Senin, Agustus 11, 2008

Nuansa Spiritual dan Fasisme Beragama

— Refleksi dari Diskusi di Beberapa Milis "Agama"

Broken Glass
Broken Glass
octagonbolton.co.uk

Walau tidak boleh dijadikan ukuran sahih bagi kenyataan sesungguhnya, peran mailing list (milis) dalam kehidupan masa kini dapat dianggap sebagai miniatur dan replika dinamika suatu komunitas. Bahkan, tidak jarang milis menjadi muara penyampaian berbagai suara yang tak tersuarakan di dunia nyata. Oleh sebab itu, ijinkan saya menggunakan beberapa fakta yang berlangsung di milis sebagai dasar pijakan tulisan ini.

Belum lama berselang, saya melihat adanya kemiripan tema diskusi di beberapa milis yang dari namanya sedikit-banyak bersentuhan dengan gatra-gatra keagamaan. Fenomena ini jadi menarik karena masing-masing milis tersebut tidak memiliki hubungan satu sama lain.

Di milis islamliberal diskursus perihal aliran Ahmadiyah masih terasa hangatnya bahkan setelah pemerintah Republik Indonesia "menyatakan sikap" melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri yang melarang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) menyebarluaskan ajarannya [1]. Diskusi kian hangat setelah terjadi tragedi 1 Juni 2008 di lapangan Monumen Nasional (Monas) ketika rencana unjukrasa massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) —yang salah satu agendanya mengecam SKB tentang Ahmadiyah— bubar berantakan akibat serbuan kelompok yang menamakan dirinya Front Pembela Islam (FPI).

Suara yang berkembang di kalangan umat Islam di dunia nyata maupun maya cukup beragam. Salah satu yang gaungnya cukup populer adalah seruan [termasuk dari kalangan cendekiawan dan politisi] agar Ahmadiyah berhenti mendaku sebagai umat Islam dengan cara membuat agama sendiri. Dan di jalan-jalan, banyak terbentang spanduk yang menyerukan pembubaran Ahmadiyah. Pada intinya, Ahmadiyah hendak didorong keluar dari bangunan bernama Islam.

Di milis diskusi gerejakatolik berlangsung diskusi [klasik] yang tidak kalah serunya berkenaan dengan maraknya gerakan karismatik dalam tubuh Gereja Katolik Roma (GKR). Topik ini saya anggap klasik karena berlangsung hampir setiap tahun, bahkan bukan hanya di satu milis Katolik saja. Nyaris hanya merupakan pengulangan yang hampir selalu berakhir buntu.

Meskipun gerakan karismatik sudah cukup lama dinyatakan sebagai bagian sah dari GKR sehingga diakomodasikan dalam wadah Persekutuan Doa Karismatik Katolik (PDKK), sebagian umat yang merasa nyaman dengan gaya ibadah hening-khidmat yang telah menjadi tradisi ratusan tahun merasa terusik oleh kehadiran ibadah ekspresif [yang kadang disertai bahasa roh dan misa penyembuhan] yang dilakoni kalangan karismatik.

Dilema, bahkan inkonsistensi, pun membayangi para peserta diskusi, terlebih-lebih mereka yang acap berusaha tampil sebagai pembela gigih ajaran dan lembaga GKR. Ada yang berpendapat bahwa gerakan karismatik adalah bentukan kalangan Protestan yang disusupkan ke tubuh GKR agar terjadi pembusukan dari dalam. Di sisi lain, tidaklah kalah kuat pandangan yang menyatakan bahwa sesungguhnya gerakan karismatik memiliki akar historis, bahkan lahir, dari rahim GKR perdana namun meredup dan kemudian "dilahirkan kembali" oleh kalangan Protestan.

Diskusi kian memanas sampai-sampai ada peserta diskusi yang mengultimatum agar gerakan karismatik membentuk gereja sendiri yang terpisah dari GKR. Gerakan karismatik hendak didorong keluar dari bangunan bernama Katolik.

Sementara itu, di milis hkbp terjadi diskusi yang tidak terlalu hangat tentang "kebaktian alternatif" yang merupakan istilah lain bagi ibadah a-la karismatik yang belakangan ini banyak diminati kalangan muda. Walau diskusi hanya berlangsung sebentar, sempat tercetus pendapat bahwa gereja tidak berkewajiban memuaskan selera anggota jemaat yang menganggap kebaktian klasik kurang berterima di kalangan anak muda. Walau berbeda dalam notasi, iramanya senada dengan yang muncul di kedua milis sebelumnya, yakni menyapih kelompok [minoritas] yang tampil berbeda tersebut dari tubuh induknya.

Tragisnya, situasi di dunia nyata HKBP lebih memilukan. Pada beberapa gereja terjadi polarisasi frontal di kalangan anggota jemaat. Friksi yang merupakan warisan pertikaian kelas tinggi di lembaga HKBP belasan tahun silam telanjur meresap hingga ke sebagian akar rumput. Jemaat/gereja yang semula satu lantas terpecah menjadi [minimal] dua kubu. Masing-masing mendaku sebagai pemilik sah gereja (terutama bangunan dan aset-asetnya).

Akibat kontestasi beraroma "menang-kalah" yang tidak jarang dilakukan secara fisik itu, salah satu kelompok dipastikan akan tersingkir sebagai pecundang. Mereka yang kalah otomatis kehilangan hak menggunakan gereja sebagai tempat beribadah. Misalnya, yang kalah dalam perseteruan di HKBP Pondok Bambu baru dapat melaksanakan ibadah setelah pihak Gereja Bethany mengijinkan gedung gerejanya digunakan. Sedangkan yang kalah dalam perseteruan HKBP di Jalan R.E. Martadinata Bandung terpaksa melangsungkan ibadahnya di pinggir jalan raya.

* * *

Baik di kalangan Islam, Katolik, maupun Protestan (dan tidak tertutup kemungkinan pada agama-agama lain) terjadi proses serupa, yakni kristalisasi pemahaman yang bermuara pada pendakuan sebagai pewaris sah dan murni ajaran agama. Semua yang dipandang berbeda dengan pakem tradisi akan dianggap melenceng sehingga tidak berhak turut ambil bagian dalam komunitas. Mereka tidak pantas hadir dalam istana agama.

Panji-panji agama dipandang masif berwarna merah seluruhnya, atau hijau seluruhnya, atau putih seluruhnya. Tidak satu warna lain pun boleh hadir dalam semestanya. Nuansa, gradasi, apalagi noktah kontras, amat diharamkan karena akan menodai kesucian warna tunggal.

Menyaksikan ketegaran hati manusia yang [mungkin sukar dihindarkan] berujung pada kekerasan, timbul pertanyaan, "Apakah memang begini seharusnya wajah agama yang konon hadir dalam sejarah untuk memperbaiki ahlak dan kehidupan manusia? Inikah wajah sejati dari konsep karunia bagi semesta alam dan cinta kasih yang kerap didengung-dengungkan itu?"

Fenomena Apolos

Dari pembacaan terhadap "sejarah" ketuhanan dan keagamaan dalam khasanah Kristen, patut diakui bahwa diskursus dan benturan wacana teologis bukanlah sesuatu yang baru ataupun asing. Perjanjian Baru memberikan gambaran bahwa berbagai aliran dalam kekristenan telah hadir sejak masa gereja perdana. Misalnya, dalam "Surat kepada Jemaat di Korintus" Paulus mencatat adanya golongan Paulus, golongan Apolos, golongan Kefas, dan golongan Kristus [2]. Bisa jadi yang disebutkan oleh Paulus hanyalah kelompok besar dan cukup menonjol. Itu pun yang terdapat di Korintus saja. Bagaimana dengan kota-kota lain maupun kelompok-kelompok lebih kecil yang kurang populer? Bukannya tidak mungkin terdapat sangat banyak aliran dan kelompok yang sama-sama mengaku sebagai pengikut Kristus.

Amatlah menarik melihat nama-nama yang disebutkan dalam surat itu. Apolos yang tidak begitu terkenal disandingkan dengan nama besar Paulus dan Kefas (Petrus) yang bergelar Rasul dan dianggap sebagai sokoguru kekristenan. Lebih hebat lagi, ketiganya disejajarkan dengan Kristus sendiri.

Tidak dapat dinafikan bahwa penamaan kelompok-kelompok tersebut merupakan indikasi adanya perbedaan yang cukup mendasar satu sama lain. Dalam konteks agama, hal itu nyaris selalu dibarengi dengan perbandingan tingkat rohani. Adanya kelompok yang menamakan dirinya "golongan Kristus" mencerminkan hasrat pendakuan sebagai satu-satunya penerus sejati ajaran Kristus, sehingga semua golongan lain dianggap bukan pengikut Kristus alias bukan orang Kristen.

Paulus menegaskan bahwa perbedaan pandangan (hikmat) tidak menjadikan Kristus terbagi-bagi. Semua umat beriman sesungguhnya tidak memiliki apa pun yang dapat disombongkan sebagai kelebihannya dibanding orang lain, sehingga tak seorang manusia pun yang pantas memegahkan diri di hadapan Allah.

Teguran Paulus ini terasa masih sangat relevan bagi masa kini, sebab [hampir] semua perbedaan dan benturan yang terjadi dalam tubuh agama dibarengi dengan pendakuan kelebihbenaran dan kelebihsucian, bahkan paling benar dan paling suci, dan akhirnya satu-satunya yang benar dan suci. Padahal, ketidakterkenalan Apolos dibandingkan Paulus dan Petrus dapat dibaca sebagai isyarat bahwa di hadapan Tuhan semua kelompok memiliki kesamaan dalam harkat dan peluang.

Fenomena "Jalan Tuhan"

Adanya pengelompokan yang didasari oleh perbedaan pandangan pada masa kerasulan Paulus itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru. Saya menduga bahwa kemunculan berbagai aliran dalam agama Kristen bahkan sudah berlangsung lebih awal.

Alkitab mencatat bahwa sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus adalah seorang "pejuang" Farisi yang giat membela kemurnian agama Yahudi dengan cara memburu pengikut "Jalan Tuhan" hingga ke Damsyik/Damaskus di Suriah [3]. Mengapa Paulus —yang saat itu masih bernama Saul— tidak mengejar kelompok Petrus, Yohanes, dan Yakobus di Yerusalem yang nota bene adalah pusat agama Yahudi sendiri? Mengapa harus jauh-jauh hingga ke Damsyik?

Amat menarik melihat penggunaan huruf kapital pada kata-kata "Jalan Tuhan" yang dalam versi lain disebut "Way of the Lord" (Today’s English Version, 1992) atau "Lord's Way" (Contemporary English Version, 1995). Cara penulisan seperti itu menimbulkan kesan bahwa yang menjadi sasaran Saul bukanlah semua penganut ajaran Kristus (orang Kristen) melainkan sekelompok orang yang cukup menonjol (mungkin karena militansi ataupun determinasinya) sehingga dipandang sebagai representasi ajaran Kristen.

Sikap Saul yang "membesarkan" reputasi kelompok "Jalan Tuhan" merupakan cerminan sifat manusia yang memerlukan sosok utama sebagai fokus dan prioritas (dalam konteks positif maupun negatif). Tidak terhitung berapa banyak aliran dan kelompok dalam agama Kristen pada saat ini, namun tidak banyak yang mampu menjulangkan namanya sehingga bisa dianggap sebagai suara dan cerminan umat Kristen. Pada komunitas itulah ujian terbesar akan dikenakan.

Barangkali di sinilah posisi HKBP selaku komunitas Kristen terbesar di Indonesia. Guncangan yang terjadi pada dirinya menjadi tolok ukur kekuatan mengguncang komunitas-komunitas Kristen lain yang lebih kecil. Waktulah yang akan menjawab apakah HKBP mampu bertahan dan keluar sebagai pemenang dari kemelut berkarat belasan tahun ataukah sirna seperti kelompok "Jalan Tuhan" yang diburu dengan penuh semangat oleh pasukan Saul.

Fenomena Israel dan Yehuda

Sejak kapankah pengelompokan dan perbedaan dalam tubuh agama bermula? Sejak masa Perjanjian Baru ataukah lebih tua lagi?

Menarik surut ke masa lampau, ternyata Perjanjian Lama yang merupakan kronikel pra-Kristen pun tidak kurang-kurang mencatat perseteruan keras akibat perbedaan pemahaman dalam agama [Yahudi]. Misalnya, kisah pecahnya keduabelas suku Yahudi menjadi dua kerajaan (Israel di Utara, Yehuda di Selatan) berdampak (atau malah bersebab?) pada keragaman pandang dalam agama itu sendiri, bukan semata-mata politis.

Hal ini dapat dilihat dari pemilihan Shiloh sebagai episentrum suci negara Israel dan Yerusalem bagi negara Yehuda. Lahirnya dua pusat kesucian agama dan bangsa Yahudi merupakan tanda adanya perbedaan penyikapan ritual yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perbedaan teologi. Padahal, kedua-duanya menyebut dirinya sebagai penganut agama yang ajaran dan aturannya disampaikan oleh Musa. Jika benar demikian, seyogianya mereka memiliki pemahaman yang sama perihal kekudusan maupun hal-hal keagamaan lainnya. Tetapi, kenyataan berbicara lain.

Dari kenyataan itulah kita bisa melihat indikasi bahwa kesucian yang konon dianggap mutlak itu ternyata bersifat nisbi dan portabel. Atau dengan kata lain, kesucian itu bisa didefinisikan sesuai dengan kebutuhan ataupun perkembangan penafsiran terhadap kesucian itu sendiri.

Fenomena Kain

Rasanya akan tanggung jika amatan mengenai hal ini kita cukupkan sampai sejarah Israel dan Yehuda saja. Kerasnya gesekan antar kelompok dalam suatu agama tidaklah mungkin terjadi dalam sekejap. Diperlukan tenggang waktu yang cukup panjang untuk sampai ke tahap itu. Maka, amatlah wajar jika saya menduga bahwa ihwal sejarahnya jauh lebih tua.

Ternyata, jika kita beranjak lebih jauh ke masa silam, bahkan hingga ke lembaran-lembaran pertama Alkitab, akan kita temukan bahwa pertikaian dalam aroma agama dapat dilacak hingga ke masa perdana manusia alkitabiah! (baca: sejarah manusia menurut Alkitab). Dan itu bermula pada generasi kedua manusia: Kain dan Habel.

Kitab Kejadian 4 mencantumkan 7 ayat sebagai berikut:

[2] Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani.

[3] Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; [4] Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, [5] tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram.

[6] Firman TUHAN kepada Kain: "Mengapa hatimu panas dan mukamu muram? [7] Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya."

[8] Kata Kain kepada Habel, adiknya: "Marilah kita pergi ke padang." Ketika mereka ada di padang, tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya itu, lalu membunuh dia.

Meskipun tidak tertutur gamblang, ayat-ayat di atas merupakan narasi tindak kekerasan dan pembunuhan pertama antarmanusia yang berakar pada perbedaan penghayatan spiritual. Ritual yang merupakan simbolisasi penghayatan spiritual dipandang sebagai indikator nyata kehadiran dan perhatian Tuhan, yang wajib diperoleh secara mutlak tanpa berbagi dengan pihak lain.

Cermatan pada ayat-ayat di atas menyodorkan keunikan yang sangat mengejutkan. Justru kepada Kainlah Tuhan berkenan bercakap-cakap. Tidak sekali pun Tuhan menyapa Habel. Di sini terlihat betapa piawainya penulis kitab Kejadian menggambarkan akar persoalan pertikaian dalam tubuh agama yang berlangsung sejak jaman baheula hingga masa kini, yakni kecemburuan dan kedengkian yang lahir dari perasaan lebih menghaki Tuhan dibanding manusia lain.

* * *

Perasaan dekat dengan Tuhan tidak jarang bermetamorfosis menjadi keangkuhan menganggap dirinya memiliki derajat lebih tinggi secara rohani dibanding orang lain, yang kerap diistilahkan dengan "kesombongan rohani". Penafsirannya atas wahyu serta pelaksanaannya dalam ritual dijadikan standar menakar kesucian. Segala sesuatu yang berada di luar pakem kesucian yang diterapkannya akan dianggap sesat.

Tudingan kesesatan itu dengan segera dapat berubah menjadi panggilan suci (crusade, jihad) melakukan pembersihan apabila pihak yang mendaku lebih/paling/satu-satunya suci itu memiliki kuasa untuk melakukannya. Jika perlu, dengan cara kekerasan, tanpa mempedulikan bahwa pihak lain yang dianggapnya sesat itu tidak melakukan tindakan yang merongrong kewibawaan dan kesucian yang dipraktikkannya.

Kecuali aliran gnostik masa lalu yang memuja Kain, hampir tidak ada orang yang tidak menganggap Kain bersalah. Walau tidak ada perbuatan Habel yang menyebabkan ternodanya ritual Kain, kecemburuan Kain pada Habel membuatnya marah dan menganggap perlu melenyapkan Habel. Kain ingin memiliki Tuhan sepenuhnya bagi dirinya sendiri sehingga tidak rela jika Tuhan berkenan pada Habel. Padahal Kain tahu bahwa Tuhan tidak pernah berpaling meninggalkannya, bahkan memilih bercakap-cakap dengannya tinimbang Habel.

Jika kita renungkan lebih dalam, sesungguhnya bukan perbedaan itu sendiri yang menjadi faktor utama perpecahan yang bermuara pada penindasan dan tindak kekerasan, melainkan ketamakan rohani. Kesombongan rohani mungkin akan melahirkan sikap melecehkan pihak lain yang membuahkan perasaan tidak senang dan terhina. Namun ketamakan rohani akan menyeret ke tindakan perampasan hak orang lain (termasuk nyawa) yang menciptakan penindasan, ketakutan, dan kebencian. Pada saat itulah agama kehilangan daya hidup dan menghidupkannya, digantikan oleh teror dan kematian.

Oleh sebab itu, baiklah kita ajukan pertanyaan: Peran siapakah yang dimainkan oleh kelompok dominan/mayoritas yang mendesak kelompok lain ke bibir jurang atas nama agama? Kain ataukah Habel?

Keengganan menjawab pertanyaan itu akan terus merongrong dunia agama dan terus membayangi wajahnya, bahkan hingga saat ini, dengan terus bermunculannya para "Kain baru" dan "Saul baru" yang merasa memiliki hak pendakuan atas kesucian serta kekuasaan untuk melancarkan perang suci.

— PinAng: Senin, 11 Agustus 2008 23:26

[1] Sikap pemerintah Republik Indonesia tidak dapat dilepaskan dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan haram sehingga menyarankan pemerintah membubarkan aliran tersebut. Juga tidak bisa dipisahkan dari saran Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) agar pemerintah menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang di Indonesia. Juga, desakan berbagai elemen masyarakat yang mengatasnamakan komunitas Islam.

[2] I Korintus 1:10-13
Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloë tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi? Adakah Paulus disalibkan karena kamu? Atau adakah kamu dibaptis dalam nama Paulus?

[3] Kisah Para Rasul 9:1-2
Sementara itu berkobar-kobar hati Saulus untuk mengancam dan membunuh murid-murid Tuhan. Ia menghadap Imam Besar, dan meminta surat kuasa dari padanya untuk dibawa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik, supaya, jika ia menemukan laki-laki atau perempuan yang mengikuti Jalan Tuhan, ia menangkap mereka dan membawa mereka ke Yerusalem.

0 komentar: