumpulnya semua orang. Jendela yang menghadap ke samping rumah dipagari terali kuningan tebal. Tidak ada yang bengkok. Seluruh sekrupnya dalam kondisi baik, menancap kokoh dan dalam ke kusen jendela yang terbuat dari jati. Semua kaca nako masih terpasang rapi. Jangankan lubang, retakan pun tidak ada pada eternit langit-langit kamar. Sama sekali tak ada kemungkinan meloloskan jenasah dari ruangan itu lewat jalan mana pun. Lalu, ke mana perginya jenasah Pak Tua? Siapa yang mengambilnya? Kapan? Bagaimana cara melewati semua orang tanpa terlihat?

Kebingungan melandaku.

"Apa yang harus kukatakan pada semua orang mengenai hilangmu saat kujalani peranku kini sebagai kepala keluarga, Pak Tua?!" teriakku dalam hati. Denyut di kepalaku kian menyakitkan. Betapa kurindu belaian lembut Rani yang menenangkan.

Kurasakan tubuhku melayang. Orang-orang gaduh berteriak. Lamat-lamat mengiang suara Pak Tua menembus gelap yang sekonyong-konyong menyergapku, "... dalam keselarasan itu, tak sesuatu pun perlu dicari dan digugat lagi."

— Bandung-Jakarta: Minggu, 10 Agustus 2008 22:30

[*] moksa = sirnanya fisik dari pandang kasat mata.

2 komentar:

the beautiful sarimatondang mengatakan...

horas om alof. makin mantap solilokui fajar ini dan aku lihat makin sering di-update. sumpah, baru dua bulan terakhir aku temui blog ini.

'moksa' benar-benar mengejutkan di akhirnya. (sembari berharap-harap, apakah mungkin ada 'hari ketiga' di sini, seperti di golgota tempo hari...) mhn izin aku nge-link solilokui fajar ke the beautiful sarimatondang ya.... kalau di simalungun bloggers club sih, udah dari dulu ada link-nya...
tabik,
eben ezer siadari

~alof mengatakan...

Horas juga, Eben.

Beberapa hari terakhir ini saya memang secara khusus meluangkan waktu untuk membenahi blog ini serta menulis beberapa artikel. Repotnya, terdapat perbedaan perilaku antara MS Internet Explorer dengan FireFox maupun Safari dalam memahami perintah JavaScript. Akibatnya, saya mengalami sedikit kerepotan dalam membuat 'trapping' bagi masing-masing browser tersebut. Apalagi blog saya ini tidak mengikuti pakem yang ditetapkan oleh www.blogger.com

Tidak perlu sumpah-sumpahan segala, ah :-)). Saya sendiri malah tidak pernah memublikasikan alamat blog ini kok. Hanya sedikit orang yang tahu. Itu pun bukan saya yang mengumumkannya. Maka, sungguh luarbiasa anda bisa menemukan blog ini :-)

Cerita pendek 'Moksa' saya tulis dalam rangka mengikuti perlombaan penulisan cerpen yang terbuka bagi para anggota milis cyber-gki dan hkbp. Sayangnya perlombaan dibatalkan panitia, meskipun [kabarnya] semua cerpen dan esai yang mengikuti lomba tersebut akan dibukukan. Padahal, saya sudah berusaha sangat keras. Maklumlah, saya bukan seorang penulis sastra ataupun kolumnis :-(.

Saya tidak pernah memikirkan kelanjutan (sekuel) sebuah cerpen. Bagi saya, cerpen itu sudah tuntas dan bebas menemukan napas kehidupannya sendiri. Paling banter, saya membuat tulisan lain lagi. Biarlah kejutan seperti yang anda alami itu menjadi pemicu bagi imajinasi.

Anda tidak perlu repot-repot minta ijin mencantumkan alamat blog ini di beautiful sarimatondang. Alamat blog anda pun saya cantumkan di senarai tautan blog ini tanpa ijin :-). Saya malah sangat bersukacita jika anda melakukannya. Artinya, saya sudah memperoleh apresiasi secara pribadi dari seorang Eben Ezer Siadari yang tulisan-tulisannya sangat renyah dibaca dan direnungkan :-)

Terimakasih banyak. Diatei tupa.